Catatan: Dewi Ratnawulan | 5 Oktober 1965
Perlombaan baris-berbaris dan gerak jalan dalam rangka hari ulang tahun ABRI yang diselenggarakan oleh Kodim Wonosobo. Gerwani dapat nomor juara 1. Tentu saja kami bangga dan kami dapat hadiah dari Kodim. Pesertanya dari berbagai organisasi wanita dan sebelumnya kami dilatih oleh Pak Suroso dari Kodim Wonosobo.
6 Oktober 1965
Ada tamu dari Jakarta, Sri Kapti dan Sudiati (bukan nama sebenarnya), -istrinya bang Johar (nama samaran), narasumber Pemuda Rakyat. Sudiati baru melahirkan tanggal 1 Oktober dan anaknya diberi nama Suyudono. Sebelumnya mereka menginap di rumah orang tuanya Sri Kapti, Bu Sastro namanya. Tapi tetangga-tetangga tidak suka karena Sri Kapti adalah orang PR pusat dan mereka diusir. Malam-malam jam 2 dini hari mereka datang ke rumah saya. Saya merasa kasihan melihat orok yang masih merah itu dan saya perbolehkan mereka tinggal di rumah saya. Jam 4 pagi Sri Kapti pergi naik bis ke Surabaya sedangkan Sudiati dan anaknya tetap tinggal.
17 November 1965
Jam 11 siang ketika sedang kerja di kantor ada tamu dari Kodim, Pak Pujiman namanya. Saya bekerja sebagai staf administrasi di sebuah SGA (Sekolah Guru Atas) Wonosobo. Sebetulnya saya sudah kenal dengan pak Pujiman karena dia orang kita, orang dalam. Mungkin karena tugas dia harus menangkap saya ya? Awalnya dia tanya suami saya, mas Ton, Martono. Saya bilang sedang ke Bandung ada urusan keluarga dan sudah minta ijin, baik ijin polisi maupun Kodim. Waktu itu dimana-mana kan sudah banyak penangkapan atas orang-orang yang diasangka PKI.
“Sebetulnya yang dibutuhkan oleh kodim itu bapak. Tapi karena tidak ada, ibu saja kalau begitu. Sebaikanya Ibu pulang dulu dan bilang sama yang di rumah”, Pak Pujiman mengutarakan maksudnya.
Saya pamitan pada kepala sekolah dan saya pulang. Oleh pak Pujiman saya disuruh membawa ganti karena nanti kalau sampai malam saya bisa tidur di sana. Perasaan saya biasa saja dan merasa akan aman-aman saja. Saya dibawa pakai jip. Diluar orang-orang ramai membicarakan penangkapan saya.
Saya tidak dibawa ke kodim tapi ke sekolah Tiong Hwa (THHK). “Lho kok kesini Pak? Ini kan bukan kodim “, saya mulai curiga. “Oh nggak bu, teman-teman Ibu sudah ada di sini, nanti kalau sudah kumpul semua baru dimintai keterangan” begitu penjelasan pak Pujiman. Ternyata memang benar, disana sudah ada 4 orang pengurus Gerwani dari anak cabang Kaliwiro, Kreteg, Selomarto dan Wonosobo. Ketua cabangnya, bu Kabul Kadarisman tidak kelihatan, yang ada wakilnya yakni bu Sastro. Tetapi kemudian dari siang itu terus banyak yang datang lagi, datang lagi, begitu terus sampai akhirnya ketuanya juga diambil. Sampai sore ada 27 orang yang datang, semuanya wanita. Semua adalah ketua mulai dari anak cabang, ranting dan cabang.
29 November 1965
Mas Ton, suami saya adalah sekretaris BTI (Barisan Tani Indonesia) cabang Wonosobo dan pengurus Indonesia Muda. Sebenarnya, andaikata mas Ton lari, bisa saja. Tapi kok tidak ada pikiran lari atau menghindar. Mas Ton hanya bilang pada bapak saya, “Pak, mungkin nanti sore saya akan dibutuhkan di kodim. Jadi tolong tungguin anak-anak. Bapak boyong saja ke sana, ke rumah”. Anak saya 4 orang. Sore itu juga orang kodim datang ke rumah dan mengambil Mas Ton. Janjinya dulu, kalau mas Ton sudah datang saya akan disuruh pulang, tapi nyatanya tidak.
