PKI dan Tentara

 

Oleh Anett Keller

 

Sumber : DW, Juli 2016

Ketika Suharto 50 tahun lalu merebut kekuasaan dan memerintahkan pembasmian komunis, musisi kiri juga menjadi korban ekses kekerasan. Hari ini, generasi muda seniman melanjutkan warisan mereka. Oleh Anett Keller.

Inilah melodi yang membuat Anda sulit menjaga kaki tetap diam: Taluan drum Djembe, pekikan biola yang merasuk, diperkuat hentakan ritme elektronik, lalu suara perempuan yang mengalunkan lagu sendu berbahasa Jawa.

Lagu “Gendjer-Gendjer”, yang empat tahun lalu diaransemen baru oleh duo Indonesia-Spanyol Filastine (Nova Ruth dan Grey Filastine), umurnya sudah sekitar 70 tahun. Liriknya berkisah tentang Gendjer, jenis sayuran liar, ketika itu dikenal sebagai makanan masyarakat miskin.

1945 Indonesia menyatakan kemerdekaan setelah 350 tahun berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda dan tiga tahun pendudukan Jepang. Tapi kemiskinan tetap ada, terutama diakibatkan oleh pembagian kepemilikan tanah yang tidak adil. Dengan menguatnya Partai Komunis Indonesia, “Gendjer” menjadi lagu favorit gerakan anti-kapitalis kiri. Komponisnya adalah warga Jawa Timur Muhammad Arief.

Filastine memilih lagu “Gendjer-Gendjer”, karena itu “memang sebuah lagu yang baik,” kata Nova Ruth – tetapi juga karena duet itu ingin membawa generasi muda Indonesia lebih dekat dengan sejarah negaranya. Sejarah sebuah gerakan kiri yang hampir sepenuhnya dibasmi dalam salah satu peristiwa pembunuhan massal terbesar abad ke-20.

1965 Indonesia memiliki partai komunis ketiga terbesar dunia. Haluan politik anti-imperialis Presiden Sukarno membuat negara-negara Barat makin gelisah. Sejak akhir 50-an, Washington dan aliansinya memikirkan cara pengalihan kekuasaan di Indonesia dan mulai mendidik kalangan militer dan ekonom untuk tujuan itu. 1965 tibalah saatnya untuk kontra-revolusi.

Khawatir akan ada kudeta terhadap Sukarno, sekelompok perwira militer kiri menjelang pagi 1 Oktober 1965 memimpin penculikan terhadap 7 pimpinan militer yang dicurigai berpotensi melancarkan kudeta, dan membunuh mereka. Suharto, ketika itu komandan pasukan cadangan strategis, lalu mengumpulkan pasukan dan melakukan aksi pembalasan terhadap semua kelompok kiri di negara itu. Pada bulan-bulan berikutnya ratusan ribu orang dibunuh.

Suharto kemudian naik ke puncak kekuasaan. Masa diktatur militernya, yang dia namakan “Orde Baru”, berlangsung hingga 1998. Orde Baru juga melancarkan kebijakan budaya baru. Politik tidak punya tempat lagi dalam seni, puluhan lagu seperti “Gendjer-Gendjer” dilarang. Diantara mereka yang menghilang, dibunuh atau ditahan, ada banyak seniman kiri, lelaki dan perempuan. Juga komponis “Gendjer-Gendjer” Muhammad Arief dijemput militer di rumahnya di Banyuwangi dan tidak pernah kembali.

Ratusan ribu orang yang selamat dari aksi pembunuhan massal ditahan di penjara-penjara dan kamp penahanan. Diantaranya komponis dan pemimpin paduan suara Subronto Kusumo Atmojo, lulusan sekolah musik Hans Eisler Musikschule di Berlin. Musim panas 1965, Subronto kembali dari Jerman Timur ke Indonesia. Situasinya saat itu sangat menegangkan, antara lain karena ada embargo ekonomi dari pihak Barat dan operasi-operasi dinas rahasia.

Subronto adalah seorang pengagum Sukarno. “Subronto membuat lagu dari hampir semua pidato Sukarno”, tulis peneliti sastra I.G. Krisnadi dalam bukunya: “Tahanan Politik Pulau Buru”. Oktober 1965 dia sempat ditahan, tapi dibebaskan lagi setelah satu bulan. Dia lalu bekerja sebagai sopir dan guru piano. 1968 dia ditangkap lagi. Tentara menahannya di penjara Salemba di Jakarta sampai 1970, setelah itu Subronto dipindahkan ke Pulau Buru, dimana lebih dari 10.000 tahanan politik, kebanyakan lelaki, ditahan. Di sana dia menjadi pemimpin paduan suara, dan menggelar acara dan menyambut tamu sesuai perintah kepala penjara.

