Jumat, 22 Juli 2016 | 15:24 | Reporter : Mohammad Yudha Prasetya
Merdeka.com – Ketua DPR Ade Komarudin mengatakan, pemerintah tidak memiliki kewajiban untuk mentaati putusan Pengadilan Rakyat Internasional atau IPT 1965. Sebab, menurut dia, Indonesia tidak mengenal sistem peradilan semacam itu, sehingga putusan apapun yang dihasilkan dari lembaga tak resmi semacam itu bukanlah sebuah keharusan untuk dipatuhi.
“Tidak ada kewajiban pemerintah atau negara taati putusan itu. Karena kita tidak mengenal sistem peradilan IPT,” kata Akom sapaan Ade Komarudin di Gedung DPR Senayan, Jumat (22/7).
Akom menilai, dalam perjalanan sejarah bagi bangsa yang besar begitu banyak tragedi sosial-politik yang terjadi. Menurutnya, biarlah semua masalah itu menjadi pelajaran yang bisa diambil hikmahnya, agar tidak terulang lagi di masa mendatang.
Politisi Golkar itu juga berharap, bangsa Indonesia dewasa ini harus lebih solid lagi dalam hal persatuan, karena begitu banyaknya dampak dari berbagai masalah global, yang harus dihadapi bersama sebagai sebuah negara kesatuan.
“Kalau kita tidak pandai, maka kita tidak akan bertahan,” pungkasnya.
Dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (20/7), Koordinator IPT 1965 Nursyahbani Katjasungkana mengatakan hasil akhir keputusan tersebut akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo saat pertemuan dengan korban pelanggaran HAM berat seperti pernah dijanjikan Presiden melalui Juru Bicara Presiden Johan Budi.
“Putusan ini secara resmi akan diserahkan pula kepada Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Kantor Staf Presiden,” ujar Nursyahbani.
Putusan tersebut mencakup tindakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Indonesia yakni pembunuhan terhadap sekitar 400.000 hingga 500.000 orang yang melanggar UU KUHP pasal 138 dan 140 dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Kedua adalah hukuman penjara tanpa proses hukum terhadap sekitar 600.000 orang. Ketiga, perbudakan, yaitu tahanan dipaksa untuk melakukan kerja paksa di bawah kondisi yang bisa dikategorikan sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan juga pelanggaran atas Konvensi mengenai Kerja Paksa tahun 1930.
Keempat, penyiksaan yang dilakukan dalam skala besar terhadap tahanan pada masa terjadi pembunuhan massal dan pemenjaraan. Kelima, yaitu penghilangan secara paksa, dilakukan dalam skala besar dan banyak nasib korban tidak pernah diketahui.
Keenam adalah kekerasan seksual secara sistemik yang tercatat pada laporan Komnas Perempuan, baik secara lisan maupun tulisan. Ketujuh, terjadi pengasingan, yaitu warga negara Indonesia yang paspornya disita ketika berada di luar negeri telah kehilangan hak kewarganegaraannya.
Kedelapan, tentang propaganda tidak benar atas versi resmi yang terjadi pada orang-orang yang ditangkap di Lubang Buaya. Kesembilan, adanya keterlibatan negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia dalam kejahatan kemanusiaan di Indonesia setelah peristiwa 30 September 1965 meskipun dengan derajat keterlibatan yang berbeda-beda.
Terakhir, Indonesia dituduh telah melakukan genosida, dengan maksud khusus untuk menghancurkan atau membinasakan kelompok tersebut sebagian atau keseluruhan.
Padahal, Indonesia terikat pada ketentuan Konvensi Genosida tahun 1948 di bawah hukum internasional.
“Para pegiat IPT 1965 akan menggunakan semua jalur yang tersedia dalam mekanisme HAM PBB untuk menyosialisasikan putusan ini. Termasuk pada tanggal 17 April 2017, laporan pelaksanaan HAM di Indonesia akan ditinjau dalam Universal Periodic Review di Dewan HAM Jenewa Swiss, kami akan memasukkan putusan IPT 1965 sebagai laporan dari LSM di Indonesia,” kata Nursyahbani. [gil]
Sumber: Merdeka.Com
This post is also available in: English