Oleh : Muhammad Iqbal* |

 
Film Pengkhianatan G30 S PKI bisa jadi merupakan gambaran resmi usaha kudeta 1965 yang paling masyhur, karena setelah dirilis pada 1983, film itu ditayangkan oleh Televisi Republik Indonesia (TVRI) setiap 30 September sepanjang periode Orde Baru.

Pemerintah bermaksud agar film itu beredar secara luas. Oleh karena itu gambaran peristiwa-peristiwa di dalam film digarap dengan cermat. Tokoh-tokoh kunci yang mengerjakan Pengkhianatan G30 S PKI adalah sejarawan Nugroho Notosusanto sebagai penyunting dan yang versinya tentang kudeta menjadi dasar utama untuk penulisan naskah film, Brigadir Jenderal Dwipayana -seorang terpercaya staf kepresidenan yang saat itu menjabat sebagai Direktur Perusahaan Film Nasional, dan sutradara Afirin C. Noer (Sen & Hill 2007: 147).

Para pembuat film itu menyebut Pengkhianatan G30 S PKI sebagai “doku-drama”. Mereka menaruh perhatian yang cermat pada bagian detail, khususnya dalam merekonstruksi adegan penculikan. Karena topik fim itu termasuk sensitif, Pengkhianatan G30 S PKIdiperiksa dulu oleh mereka yang terlibat, seperti Presiden Suharto dan Jenderal Sarwo Edhie, dan oleh tokoh militer senior lain, sebelum diputar (Sen 1994: 81).

Meskipun sejumlah sarjana sering menyebut-nyebut film ini, isinya secara mendetail jarang diteroka. Karena panjangnya “doku-drama” yang berlangsung selama empat jam ini, representasi “komunis” Indonesia lebih banyak bisa dikembangkan dalam sumber film ini daripada dalam versi-versi resmi yang tertulis ihwal kisah usaha kudeta dan versi-versi yang ada dalam museum.

Narasi film menekankan pada tema-tema bahwa komunis jahat, penuh tipu muslihat, dan korup. Anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) nampak duduk merokok dalam rapat-rapat rahasia dalam ruang penuh asap rokok, yang mengingatkan pada sosok-sosok gangster.

Narasi berkembang ke arah puncak peristiwa di Lubang Buaya, dengan menampilkan serangkaian cuplikan yang menandakan teror komunis yang semakin meningkat. Film ini memasukkan motif api dan hewan yang ketakutan seperti kijang di Istana Bogor yang berlarian, untuk melukiskan suasana berkecamuk. Adegan sekolah Islam yang diserang bermaksud mengingatkan para penonton pada kerangka keagamaan narasi ini.

Dalam sebuah adegan sebelum terjadinya usaha kudeta, seorang bocah yang nampak miskin bertanya kepada ibunya yang sedang menangis, “Siapa yang membunuh Bapak, Ibu?” Ibunya menjawab, “Orang komunis, mereka biadab.”

Agar film tampak lebih otentik, adegan diambil dalam rumah jenderal-jenderal itu sendiri. Setiap adegan penculikan dimulai dengan pengambilan gambar keluarga jenderal dengan memotret foto mereka bersama isteri, kemudian dilanjutkan dengan pengambilan adegan rumah yang tenang di malam hari. Anak para jenderal tampak tidur di kasurnya masing-masing.

Dari adegan-adegan rumah yang bersuasana damai itu, film beralih ke adegan kobaran api dan rapat komunis di Lubang Buaya. Mereka yang hadir di rapat itu tampak liar dan bersemangat. Mereka berteriak, “Hidup Rakyat, Hidup Nasakom, Hidup Bung Karno, Hidup Bung Aidit”.

 

Rasa terancam

Kita kembali ke adegan Jenderal Parman, yang terlihat memiliki firasat. Dalam mimpinya, dia mendengarkan teriakan burung, tetapi isterinya mengatakan itu hanyalah mimpi belaka. Namun teriakan burung itu begitu jelas!

Tampaknya mereka digambarkan seolah-olah mempunyai perasaan yang tajam perihal ancaman yang menunggu mereka untuk mengaburkan kepasifan mereka sebagai perwira militer dalam menghadapi kematian. Dus, film beralih kembali ke adegan yel-yel di Lubang Buaya.

Film itu memperlihatkan adegan api unggun di Lubang Buaya sambil mendengarkan musik piano yang sumbang yang ingin menandakan datangnya malapetaka. Figur-figur komunis tampak baris-berbaris dan memakai ikat leher merah.

Berulang kali kita melihat rumah dan keluarga yang tenang diganggu dengan kekerasan. Penonton film mengalami kembali adegan-adegan di rumah Jenderal Nasution, tempat ajudan Pierre Tendean mengalami salah tangkap; Jenderal Yani, yang ditembak karena melawan perintah panggilan ke istana; Jenderal Sutoyo, yang ditangkap dan diberi waktu untuk ganti pakaian; dan Jenderal Pandjaitan dan Jenderal Hayono, yang ditembak di depan keluarga mereka.

Pengkhianatan G30 S PKI menekankan pada penyerbuan rumah para para jenderal oleh komunis yang “menyamar” sebagai prajurit. Dalam konteks “penghancuran” keluarga ini, film itu juga bertungkus lumus mengeksploitasi sepenuhnya adegan meninggalnya anak perempuan Jenderal Nasution, Ade Irma Suryani, yang tertembak dalam penembakan terhadap Nasution dan usaha penculikannya.