10 Desember 1965
Diperiksa. Jadi sejak ditangkap saya tidak diapa-apakan, didiamkan saja. Yang memeriksa saya Ariyono. Saya juga sudah kenal karena dia itu anaknya kepala SGA tempat kerja saya.
Ariyono (A) : Hapal Pancasila nggak?
Sumini (S) : Iya Pak.
A : Coba bagaimana, sebutkan!
Lantas saya menyebutkan sila demi sila. Satu, Ketuhanan yang Maha Esa. Dua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tiga, Kebangsaan Indonesia (?)…..(seharusnya Persatuan Indonesia)
A : Nah, ketahuan kalau Gerwani mau merubah Pancasila ya?
S : Ndak Pak, Gerwani itu nggak punya cita-cita untuk merubah Pancasila. Saya lupa, Pak.
Hariyono, jaksa yang ikut menyaksikan pemeriksaan angkat bicara : Kemarin ada darah, darah siapa itu? Itu darah pak Martono..
Dia mau menakut-nakuti saya. Tapi saya diam saja meskipun saya kuatir dengan suami saya
A : Apa kegiatan Ibu di Gerwani?
S : Arisan, Pak.
A : Arisan. Semua kalau ditanya jawabnya arisan.
S : Gimana Pak, wong tiap bulan itu selalu ada arisan sambil memberikan ceramah pada ibu-ibu soal anak-anak. Bahwa kalau kita sudah masuk organisasi itu jangan lupa sama rumah tangga, sama suami. Juga nggak boleh melalaikan tugas kita.
A : Ah, nggak percaya. Ibu latihan ya?
S : Latihan apa?
A : Latihan militer
S : Ya, memang latihan militer. Wong disuruh pak, oleh kodim. Bersama dengan wakil-wakil dari organisasi lain (Aisyiah, Kowani,). Yang melatih ya dari kodim Wonosobo.
6 Januari 1966
Ada pembubaran ormasnya PKI. Semua. Ya Gerwaninya, ya BTInya, Sobsi, semua. Saya mewakili Gerwani bersama bu Kabul. Kami baris dari THHK ke lapangan. Sepanjang jalan orang-orang meneriaki, “ini Lubang Buaya” setiap kami lewat. Masing-masing ketua pidato kalau organisasinya dibubarkan terus membakar bendera.
Jam 1 siang upacara selesai. Saya langsung dimasukkan ke sebuah kamar gelap (terangkan ruangnya). Jadi dari panas terik langsung ke gelap, jadi gelap sekali. Tidak ada lampu dan semua pintu dan jendela ditutup. Komandan kodim duduk di situ.
Komandan (K) : Mari Bu, mari…. Mari… duduk.
Sumini (S) : Oya Pak
Saya kenal suara itu, Pak Suroso Komandan Kodim yang melatih baris.
K : Ya, sini Bu. Duduk sini.
Saya duduk di kursi
K : Apa Ibu pernah latihan baris berbaris?
S : Pernah Pak.
K : Dimana, Bu?
S : di kodim. Kan Bapak yang ngajarin baris.
K : Oh ya. Ibu pernah ke Lubang Buaya?
S : Belum. Lubang Buaya itu dimana?
K : Di Jakarta. Jadi gini Bu, Ibu itu pernah latihan baris di Jakarta?
S : Saya kan pegawai negeri. Tiap hari pasti absen. Kalau saya ke Jakarta pasti ada surat cuti, dan saya belum pernah cuti. Tanyakan saja ke kantor saya.
K : Denger kamu jawaban bu Martono?
Saya mlinguk, ee.. tahunya di tembok-tembok itu ada barisan hitam-hitam (Banser). Karena sangat gelap sekali waktu masuk saya tidak melihatnya. Dan omongan pak Suroso ditujukan pada mereka.
S : Siapa yang bilang Pak kalau saya latihan di Lubang Buaya? Lubang Buaya saja saya nggak tahu.
