“Menolak keras Keppres 17/ 2022 sebagai model penyelesaian non-yudisial, karena jelas-jelas tidak menempatkan tahap ‘pengungkapan kebenaran’ sebagai prasyarat mutlak bagi penyelesaian berkeadilan terhadap ‘Pembinasaan Manusia 1965-66 dan Kejahatan Lanjutannya’, dan menuntut pemerintah untuk konsisten pada standar dan instrumen hak asasi manusia, khususnya langkah-langkah untuk memerangi impunitas.”
Pernyataan Bersama tentang Keppres No.17 Tahun 2022
dalam pdf sila klik Pernyataan Bersama
Menanggapi Keputusan Presiden Nomor 17 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu, 26 Agustus 2022, khususnya terkait kejahatan serius 1965-66, kami menyampaikan beberapa pandangan sebagai berikut.
Sebagaimana termaktub dalam Pasal 3, inti Keputusan tersebut menetapkan tiga tugas utama kepada Tim PP-HAM, yaitu: (a) melakukan pengungkapan dan upaya penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu yang ditetapkan Komnas HAM hingga tahun 2020; (b) merekomendasikan pemulihan bagi korban atau keluarganya; dan (c) merekomendasikan langkah untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak terulang di masa yang akan datang.
Walaupun secara umum tampak ketiga tugas tersebut telah mencakup 4 pilar hak-hak korban dalam memerangi impunitas berupa hak atas kebenaran (right to truth) dan hak publik untuk tahu (public right to know); hak atas keadilan; hak atas pemulihan; dan jaminan tidak berulangnya kejahatan serius di masa depan; namun beberapa masalah mendasar berikut ini melekat dalam Keppres tersebut.
Pertama, ‘pengungkapan kebenaran’ bukan menjadi tugas pokok dan utama Tim PP-HAM. Dalam Pasal 3(a) pengungkapan kebenaran dicantumkan selintas dalam satu tarikan nafas bersama “penyelesaian pelangaggaran HAM berat masa lalu […]” sehingga menjadi kabur. Padahal sebagaimana kita ketahui dalam standar dan instrumen hak asasi manusia serta hukum internasional terkait, ‘pengungkapan kebenaran’ merupakan kunci bahkan prasyarat mutlak bagi langkah penyelesaian non-yudisial selanjutnya, yakni berupa pengakuan bersalah, permintaan maaf dan penerimaannya (rekonsiliasi); pemulihan hak-hak korban (seperti reparasi, rehabilitasi, restitusi, dsb); serta jaminan tidak berulangnya kejahatan masa lalu tersebut. Tanpa pengungkapan kebenaran dengan metodologi yang tepat untuk memastikan “siapa melakukan apa terhadap siapa, di mana, kapan, dan dengan cara bagaimana (who did what to whom, where, when, and how)” maka mustahil melanjutkan proses rekonsiliasi antara para pelaku dan korban.
Kedua, dengan mengaburkan kuncinya (pengungkapan kebenaran) maka jembatan/ penghubung antara jalur ‘penyelesian non-yudisial’ dan ‘penyelesaian yudisial’ yang diawali dengan penyelidikan (inquiry) Komnas HAM ditiadakan. Karena itu klaim pemerintah bahwa Keppres 17/2022 merupakan pelengkap (complementary) dan bukan pengganti (subtitution) bagi penyelesaian yudisial (peradilan, projusticia) [sic!] tidak memiliki dasar normatif apapun, bahkan berakibat menghancurkan prinsip-prinsip untuk memerangi impunitas.
Lebih lanjut, meskipun dalam Pasal 9(a) Keppres tersebut ditentukan bahwa Tim Pelaksana bertugas untuk melakukan analisis terhadap kejahatan serius masa lalu; dan Pasal 10(1)-nya menugaskan Tim untuk mengungkap latar belakang, sebab-akibat, faktor pemicu, identitas korban, dan dampak yang ditimbukannya; namun tidak satupun dalam Keppres tersebut yang memastikan hasil dan rekomendasi Tim akan diteruskan kepada dan menjadi bagian integral dari penyelidikan Komnas HAM selanjutnya.
