Jakarta — Korban pelanggaran hak asasi manusia pada Tragedi 1965 kecewa dengan kinerja Komnas HAM. Salah satu korban sekaligus Ketua Yayasan Penelitan Kasus Pembunuhan (YPKP) 1965/1966, Bedjo Untung menilai komisoner Komnas HAM saat ini tidak mampu melanjutkan rekomendasi periode sebelumnya.
Dia kecewa dengan pernyataan salah satu komisioner Komnas HAM yang menyatakan Tragedi 1965 secara pro justicia sudah selesai.
“Yang disebut pro justicia itu kan hukum, memang benar hasil penyelidikan soal 1965 sudah direkomendasikan ke jaksa agung tapi belum ditindaklanjuti,” kata Bedjo, Sabtu (18/3).
Jaksa agung, menurut Bedjo, dengan berbagai macam dalih selalu menyatakan bukti yang diajukan Komnas HAM tidak cukup kuat sehingga proses hukum tidak bisa dilanjutkan. Menurutnya, bukti kejahatan HAM di masa Orde Baru sudah cukup dan valid untuk bisa diproses hukum.
Bedjo berharap komisioner Komnas HAM periode selanjutnya bisa benar-benar menjalankan fungsi sebagai pengawal HAM yang baik.
“Komisoner akan datang harus benar-benar menjalankan fungsi sebagai pengawal HAM, itu enggak boleh main-main,” ucapnya.
Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Nur Kholis mengatakan Bedjo tidak bisa membandingkan kinerja komisioner begitu saja. Nur Kholis yang juga menjabat komisioner di periode sebelumnya mengatakan, Komnas HAM periode sekarang sedang mencari alternatif baru dalam penyelesaian Tragedi 1965.
Meski begitu, lanjut Nur Kholis, sampai saat ini Komnas HAM belum mendapatkan hasil akhir soal pilihan alternatif penyelesaian kasus tersebut.
“Kami sudah mencoba melakukan simposium kemudian juga terus berkomunikasi dengan pihak korban seperti apa model penyelesaiannya dan seterusnya, tapi memang belum selesai,” ujarnya.
Menurutnya, komisioner Komnas HAM telah menyelesaikan penyelidikan Tragedi 1965. Namun hasil penyelidikan tersebut sampai sekarang belum bisa diproses secara hukum karena kendala di kejaksaan agung.
“Kami menyelesaikan penyelidikan tetapi kemudian penyelidikan itu di kejaksaan agung sangat lambat prosesnya, berbagai hambatan terjadi di kejaksaan agung” kata Nur Kholis.
Pegiat Human Rights Working Group (HRWG) Muhammad Hafiz mengatakan Komnas HAM periode saat ini tidak bisa bekerja secara maksimal karena beberapa faktor. Salah satunya karena problem internal, seperti pergantian kepemimpinan dan kendala birokrasi.
Konflik antarkomisioner, lanjut Hafiz juga menjadi penyebab kinerja Komnas HAM tidak efektif jika dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Komisioner Komnas HAM. (CNN Indonesia/M Andika Putra)
|
Pilihan Pragmatis
Hafiz berpendapat, lambatnya penyelesaian Tragedi 1965 bukan hanya terkendala faktor internal. Faktor eksternal juga memberikan pengaruh besar terhadap pilihan politik Komnas HAM.
Dia menyebut faktor itu adalah perubahan struktur kabinet yang terjadi di Indonesia, di mana sejumlah purnawirawan TNI Angkatan Darat bergabung ke pemerintahan.
“Itu jadi faktor tantangan eksternal yang tidak bisa dipisahkan atau dihindari oleh Komnas HAM, sehingga pilihan politik Komnas HAM menjadi pragmatis,” kata Hafiz.
Komnas HAM, lanjut Hafiz, dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, Komnas HAM tetap pada standar maksimal dalam menyelesaikan kasus 1965 pada prosedur pengadilan. Kedua, menerima tawaran pemerintah dalam menyelesaikan kasus dengan cara rekonsiliasi.
Penilaian kinerja Komnas HAM, menurut Hafiz harus dilihat dari dua sisi. Di satu sisi mereka ingin segera menyelesaikan kasus tersebut, namun di sisi lain ada rintangan yang begitu kuat dari pemerintah sehingga lembaga itu tidak bisa berbuat banyak.
“Memang kinerja internal mereka (Komnas HAM) tidak begitu efektif karena berbagai masalah, tapi di satu sisi faktor dari luar juga kuat,” ujar Hafiz.
Kurangnya koordinasi antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung juga menjadi penyebab proses hukum Tragedi 1965 terbengkalai. Hafiz menyeut kedua lembaga saling lempar berkas. Kejaksaan Agung menganggap hasil penyelidikan Komnas HAM memiliki kekurangan. Sementara Komnas HAM merasa hasil penyelidikan tersebut sudah lengkap.
Dia berpendapat, Komnas HAM harus mengambil inisiatif untuk bisa menyelesaikan kasus tersebut. Hal itu bisa dilakukan dengan membuat satu proses pengungkapan kebenaran sendiri. Cara lain, lembaga tersebut tetap bersikukuh dengan proses yudisial.
“Sebagian komisioner ada semacam dilema. Kami dalam lima tahun terakhir ini tidak menghasilkan apa-apa terkait pelanggaran HAM masa lalu, sementara untuk mendorong proses yudisial sudah enggak mungkin,” tutur Hafiz.
Terkait dengan penyelesaian kasus 1965, menurutnya, Komnas HAM lebih proaktif mengajak korban berdiskusi. Sehingga keputusan soal penyelesaian kasus yang dikeluarkan oleh Komnas HAM tidak hanya satu arah, tapi benar-benar menyuarakan suara korban dan untuk kepentingan korban.
“Kalaupun misalkan ada kritik pedas terhadap Komnas HAM terkait proses penyelesaian yang diambil, Komnas HAM punya legitimasi kuat ini suara korban, dan korban butuh sikap yang kuat dari negara untuk menyelesaikan,” ujar Hafiz. (pmg)
This post is also available in: English