Catherine Pandjaitan

Catherine Pandjaitan

Sumber: CNN Indonesia

Catherine mengaku menyesal datang ke Indonesia. Tak lama setelah kepindahannya dari Bonn, Jerman ke Jakarta, ia harus kehilangan ayahnya, Asisten Logistik Panglima Angkatan Darat, Mayor Jenderal Donald Isaac Pandjaitan.

Kejadian itu terjadi dini hari pada awal Oktober 1965. Catherine, putri sulung DI Pandjaitan, terbangun sekitar pukul 4.00 WIB.

“Banyak suara sepatu boots,” kata dia. Saat melihat ke luar jendela dari kamarnya di lantai dua, Catherine melihat puluhan orang berseragam tentara telah mengepung rumahnya.

Kisah yang selanjutnya terjadi, persis seperti yang dituangkan Arifin Chairin Noer pada film propaganda Penghianatan G30S.

Sebelum kejadian itu, Catherine mendengar keluh kesah Donald tentang kariernya di Angkatan Darat. Dengan bahasa batak, Donald berbincang dengan isterinya, Marieke Tambunan.
Lihat juga:Seniman Lekra, Besar dan Terhapus dari Sejarahnya Sendiri
Menurut Catherine, Donald bersedih karena tak akan mendapatkan kenaikan pangkat. Alasannya, Donald menolak menyetujui pasokan senjata untuk angkatan kelima.

“Saya benci dengan Indonesia. Itu pikiran saya saat berumur 17 tahun,” kata Catherine saat bersaksi pada Simposium Nasional Tragedi 1965 di Jakarta, Senin (18/4).

Kehidupan Catherine pun lantas tak tentu arah. Setelah Tragedi 1965, ia kembali ke Eropa untuk bersekolah. Ia lantas berkarier sebagai pramugari pada sebuah maskapai penerbangan.

Selama bertahun-tahun Catherine tidak dapat menerima kematian Donald. Ia akrab dengan obat tidur dan mudah terbawa emosi.
Lihat juga:Kesaksian Lengkap Kopral Suparno, Prajurit Nahas Korban 1965
Kehidupan Catherine berubah ketika ia datang ke sebuah gereja di Indonesia. “Di Eropa tidak ada psikiater yang mampu menolong saya. Tapi ternyata Tuhan membantu saya,” ucapnya sambil sesekali terdiam, menahan tangis.

Pada suatu kesempatan, Catherine bertemu dengan Svetlana Nyoto, putri petinggi Partai Komunis Indonesia, Lukman Nyoto.

Catherine yang perlahan berdamai dengan Tragedi 1965 pun tidak menyangka, sejumlah keluarga lain ternyata mengalami penderitaan yang lebih berat dibandingkan dirinya.

“Kasian sekali kehidupan anak PKI,” kata Catherine.

 

Anak Nyoto dan Rusia

 

Svetlana Njoto

Svetlana Njoto

Svetlana, putri Nyoto, tak kuasa menceritakan kembali masa lalunya yang penuh peristiwa tak mengenakan. Namun, dengan tetap tegar, ia akhirnya menceritakan kisah yang jarang diketahui publik.

“Beban terberat saya, yang tidak pernah diketahui teman, adalah saat menyembunyikan identitas selama puluhan tahun,” ucapnya.

Svetlana berkata, ia tak berani menggunakan namanya yang sangat berbau Rusia. Dalam tradisi Eropa Timur, Svetlana berarti cahaya terang.

Ia berkata tidak sedikit pun takut pada ancaman pemenjaraan ataupun penghilangan paksa akibat namanya. Ia menegaskan, “Saya bangga pada bapak saya.”

Pada forum yang sama dengan Catherine, Svetlana mengungkapan kegelisahannya pada masa itu. Ayahnya hilang, sementara ibunya selama belasan tahun ditahan di markas tentara.

Kondisi itu menyebabkannya harus berpindah dari satu rumah ke rumah lain milik saudaranya.
Lihat juga:Kisah Nani, Ditangkap Usai Bernyanyi untuk Sukarno di HUT PKI
Pertemuannya dengan Catherine awal dekade 2000-an, membuka lembaran baru hidup Svetlana. Hubungan keduanya terus berlanjut hingga saat ini.

“Catherine sudah seperti kakak saya sendiri. Orang-orang heran dengan persahabatan saya dengan Catherine,” kata dia.

Tak hanya Catherine dan Svetlana, belasan anak dan cucu tokoh nasional lain yang menjadi korban Tragedi 1965 juga berkumpul pada satu perkumpulan bernama Forum Silaturahmi Anak Bangsa.

Selain anak-anak pahlawan revolusi, perkumpulan itu juga diikuti putra-putri tokoh yang pernah bermasalah dengan Orde Baru. Anak-cucu pemimpin Darul Islam, Daud Beureu’eh dan Kartosuwiryo adalah beberapa di antaranya.

Tentang hubungan ini, Catherine menyebut indahnya sikap saling memaafkan antara pihak-pihak yang terlibat Tragedi 1965. Ia berkata, generasi masa depan Indonesia tidak boleh hidup dalam dendam akibat peristiwa berdarah masa lalu.

“Yang harus diingat adalah anak dan cucu Indonesia, kami ingin mereka menjadi seperti apa,” ucap Catherine.

This post is also available in: English