Pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla diminta mengembalikan hak para pengikuti setia Presiden Soekarno atau “Para Soekarnois” yang mengalami praktik kriminalisasi politik.
Salah satu di antaranya adalah Gubernur Bali yang pertama Anak Agung Bagus Sutedja yang diculik dan tidak diketahui keberadaan sampai sekarang. Gubernur Sutedja dituding Partai Komunis Indonesia (PKI) dan penculikannya dipicu oleh konflik politik di internal Partai Nasional Indonesia (PNI) Provinsi Bali, antara Gubernur Anak Agung Bagus Sutedja melawan I Nyoman Mantik dan Wedastera.
Hal ini disampaikan oleh penulis buku “Nasib Para Soekarnois: Kisah Penculikan Gubernur Bali, Sutedja, 1966” Aju dalam acara diskusi dan peluncuran buku tersebut di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Kamis (01/10).
Dalam acara peluncuran tersebut hadir sejumlah narasumber, antara lain Komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat, Putra Gubernur Sutedja Anak Agung Gde Agung Benny Sutedja, IPT 1965 Nursjahbani Katjasungkana dan I Gusti Anom Astika dari Majalah Prisma.
“Persoalan Gubernur Bali Sutedja, pada dasarnya ujian bagi Pemerintahan Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Pemerintah Provinsi Bali dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali, untuk mau atau tidak menempuh sebuah langkah politik, memulihkan nama gubernur pertama Pulau Dewata,” ujar Aju dalam diskusi tersebut.
Wartawan senior Sinar Harapan ini juga mendesak Gubernur Bali dan Ketua DPRD Provinsi Bali untuk mengirim surat permohonan kepada Jokowi-JK agar menerbitkan surat keputusan pemulihan nama baik Anak Agung Bagus Sutedja. Menurutnya, jika Pemerintah sungguh-sungguh ingin melakukan rekonsiliasi pasca Gerakan 30 September (G30S) 1965 di Jakarta, maka langkah pertama mutlak dilakukan, pulihkan nama baik dan bayar hak gaji dan uang pensiun Gubernur Anak Agung Bagus Sutedja yang tidak pernah dibayar Pemerintah semenjak diculik tanggal 29 Juli 1966 di Jakarta.
“Selain Anak Agung Bagus Sutedja, ada 6 gubernur lainnya diberhentikan di tengah jalan. Proses pemberhentian diawali berbagai aksi unjuk rasa segenap komponen masyarakat dengan tudingan para gubernur itu terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI), setelah Presiden Soekarno diturunkan dari jabatan melalui kudeta merangkak Presiden Soeharto,” tandas Aju.
Keenam gubernur lain yang dituding PKI adalah Gubernur Kalimantan Tengah Tjilik Riwut, Gubernur Kalimantan Barat Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray, Gubernur Sumatera Utara Brigjen TNI Oeloeng Sitepu, Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Henk Ngantung, Gubernur Sumatera Selatan Pagar Alam dan Gubernur Jawa Tengah Mochtar.
Tujuh Gubernur Soekarnois, kata Aju memang pendukung setia ideologi Pancasila besutan Presiden Soekarno sebagai implementasi ideologi sosialis yang diterapkan sesuai alam dan budaya Indonesia. Sebuah ideologi yang berbenturan keras dengan ideologi liberalis kapitalis barat dimotori Amerika Serikat hingga tahun 1991.
“Tapi sosialis bukan otomatis komunis, karena implementasinya di Indonesia di dalam sila pertama Pancasila mengakui Tuhan, yakni Ketuhanan Yang Masa Esa,” tandasnya.
Lebih lanjut, dia menilai proses pemberhentian para gubernur Soekarnois, beraneka ragam, termasuk di antaranya pihak luar berpihak kepada salah satu kelompok. Dalam melakukan praktik kriminalisasi terhadap Brigjen TNI Oeloeng Sitepu, misalnya, hampir tidak ada kelompok yang menaruh simpati. Gerakan massa begitu cepat bergerak, menciduk Oeloeng Sitepu dari kediamannya dan dijebloskan ke penjara.
