Sumber : CNN, 30/06/16
Dialog terbuka di Taman GOR, Palu, 24 Maret 2012, jadi momen penting bagi Rusdy Mastura. Acara itu digelar sederhana di lapangan terbuka, beralas karpet dengan bentangan spanduk putih bertuliskan “Stop Pelanggaran HAM.”
Dialog itu mempertemukan Rusdy dengan para korban pelanggaran hak asasi manusia Tragedi 1965. Pria asli Palu itu diundang untuk menyampaikan sambutan. Saat itu dia menjabat sebagai Wali Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Sebelum memenuhi undangan, Rusdy sempat membaca buku berjudul Memecah Pembisuan yang diberikan panitia. Buku itu berkisah tentang pengakuan korban yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia. Rusdy tersentuh kisah mereka.
Melihat wajah orang-orang renta yang duduk bersila di hadapannya, Rusdy membayangkan pengalaman pahit para korban selama puluhan tahun. Di tempat itu, dia mendengar langsung kesaksian korban.
Mereka ditangkap tanpa diadili dan diperlakukan semena-mena karena dianggap terlibat PKI, partai yang dituduh mendalangi peristiwa Gerakan 30 September 1965. Keluarga mereka dikucilkan karena stigma jahat orang komunis.
“Saya melihat penderitaan. Mereka mengalami kehancuran. Kerja paksa tanpa gaji, tanpa jaminan kesehatan. Mereka, tua-tua, dipertemukan kembali hari itu,” kata Rusdy sendu di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, semalam.
Rusdy menceritakan pengalaman itu saat menjadi pembicara dalam diskusi peluncuran bukunya yang berjudul Palu dan Godam Melawan Keangkuhan, Kisah di Balik Permohonan Maaf pada Korban Pelanggaran HAM Peristiwa 1965-1966.
Dalam buku itu disebutkan mengenai 16 jenis pelanggaran HAM terkait peristiwa 1965-1966 di Kota Palu. Beberapa di antaranya yaitu kerja paksa, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, pemutusan sumber kehidupan, kekerasan seksual, hingga usaha eksekusi.
Rusdy berpikir, mungkin PKI bersalah saat itu, tapi tidak seharusnya diperlakukan kejam. Bagaimanapun, mereka tetap warga negara Indonesia.
“Kami dulu terlalu kejam. Semangat kami membalas PKI. Mungkin tokoh PKI kurang ajar, tapi kami membalasnya juga kelewatan. Sebagai orang beragama masak membalas secara berlebihan,” ujar Rusdy.
Dalam dialog empat tahun lalu di Taman GOR Palu itu, ketika Rusdy diminta memberi kata sambutan, dia memakai kesempatan tersebut untuk menyampaikan rasa sesalnya. Bukan hanya selaku individu, tapi juga sebagai kepala daerah.
“Sebagai Pemerintah Kota Palu, saya minta maaf kepada Bapak, Ibu, saudaraku semua yang menjadi korban Peristiwa 1965,” ujar Rusdi. Ucapan itu spontan dia lontarkan tanpa persiapan sebelumnya.
Wali Kota Palu periode 2005-2015 itu mengatakan, permintaan maaf bukan ditujukan kepada PKI, tapi atas ketidakadilan yang diterima korban peristiwa 1965-1966.
“Bukan masalah PKI dimaafkan atau tidak, tapi rakyat kita yang harus diperjuangkan agar nasibnya kembali setara dengan yang lain,” kata dia.
Mengganyang dan berdamai
Di hadapan para korban, Rusdy mengaku terlibat pengganyangan PKI. Dia ikut menangkap korban dan mengawasi rumah yang dipakai untuk menampung orang-orang PKI sebelum dieksekusi.
“Saya bisa dikatakan pelaku pada saat itu karena ikut menangkap dan menjaga rumah tahanan,” kata pria kelahiran Palu, Februari 1950 tersebut.
Ketika itu usia Rusdy masih 15, dan duduk di bangku SMA. Dia aktif dalam kegiatan Pramuka. Keterlibatannya mengganyang PKI tak lepas dari peran tentara yang memanfaatkan peristiwa. “Saya ikut menangkap, dipakai oleh Staf I Korem.”
Sejak 1965 hingga kini, para korban mengalami perlakuan tidak adil selama hampir setengah abad. Mereka takut berkumpul meski dengan sesama korban, apalagi dengan masyarakat. Dalam keluarga sendiri bahkan tidak mau bercerita mengenai masa lalu. Keturunan korban terhambat dalam sosialisasi karena stigma anak PKI.
“Mereka kehilangan kepercayaan, harga diri, sehingga sulit untuk beradaptasi karena mengalami trauma,” kata Rusdi.