K : Jadi, Ibu Martono itu ya latihan, tapi di kodim. Denger ya, saya yang ngelatih, gitu. Sudah, bubar…bubar.
Dan Banser itu langsung bubar.
K : Sudah Bu, terimakasih.
22 Februari 1966
Saya dipindahkan ke penjara dari THHK bersama Bu Sastro Sumarsono. Mas Ton juga ditahan disini.
23 Februari 1966
Pengurus-pengurus cabang dipindahkan ke penjara
26 Februari 1966
Pagi, ada panggilan kepada penghuni penjara. Panggilan itu artinya di “game”. Kita sebenarnya tidak tahu artinya. Ternyata game artinya mau dibunuh. Mas Ton termasuk yang dipanggil. Wanitanya hanya saya dan bu Sastro. Semuanya 22 orang.
Hari ini hari Senin, hari pengiriman. Biasanya saya dibawakan keperluan dan baju dari rumah. Baju kotor saya dicuci di rumah dan saya dibawakan yang bersih setiap Senin.
Kami keluar. Di sana sudah ada 1 truk dan kami disuruh naik. Saya melihat anak saya mau ngirim. Tapi dia tidak dapat mendekat ibunya. Dan dia naik pohon untuk melihat kami diberangkatkan.
Di jalan saya diam saja karena teringat anak-anak. Mas Ton bilang agar saya tabah, “Sudahlah, kita kan sudah punya keturunan. Nanti dia yang akan meneruskan perjuangan kita”. Truk terus berjalan dan tidak berhenti. Kalau ingin kencing tidak boleh dan harus kencing disitu. Akhirnya rombongan tiba di Jefferson dan kami dikasih makan nasi bungkus. Satu jam kemudian kami dibawa ke Wirogunan, Yogyakarta. Wah…pintunya minta ampun besar sekali. Gemboknya sangat besar. Saya langsung dimasukkan ke bagian wanita. Di gang saya bertemu mbak Muwarni dari Gerwani Yogyakarta. Saya kenal dia Ternyata dia mau dipindah ke Wonosobo menggantikan rombongan kami bersama 20 orang lainnya.
5 Maret 1966
Pagi, di penjara Wirogunan Jogjakarta, pindahan dari Wonosobo dipanggil semua, hanya laki-laki 20 orang termasuk mas Ton. Wanitanya dianggap merepotkan sehingga saya dan bu Sastro ditinggal di Wirogunan. Rombongan itu akan dibawa ke Wonosari.
Sorenya saya dapat sarung, alat-alat makan mas Ton yang dititipkan pada mbak Darti, pegawai penjara. Wah.. kebetulan, saya kan tidak ada kain buat kemulan, pikir saya.
17 Mei 1966
Saya dipindah dari Wirogunan. Entah kemana saya tidak tahu. Semua diringkesi, barang-barang diberesi terus keluar. Di luar sudah menunggu bis Baker dan semua dikasih kalung yang sudah diberi namanya sendiri-sendiri. Kami melewati Ambarawa terus ke Semarang dan akhirnya berhenti di penjara Bulu, Semarang. Duh…Gusti, terimakasih, saya bisa hidup kalau ditempatkan di Bulu. Kakak saya Sumirah jadi pegawai penjara Bulu. Benar, sampai di sana saya lihat kakak saya sudah ketawa-ketawa. Saya juga ketawa senang. Tapi dia tidak berani mendekat dan saya pun maklum. Pas dinas malam dia datang dan tanya apa kebutuhan saya.
Hari Besuk
Adik saya, Tinah juga tinggal di Semarang, di Karang kebon. Tinah setiap Senin dan Kamis mengirim semua kebutuhan saya lewat kakak. Sejak dipindah dari penjara Wonosobo saya tidak pernah ditengok keluarga. Dan saya tahu sebabnya. Mereka mengira saya dan mas Ton sudah digame, dibunuh.
Tapi lama-lama bapak saya tahu kalau saya masih hidup dan selamat karena diberitahu Tinah. Bapak kemudian mengutus anak sulung saya, Totok yang masih kelas VI SD waktu liburan untuk menengok saya dan memastikan kalau saya masih hidup.