Ketiga, sebagaimana kita ketahui, sejak diselenggarakannya International People’s Tribunal (Pengadilan Rakyat Internasioanl, Den Haag, tepat hari ini 7 tahun lalu, 10-13 November 2015) serta keputusan Panel Hakim-nya (Juli 2016) mengenai ‘pembinasaan manusia 1965-66 dan kejahatan lanjutannya’, telah muncul berbagai fakta-fakta baru yang belum pernah diungkap sebelumnya, bahkan tidak dicakup dalam Laporan Penyelidikan Komnas HAM yang telah dilimpahkan ke Kejaksaan Agung, lebih 10 tahun lalu, Juli 2012. Terlepas dari kualitas penyelidikan Komnas HaM dan kelemahan metodologi inquiry-nya berupa ‘sampling kasus’, serta tiadanya niat baik pemerintah (Kejaksaan Agung) sehingga Laporan Penyelidikan Peristiwa 1965-66 bolak-balik dipingpong dari Kejaksaan AgungKomnas HAM, maka perlu kami sampaikan beberapa fakta-fakta baru (yang dapat menjadi fakta/ bukti hukum baru atau novum) yang sudah dipublikasi sebagai berikut:
a) Tak kurang dari 10 karya akademik doktoral dan post-doctoral dengan berbagai pendekatan dan disiplin ilmiah mengungkap mengenai ‘pembantaian massal 65-66 dan kejahatan lanjutannya’, untuk hanya menyebut beberapa contoh seperti karya Geoffrey Robinson Musim Menjagal (ENG 2017, IND 2018), Jess Melvin, Berkas Genosida Indonesia (ENG 2020, IND 2022), John Roosa, Buried Histories (2020).
b) Deklasifikasi dokumen rahasia Dinas Intelejen AS yang mulai diungkap sejak sidang IPT65, hingga beberapa tahun terakhir pada Oktober 2017, mengenai keterlibatan AS dalam pembunuhan massal; termasuk fakta-fakta yang mengungkap campur tangan seperti dinas rahasaia Inggris, dan terakhir Jerman Barat.
c) Penerbitan puluhan buku memoar yang ditulis oleh para korban/ penyintas 1965 atau anggota keluarganya baik di dalam maupun di luar negeri (exil) yang kaya informasi dan data tidak hanya mengenai penderitaan, resistensi dan resiliensi korban/ penyintas untuk bertahan hidup di berbagai tempat di tanah air (termasuk mereka yang ditahan dalam kamp kerja paksa P.Buru) dan yang memperjuangkan hak-hak asasinya namun tidak kunjung dihormati oleh berbagai kelompok pelaku dan pewaris ideologisnya bahkan terus dirampas hak-haknya hingga saat ini. Dalam beberapa kasus, sejak 1998, para korban/ penyintas masih terus mengalami stigma dan persekusi sistemik.
d) Hasil temuan dan pendataan kuburan massal yang didokumenkan oleh YPKP65 sejak 2015 hingga kini, dengan sedikitnya 360 titik lokasi pada lebih 20 kabupaten/ kotamdaya di berbagai propinsi di negeri ini.
Berdasarkan penjelasan dan kenyataan di atas, kami menyatakan:
- Menolak keras Keppres 17/ 2022 sebagai model penyelesaian non-yudisial, karena jelas-jelas
tidak menempatkan tahap ‘pengungkapan kebenaran’ sebagai prasyarat mutlak bagi penyelesaian berkeadilan terhadap ‘Pembinasaan Manusia 1965-66 dan Kejahatan Lanjutannya’, dan menuntut pemerintah untuk konsisten pada standar dan instrumen hak asasi manusia, khususnya langkah-langkah untuk memerangi impunitas. - Mendesak pemerintah (c.q. Presiden Joko Widodo) untuk membuka akses pada publik seluas-luasnya terhadap Rancangan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang merupakan
pelengkap dari UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM. - Mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk melakukan penyelidikan lanjutan yang bersumber dari Laporan Penyelidikan Komnas HaM (2007-2012) dalam kasus yang disebut sebagai “Peristiwa 1965-66” berdasarkan temuan, berbagai fakta dan bukti baru yang belum diselidiki sebelumnya, namun tak terbatas pada uraian kami di atas.
- Menuntut kepada Komnas HaM dan Pemerintah –sebagaimana pernah kami serukan dalam
Pernyataan 2 Mei 2016 yang ditandatangani oleh 156 aktivis, akademisi, dan korban /penyintas- untuk aktif bekerjasama mengambil langkah-langkah protektif untuk mengidentifikasi dan melindungi titik-titik lokasi kuburan massal sesuai dengan kaidah ilmiah
(scientific) dan standar internasional perlindungan mass grave (kuburuan massal).
simak pula
[Rekaman] FGD Keppres PAHAM* : Keadilan atau Impunitas? *Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Pernyataan Sikap / Siaran Pers Koalisi Masyarakat Sipil
Keppres Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, Jokowi Kukuhkan Impunitas dan Putihkan Pelaku Pelanggaran HAM
This post is also available in: English