Kamis, 12 November 2015 12:01 | Reporter : Ardyan Mohamad
International People’s Tribunal (IPT) untuk pengungkapan tragedi 1965 telah menyelesaikan sidang hari kedua. Sidang kemarin (11/11) fokus membahas penyiksaan tahanan politik terduga komunis dan kekerasan seksual bagi tapol perempuan.
Seperti dikisahkan ulang oleh Joss Wibisono, yang hadir dalam sidang di Den Haag, Belanda, salah satu momen paling menggetarkan saat saksi Tintin Rahaju, namanya disamarkan, menceritakan penyiksaan yang dia terima di Kantor Corps Polisi Militer, Yogyakarta.
“Rambutnya dibakar, dia digampar dengan sepeda, kepala ditempelengi, ditelanjangi dan … banyak lagi pelecehan seksual lain yang tak tega kutulis di sini. Dia dituduh melakuken gerilya politik,” tulis Joss dalam akun Facebook pribadinya menggunakan ejaan lama.
Sedangkan seperti dilansir BBC Indonesia, penyiksaan tapol perempuan menyerupai pemerkosaan. Saksi, yang dituding anggota PKI padahal statusnya saat itu adalah mahasiswa aktivis PMKRI, ditelanjangi dan dipaksa melayani syahwat polisi militer yang menginterogasinya.
“Dalam keadaan telanjang itu, saya dipegang oleh dua orang. Mengarah ke setiap pemeriksa itu, saya disuruh menciumi kelamin mereka,” kata saksi itu dalam sidang, yang kemudian diapresiasi Hakim Ketua Zak Yacoob karena bersedia merekonstruksi ulang peristiwa menyakitkan di masa lalu.
Menandai jalannya sidang hari kedua, yang semakin banyak memberi bukti adanya pelanggaran HAM berat selepas 65, Komisioner Komnas HAM Dianto Bachriadi berharap kebenaran terus diungkap. Dia mengatakan pihaknya sudah melakukan penelusuran soal isu serupa sejak 2003 sampai 2012. Namun hasil penelitian serta rekomendasi Komnas HAM ditolak Kejaksaan Agung.
Artinya, selain penyelesaian hukum yang masih mandeg, maka solusi lain menuntaskan pelanggaran HAM berat seperti kasus 1965 adalah dengan rekonsiliasi korban dan pelaku.
“Satu faktor penting yang harus terpenuhi dalam proses rekonsiliasi itu adalah pengungkapan kebenaran,” kata Bachriadi.
Walau memperoleh dukungan Komnas HAM, pemerintah Indonesia secara umum tidak menyambut baik pelaksanaan Sidang Rakyat 1965 di Belanda. Wapres Jusuf Kalla menuding Pemerintah Belanda membantu IPT, kendati secara resmi penyelenggara sidang adalah upaya swadaya WNI di Belanda disokong pegiat HAM lintas negara.
“Kalau mau begitu (gelar pengadilan rakyat), kita adili Belanda juga (sebab) berapa yang dibunuh Belanda di sini (Indonesia). Lebih banyak lagi,” kata wapres.
Senada dengan JK, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menanggapi sinis pelaksanaan sidang peradilan rakyat tersebut. Dia menyebut tahun 1965 rakyat bergerak membantai komunis secara spontan, merespon pergerakan pasukan diduga suruhan PKI yang menculik enam jenderal dan satu perwira TNI AD.
“Begini ya, tahun ’65 itu yang duluan siapa? Kalau dulu tidak ada pemberontakan tidak ada masalah ini, jadi yang memulai duluan itu jelas melanggar HAM,” tegas Ryamizard.
Sedangkan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir, mengatakan Pemerintah Belanda maupun Pemerintah Indonesia tidak terlibat kegiatan IPT. Karena sidang di Den Haag itu di luar mekanisme hukum nasional maupun internasional, pemerintah memutuskan isu 1965 sebaiknya diselesaikan lewat pendekatan lain.
“Sebagai bangsa kita harus dapat melihat ke depan dengan tetap menghormati dan mencari penyelesaian sejarah kita bersama,” kata Arrmanatha. [ard]
Sumber: Merdeka.Com
This post is also available in:
English