Sumber : Tempo, 22 Juli 2016
Slamet, 87 tahun, korban peristiwa 1965, mengatakan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu belum mendapat perhatian penuh dari pemerintah Indonesia dan pihak internasional yang kompeten. Hingga kini, permasalahan itu tak kunjung menunjukkan titik terang.
“Saya tidak puas dengan pengusutan kasus ini karena hanya diomongkan,” tutur Slamet, Jumat, 22 Juli 2016.
Wacana yang digembar-gemborkan itu, menurut dia, ialah permintaan maaf dari pemerintah kepada korban dan keluarga peristiwa 1965. Isu tersebut masih memunculkan pro-kontra dari sejumlah pihak, meski tragedi itu, kata Slamet, menyebabkan jutaan penduduk menjadi korban.
Pengadilan Rakyat Internasional (People’s Tribunal/IPT) 1965 memutuskan, tragedi masa silam itu merupakan genosida atau pembunuhan besar-besaran secara berencana. IPT merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk meminta maaf, memberikan kompensasi kepada korban dan keluarganya, serta melanjutkan penyelidikan dan penuntutan terhadap semua pelaku.
Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 Madiun Marsiswo Dirgantoro menilai, pemerintah tidak berniat melaksanakan rekomendasi IPT tersebut. Indikasinya ada pejabat pemerintah yang menyatakan IPT tidak obyektif mengambil putusan ihwal tragedi 1965.
“Kalau begini, jelas pemerintahan Jokowi tidak melaksanakan janji kampanyenya. Satu di antaranya soal penuntasan pelanggaran HAM berat,” ujarnya.
Irgan, panggilan Marsiswo, menyayangkan hal itu. Apalagi, menurut dia, penyelesaian permasalahan yang terjadi 51 tahun lalu itu masih sebatas wacana dan rencana. Padahal hasil akhirnya ditunggu masyarakat.
“Penyelesaian lewat jalur hukum (yang dijalankan Kejaksaan Agung) juga tidak bergerak,” ucapnya.
Untuk menuntaskan masalah ini, Irgan berharap, dunia internasional, melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa, ikut campur tangan. Rekomendasi yang diberikan mampu menjawab pro-kontra tragedi kemanusiaan ini. “Kami tunggu prosesnya terus bergulir,” tuturnya.
This post is also available in: English