“Proses selanjutnya, menjadi serba misteri, karena Oeloeng Sitepu, dinyatakan meninggal dunia dalam tahanan. Banyak spekulasi muncul, termasuk diantaranya dugaan penyiksaan dan penganiayaan selama dalam tahanan, sehingga Oloeng Sitepu, meninggal dunia,” ceritanya.
Sementara terkait Gubernur Bali, sebagaimana dikisahkan dalam buku Aju, diungkapkan pasca-Gerakan 30 September 1965 di Jakarta meledak, kemudian menjalar ke Provinsi Bali yang dikenal dengan ‘Banjir Darah’. Bali, menjadi salah satu daerah dengan ‘penyembelihan’ terganas terhadap pihak yang dituduh simpatisan dan anggota PKI. Jumlah korban tewas di Bali perkirakan sekitar 80.000 hingga 10.000 orang.
Gubernur Bali, diculik empat pria berseragam Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) dari kediamannya di Kompleks senayan No 261/262, Jakarta pada tanggal 29 Juli 1966, pukul 09.00. Hingga sekarang tidak diketahui nasibnya. Gubernur Sutedja berada di Jakarta dalam rangka tugas khusus berdasarkan Surat Keputusan Presiden Soekarno, nomor 380 tanggal 18 Desember 196 yang sampai sekarng belum dicabut.
Selama tiga dasawarsa, keluarga besar puri Agung Negara Djembrana ‘dipaksa’ menanggung stigma terlibat PKI. Ini akibatnya pada tahun 1982, dinas Sejarah TNI AD menerbitkan buku berjudul. Pemberontakan gerakan 30 september 1965/Partai Komunis Indonesia (PKI) dan penuntasannya. Di mana, secara sepihak menuding Gubernur Bali, Anak Agung Bagus Sutedja, terlibat PKI
“Tidak ditemukan fakta hukum yang membuktikan keterlibatan Gubernur Bali, Anak Agung Bagus Sutedha di dalam PKI,” tegas Aju.
Sementara Anak Agung Gde Agung Benny Sutedja, putra Gubernur Sutedja yang menghadiri peluncuran buku, turut menampilkan dokumen-dokumen penting sebelum diculik seperti surat penugasan ke Jakarta, dan undangan-undangan pertemuan di Jakarta sebelum penculikan.
Benny Sutedja berharap kisah penculikan ayahnya melahirkan doa dari masyarakat agar hak-hak keluarga Sutedja dipulihkan oleh pemerintah saat ini.
“Selama keluarga kami hidup, kami hanya ingin didoakan masyarakat supaya perjuangan keluarga yang menjadi korban berhasil dan hak-hak beliau sebagai manusia dikembalikan,” kata Benny Sutedja.
“Saya tidak akan jemu untuk memberitahu pemerintah tentang keadaan yang sebenarnnya. Saya mungkin akan mengirimkan kopi surat yang pernah dikirimkan kepada presiden sebelumnya kepada pemerintah yang sekarang,” tambahnya.
Sementara Komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat menganjurkan Presiden perlu mengungkapkan rasa penyesalan atas tragedi pelanggaran HAM G-30-S/PKI sehingga Indonesia bisa bebas dari beban sejaarah. Rasa penyesalan ini, kata Imdadun, bukanlah minta maaf kepada korban.
“Jika tidak ada penyesalan dari Presiden, maka isu yang terus-menerus muncul akan menjadi alat reproduksi kebencian sosial. Korban semakin membenci pelaku, sementara pelaku ketakutan untuk diungkap sehingga muncul kebencian baru yang mestinya bisa diakhiri jika presiden bersikap,” pungkas Imdadun.
Sumber: Berita Satu, 2 Oktober 2015
This post is also available in: English