Permintaan maaf kepada korban tak berarti apa-apa tanpa adanya kebijakan Pemerintah Kota Palu. Konsekuensi dari permintaan maaf adalah pemenuhan HAM terhadap korban sehingga mereka tidak lagi berstatus sebagai warga negara yang mengalami diskriminasi dan stigmatisasi.
Rusdy kemudian menerbitkan Peraturan Wali Kota Palu Nomor 25 Tahun 2013 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Daerah. Perwali tersebut sebagai tindak lanjut permintaan maaf Pemerintah Kota Palu.
Awalnya, jajaran pemerintahan Kota Palu belum siap secara mental maupun teknis dengan kebijakan Rusdy. Pengakuan atas kesalahan masa lalu tidak mudah dilakukan aparat pemerintahan. Berebut klaim sebagai korban atau saling tuding pelaku kejahatan bakal menghambat penyelesaian persoalan pelanggaran HAM.
“Mungkin mereka yang menolak (meminta maaf) karena tidak pernah saling bertemu. Coba sekali waktu ketemu, lihat kehidupan korban, kan jadi tersentuh,” ujar Rusdy yang juga Ketua DPRD Palu periode 1999-2005.
Secara teknis, Pemkot Palu mendata dan memverifikasi para korban. Dalam Ringkasan Eksekutif, Penelitian dan Verifikasi Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Persitiwa 1965-1966 di Kota Palu terdapat 768 korban yang terverifikasi.
Hampir semua korban tingkat kehidupan sosial ekonominya berada di kelas bawah. Peningkatan pendapatan menjadi kebutuhan mendesak para korban. Pemenuhan hak korban mulai dilakukan Pemerintah Kota Palu melalui program pengentasan kemiskinan.
“Ada yang dapat perbaikan rumah, layanan kesehatan, BPJS, beasiswa. Dulu mereka tidak diperhatikan. Masyarakat seperti alergi kepada mereka,” kata Rusdy.
Harapan terbesar para korban adalah rehabilitasi nama baik. Selama ini negara telah memperlakukan mereka dengan tidak semestinya, mengabaikan dan merendahkan harkat martabat mereka sebagai manusia.
Karena itu, menurut Rusdy, permintaan maaf yang diikuti keluarnya kebijakan pemerintah bisa menjadi alat untuk memberi kesempatan bagi korban dalam memperbaiki hidup mereka di masa mendatang dengan jaminan pemenuhan HAM tanpa diskriminasi dan stigmatisasi.
“Masak saudara kita karena kebetulan dia kiri, enggak kita berikan penghormatan sebagai manusia? Apa moral seperti itu masih kita punya? Berbeda (pemikiran) itu soal lain” ujar Rusdy.
Darah Masyumi
Keberanian Rusdy meminta maaf lebih dilandasi persoalan kemanusiaan, bukan urusan politik. Rusdy dibesarkan dalam didikan ayahnya sebagai tokoh Partai Masyumi, lawan politik PKI.
Rusdy belajar menghargai perbedaan dari para pendiri bangsa. Suatu hari dia berdiskusi dengan Mohammad Natsir, pendiri Masyumi. Cudi, panggilan Rusdy, mendapat cerita tentang perdebatan ideologi tanpa mencederai kemanusiaan.
“Saya belajar cara berpikir demokratis. Seperti dikatakan Pak Natsir, dia dengan Aidit (Ketua PKI) dalam sidang seperti mau lempar-lemparan, tapi keluar sidang mereka boncengan pergi makan. Itu kan tidak pernah ada lagi sekarang,” tutur Rusdy.
oordinator Subkomisi Media Komnas HAM Nur Kholis menilai upaya Rusdy meminta maaf kepada korban Tragedi 1965 sulit dikaitkan dengan pertimbangan politis.
“Apalagi Pak Rusdy pernah aktif dalam Pemuda Pancasila yang juga diduga terlibat dalam kekerasan (Tragedi 1965) ini,” ujar Nur Kholis.
Pada 1983, Rusdy menjabat sebagai Ketua Pemuda Pancasila. Setahun sebelumnya dia menduduki posisi Sekretaris Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR). Dia juga pernah menjadi Ketua Harian Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Provinsi Sulawesi Tengah.
Upaya penyelesaian pelanggaran HAM seperti yang dilakukan Rusdy diharap Komnas HAM dapat menyebar ke daerah lain meski hal itu tidak mudah dilakukan, sebab tiap daerah memiliki karakteristik berbeda.
Bagi Rusdy, pemimpin daerah hanya butuh keberanian dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Dukungan masyarakat ikut berperan besar dalam mewujudkan kota ramah HAM.
“Saya punya harapan agar para aktivis di daerah bisa membujuk bupatinya untuk bertemu korban, menginventarisasi korban, dan menggelar dialog,” ujarK
This post is also available in: English