Tahun 2012

Komnas HAM merilis laporan penyelidikaan atas dugaan pelanggaran HAM berat tahun 1965. Laporan itu telah diserahkan pada Kejaksaan Agung, namun hingga saat ini penyidikan belum pernah dilakukan, dengan alasan dokumen kurang lengkap.

Pada tahun yang sama, sutradara muda asal Amerika Serikat Joshua Oppenheimer merilis filmnya berjudul Jagal. Film ini dianggap cukup berpengaruh luas pada masyarakat Indonesia untuk membicarakan tragedi 1965.

Tahun 2013

IPT 1965 mulai digagas. Pembicaraan mengenai IPT berawal dari sebuah diskusi sederhana bersama sineas muda Joshua Oppenheimer, yang banyak dikenal masyarakat dunia karena filmnya yang berjudul ‘The Act of Killing’ atau Jagal.

Tepatnya pada Maret 2013, film dokumenter ini dirilis di Den Haag, Belanda, sebagai bagian dari Festival Movies That Matter.

Usai pemutaran film tersebut, panitia mengadakan diskusi yang dihadiri 35 orang eksil atau Warga Negara Indonesia yang dicabut paspornya karena dianggap sebagai simpatisan PKI pada 1965, yang mendatangkan sang sutradara langsung, Joshua.

Salah satu topik bahasan antara lain, bagaimana caranya mengakhiri impunitas seputar Crimes Againts the Humanity yang dilakukan pasca 1 Oktober 1965?

Kegagalan pemerintah untuk berusaha mencari solusi nasional untuk kejahatan-kejahatan ini membuat para peserta sidang IPT mengambil keputusan bahwa tekanan internasional diperlukan untuk melawan impunitas yang selama ini dinikmati oleh pelaku kejahatan-kejahatan tersebut, sekaligus memecah kebungkaman dan stigma yang selama ini mengakar dalam masyarakat.

Wujud terbaik untuk kampanye ini—dalam pemikiran penyelenggara—adalah menggelar Tribunal Rakyat Internasional atau IPT.

Maka dibentuklah tim IPT 1965.

Tahun 2015

ketua-hakim-ipt

Indonesia memperingati 50 tahun peringatan kematian tujuh jenderal dan peristiwa pembantaian massal 500.000 hingga satu juta warga yang dianggap anggota PKI dan simpatisannya pada 1965.

Pada tahun yang sama, sidang IPT 1965 digelar di Nieuwe Kerk di Den Haag pada 10-13 November 2015. Sidang dibuka oleh koordinator umum IPT 1965, Nursyahbani Katjasungkana. Setelah itu, Jaksa Ketua Todung Mulya Lubis membaca pernyataan pembukaannya dan pengantar dari dakwaan. Panitera membuka setiap sesi, dan mengundang wakil dari pemerintah RI untuk duduk di kursi yang sudah disediakan. Sidang ditutup oleh ketua Yayasan IPT 1965 Saskia Wieringa.

Hasil sidang, pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas peristiwa kejahatan terhadap kemanusiaan, karena rantai komando terorganisir dari atas sampai ke bawah dalam badan-badan institusi negara. Negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia yang disebut memberikan bantuan juga diminta untuk tidak mengabaikan kejahatan kemanusiaan ini.

2016

Keputusan final IPT 1965 dibacakan. Salah satu rekomendasinya adalah meminta pemerintah Indonesia untuk meminta maaf atas kejahatan kemanusiaan pada 1965 yang dapat dikategorikan sebagai genosida tersebut.

Di Indonesia, keputusan ini dibacakan di kantor YLBHI Jakarta pada Rabu, 20 Juli, pukul 14:00 WIB. Selain itu, keputusan ini juga dibacakan serentak di berbagai kota di belahan dunia lain. Antara lain, Amsterdam (Belanda), Phnom Penh (Vietnam), Melbourne (Australia), Stockholm (Swedia), dan Frankfurt (Jerman).

Untuk keterangan lebih lanjut terkait acara di luar negeri, silakan menghubungi alamat email di bawah ini.

 

This post is also available in: English