Menurut Saya Sasaki Shirashi, penghancuran keluarga dalam film ini juga merupakan bagian dari citra yang bertentangan dengan citra Orde Baru yang menekankan pada keutuhan keluarga (Shirashi 2009: 77). Sekali lagi, adegan ini bisa dilihat sebagai representasi tema “kekacauan sebelum ketertiban”, yang oleh Krishna Sen dilihat sebagai ciri dominan dari sebagian besar film periode Orde Baru (Sen 2007: 159).

Film Pengkhianatan G30 S PKI memanggungkan lukisan yang hidup tentang penyiksaan para jenderal. Dalam film, adegan liar di Lubang Buaya mulai dengan menari, api, dan yel-yel. Dapat kita saksikan wajah seorang jenderal yang berdarah dan tubuh para korban diseret kian kemari.

Adegan penyiksaan yang berdarah ini, termasuk pencukilan mata dan perusakan alat vital oleh perempuan, diiringi musik. Beberapa jenderal ditembak diiringi teriakan “bunuh, bunuh”. Lantas, tampak jenazah dimasukkan ke sumur. Juga terlihat perempuan menari-nari mengelilingi sumur.

 

Propaganda swalayan

Namun, benarkah faktanya demikian? Senyata, pada 1987, Benedict Anderson menerbitkan terjemahan laporan otopsi yang dilakukan atas perintah Suharto pasca jenazah para pahlawan militer ditemukan dan diangkat dari sumur. Laporan itu membuktikan bahwa mata korban tidak dicungkil dan bahwa alat vital mereka utuh (Anderson 1987: 109-34).

Katharine E. McGregor dalam History in Uniform; Military Ideology and the Construction of Indonesia’s Past, menjelaskan bahwa melalui film resmi tentang Kudeta 1965 itu, rezim Suharto menggunakan komunis sebagai lambang untuk mewakili segala ciri yang, menurut pemerintah, tidak dimiliki oleh Orde Baru.

Misalnya, perempuan komunis digambarkan sebagai lambang masyarakat yang bejat dan tidak bermoral, sedangkan Orde Baru merepresentasi dirinya sebagai titik kembali ke masyarakat yang “bermoral”. Komunis juga dilukiskan sebagai penentang Pancasila, merupakan isu yang begitu penting bagi rezim Suharto untuk mengajak masyarakat bersatu kembali (2007: 193).

Film Pengkhianatan G30 S PKI tidak dapat dilihat sebagai representasi masa lalu. Para pemegang kekuasaan kala itu sebenarnya tengah merepresentasikan diri mereka sendiri melalui proses fiksionalisasi tokoh-tokoh dan peran mereka sebagai pahlawan yang ditampilkan fakta sejarah. Pada titik ini, representasi kekuasaan di dalam “film sejarah” menjadi kekuasaan itu sendiri -bagian dari aparatus negara Orde Baru untuk menanamkan pandangan ideologis mereka.

Dalam kaitan dengan cara film dimanfaatkan sebagai instrumen ideologis, Graeme Turner mencatat bahwa film tidak dapat lagi dianggap sebagai karya seni, melainkan praktik sosial di mana ideologi dan praktik kebudayaan berinteraksi (2006: 14-15). Pendapat senada disampaikan juga oleh Jowett dan Linton yang percaya bahwa film harus dilihat sebagai medium komunikasi massa di mana transformasi pesan-pesan ideologis dimengerti baik oleh pencipta maupun pemirsa dalam hal substansi, fungsi, dan efeknya (1980: 74).

Pandangan para sarjana ini relevan untuk melihat Pengkhianatan G30 S PKI, yang jelas-jelas diproduksi sebagai alat komunikasi massa untuk menanamkan ideologi anti-komunis.

Menurut Wijaya Herlambang dalam Kekerasan Budaya Pasca 1965; Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film, Film Pengkhianatan G30 S PKI telah menjadi medium propaganda yang sangat efektif untuk memengaruhi opini masyarakat dalam melihat peran kaum komunis dan militer secara hitam putih (Manichean) nan ekstrem.

Hal ihwal ini merupakan metode yang sangat halus dari sebuah proses indoktrinasi yang memicu “keinginan masyarakat sendiri” untuk menerima konstruksi sejarah yang ditemu-ciptakan dalam struktur dramatis film itu, atau, dalam kata Krishna Sen, sebagai propaganda ‘swalayan” (2015: 167-171).

Arkian, Pengkhianatan G30 S PKI adalah film ihwal usaha kudeta sangat penting bagi legitimasi rezim dan bagi pelarangan terhadap PKI dan untuk membenarkan penghancuran partai ini. Untuk tujuan-tujuan inilah militer meneruskan membela dan mengulang-ulang narasi ini (bahaya laten PKI) dalam bentuk tertulis dan visual.

Film bergenre “doku-drama” ini tentu saja memperkuat fakta bahwa rezim Orde Baru bertekad untuk menanamkan sikap anti-komunisme ke dalam generasi muda Indonesia, dan cukup berhasil dan kembali menggema di tanah air sekarang ini.

Muhammad Iqbal, sejarawan dan editor penerbit Marjin Kiri
Sumber: Beritagar.Id

This post is also available in: English