Selama dipenjara, Subronto menjadi pemeluk Protestan, dan setelah bebas dia bekerja sebagai komponis dan pemimpin paduan suara pada sebuah yayasan gereja. Tapi gerak-gerik Subronto tetap diawasi. Ketika paduan suaranya 1980 tampil dalam festival paduan suara internasional di Belanda dan berhasil merebut juara ketiga, mereka harus tampil tanpa pemimpin. Subronto tidak diberi ijin untuk bepergian ke luar negeri.

“Setelah 1965 yang mendominasi di Indonesia adalah musik hiburan yang naif”, kata Nova Ruth. “Tidak ada musisi, yang menggambarkan realtas. Yang ada, musik yang tidak jujur. Mungkin, karena semua orang takut?”, kata penyanyi itu.

Di masa “Orde Baru” kelompok-kelompok seniman berada di bawah pengawasan tentara. Pagelaran musik, piringan hitam dan kaset dengan isi kritis dilarang. Sekalipun begitu, akhir 70an dan 80an berkembang tradisi musik yang kritis menyoroti masalah-masalah sosial, antara lain diwakili oleh Harry Roesli, Gombloh, Leo Kristi dan Iwan Fals. Mereka mencoba menyajikan suatu hal yang lain daripada trend musik komersial saat itu. Tapi siapa yang terlalu berani, akan segera merasakan panjangnya tangan diktatur. Penyanyi rock Mogi Darusman, yang mulai tahun 60an juga sempat merilis lagunya di Eropa Barat dan ketika itu disebut-sebut sebagai “Bob Dylan Indonesia”, pertengahan 70an membangkitkan kemarahan penguasa dengan lagu-lagu seperti “Rayap-Rayap” dan “Koruptor”.

1998 Suharto mengundurkan diri terseret dampak Krisis Asia. Sejak itu, para aktivis dan seniman di Indonesia mendapat keleluasaan yang tidak mereka kenal sebelumnya, dan mereka memanfaatkannya secara kreatif. Salah satu keleompok seni yang muncul adalah Taring Padi, dibentuk 1998, yang cara kerjanya mengingatkan pada kelompok seniman kiri Lekra. Mereka turun berbaur dengan kelompok-kelompok yang terpinggirkan di desa dan kota-kota, merancang konsep-konsep protes dan merealisasikannya lewat poster, sajak dan musik.

Aransemen baru lagu “Gendjer-Gendjer” adalah hasil kolaborasi antara Filastine dan Taring Padi. Sekarang lagu itu menjadi lagu favorit publik dalam penampilan mereka di dalam dan luar negeri, kata Nova Ruth. Baginya, lagu ini adalah juga bagian dari pengelolaan masa lalu keluarganya. Kakeknya tahun 1965 anggota militer, seorang pelaku aksi pembasmian komunis.

Pengelolaan sejarah kekerasan 1965 di tingkat negara hingga kini hampir tidak menunjukkan langkah maju. Dibalik segala pujian yang sering dikumandangkan media arus utama di Barat mengenai proses demokratisasi di Indonesia, realitanya adalah, para pelaku dari tahun 1965 hingga kini masih punya jaringan kuat hingga ke jajaran politik tertinggi. Mereka dan klannya masih menggerakkan roda perekonomian.

Para aktivis dan musisi muda seperti Nova Ruth memandang musiknya sebagai sarana untuk menjaga ingatan itu. Selain lagu “Gendjer-Gendjer”, Filastine merilis album yang penuh dengan lagu tentang 1965 yang diberi judul “Lawan Lupa”.

Juga di Bali para musisi muda ingin menjaga ingatan pada para korban rejim Suharto. Tahun lalu, kelompok aktivis “Komunitas Taman 65” mengeluarkan CD “Prison Songs” dengan lagu-lagu yang dibuat oleh para tahanan politik. Sebuah booklet memberi informasi cukup lengkap tentang setiap lagu. Proyek musik lainnya adalah Paduan Suara “Suara Dalita”, yang melibatkan para perempuan penyintas peristiwa 1965 dan perempuan-perempuan lain di atas usia 50 tahun. Mereka menyanyi bersama-sama untuk melawan lupa.

(Artikel Anett Keller diterbitkan dalam bahasa Jerman di ‘Melodie und Rhytmus’ (M&R) 4/2016, dengan judul: “Lawan Lupa – Gegen das Vergessen.)

This post is also available in: English