29 Agustus 1968
Ibu saya meninggal yang bersamaan dengan hari ulang tahun anak saya yang ke-8. Pas habis ulang tahun anak saya terus meninggal.
17 Januari 1969
Pakde saya meninggal.
19 Januari 1969
Selang sehari setelah Pakde, kemudian Bude saya meninggal.
29 Oktober 1969
Anak saya umur 7 tahun operasi usus di RS Karyiadi dan langsung meninggal
Desember 1969
Bapak saya diciduk. Umurnya 74 th. Karena ada tamu datang ke rumah yang namanya Sarimin yang sedang dicari dan bapak saya tidak tahu. Semua laki-laki di desa itu diciduk. Kakak saya Supardi yang diskors dari Wonogiri pulang ke Wonosobo untuk menengok bapak dan ibu juga ikut diciduk.
Agustus 1972
Bapak saya dipulangkan. Waktu di dalam sering dihajar oleh petugas. Nanti kalau sudah dihajar terus dibawa ke rumah sakit. Terus dokter selalu bilang, “Pak ndak usah pulang ke penjara. Ngapain pulang ke penjara, sudah di sini saja, kan nggak enak disitu”. Yang menghajarnya bukan dari Wonosobo tapi didatangkan dari Magelang.
Juni 1972
Ada kunjungan dari WHO (World Health Organisation).
Awal 1973
Di Wonosobo ada cidukan dari Kodim. Dulu yang ngambil saya, pak Pujiman, juga diciduk. Dia itu intelnya komunis tahun 1963.
11 Desember 1973
Saya diperiksa oleh Ngatiman. Inilah awal dari kebebasan saya.
7 Januari 1974
Bapak saya meninggal di Wonosobo. Saya “dibon” ke Wonosobo. Orang-orang di kampung ribut, “Ada orang mati hidup lagi!” Mereka mengira saya sudah mati sejak dipindah dari Wonosobo dulu. Sedangkan Tinah, yang raut mukanya mirip saya disangka orang adalah saya. Jadi kalau dia pulang nengok ibu dan bapak disangka orang adalah saya. Sampai pernah dicegat oleh kodim. Mereka mengira saya keluyuran, kabur dari penjara.
14 April 1974
Saya dibaptis. Tujuh tahun saya belajar tentang Katholik selama dalam tahanan.
31 Desember 1974
Keluar dari penjara mBulu, Semarang. Bebas.
Desember 1975
Anak saya lulus SMP di Semarang
30 Desember 1975
Saya pulang ke Wonosobo. Sebelumnya setelah keluar saya tinggal di Semarang di rumah Tinah. Ini sesuai dengan pesan alm. Bapak. Bapak kuatir kalau saya pulang ke Wonosobo, ke rumah saya, karena banyak orang mengira saya sudah mati. Dan hanya saya dan bu Sastro yang selamat. Saya masih penduduk Semarang dan harus apel sebulan sekali di Kelurahan Kr. Kebon.
2 Oktober 1977
Saya bertemu kepala kantor SGA. Dia sudah pensiun. Dan saya dipanggil ke Purworejo untuk bekerja sebagai ibu asrama SMTP di Tangerang. Sebelumnya saya dites masak dan saya disuruh masak kambing. Mulai dari sate, tongseng, gulai dll. Di hari raya.
17 Oktober 1977
Saya pindah ke Tangerang untuk bekerja. Waktu proses administrasi pindah dari Semarang ke Tangerang, polisi Wonosobo interlokal ke polisi Tangerang dan bilang kalau saya melarikan diri dan kerja di pemerintah. Saya dicari polisi dan ditanyai macam-macam.
29 Juli 1979
Anak saya yang perempuan, Nani kawin.
31 Desember 1980
Saya ke luar sebagai ibu asarama SMTP. Gaji saya sebulan Rp 6.000. Dan terus saya ikut anak saya yang sudah menikah dan punya bayi. Jadi pekerjaan saya adalah momong cucu.
Tangerang, 5 Agustus 1999.
This post is also available in: English