Oleh : Aris Andrianto
Sumber : Beritagar.id 30 September 2016
Kisah mereka yang menjadi korban dan pelaku geger 65. Dendam dan penyangkalan tak akan menyelesaikan masalah. Rekonsiliasi bisa menjadi jalan kembali.
Setiap tanah adalah berkah. Tapi tidak bagi sebidang kecil tanah di Desa Mekarsari Kecamatan Cipari Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Di desa itu ada tanah seluas 200 meter persegi yang tak ada yang mau mengaku siapa pemiliknya. “Tanah ini namanya tanah kafir,” kata Jumar, penduduk setempat.
Jumar ingat betul, saat Indonesia geger pada 30 September 1965, ia masih remaja. Jumar, saat itu usianya sudah menginjak 15 tahun. Ia bersama dua temannya, kerap mencari kayu bakar ke bukit Tanah Kafir. Saat itu ia sering melihat lubang berukuran 2 x 2 meter yang belum ditutup tanah.
Jumar berangkat dari rumah antara pukul delapan pagi hingga tengah hari. Suatu hari, saat melintas ke Tanah Kafir, ada yang berbeda di tanah seluas 200 meter persegi itu. Tiga lubang galian menganga kosong yang belum ada isinya.
Malam hari usai ia melihat lubang itu, rentetan tembakan ia dengar dari Tanah Kafir sejak tengah malam hingga pukul 03.00 dini hari. Karena penasaran, empat hari kemudian Jumar bersama dua temannya penasaran. Mereka pun kembali ke Tanah Kafir untuk memastikan eksekusi terhadap orang yang dituduh terlibat PKI. “Waktu itu lubangnya sudah ditutup, kami lari dan takut untuk kembali lagi,” ujarnya.
Hari-hari itu juga diingat oleh Kirno. Kirno bahkan lebih dekat dengan lubang-lubang kematian itu. Tak jauh dari Tanah Kafir, ada kuburan massal Singaranting. Kirno, kelahiran 1940 ini masih tajam ingatannya. Menurut Kirno, Singaranting tak kondisinya tak banyak berubah. Ia bahkan ingat betul di mana letak lima kuburan yang ia gali. “Ini kuburan khusus anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia),” ujar Kirno sambil menunjukkan letak kuburan.
Kirno hapal betul lokasi Singaranting, sebab dulunya ia menanam kacang dan jagung di tempat itu. Saat pohon karet baru saja ditebang untuk diganti dengan yang baru. Sembari menunggu ditanami karet lagi, kuli perkebunan boleh menanam tanaman perkebunan seperti kacang dan jagung. Kirno, masih tinggal tak jauh dari kuburan, di Desa Mekarsari.
Di sela geger 1965, Kirno bekerja di perkebunan itu. Pada suatu siang, Sersan Wardi memerintahkannya menggali lubang berbentuk kubus. Panjang dua meter lebar, dua meter, kedalamannya juga dua meter. Kirno bersama dua temannya, perlu waktu dua jam untuk membuat satu lubang. Ia mulai menggali pukul 14.00 hingga pukul 16.00. Tapi ia tidak diberitahu untuk apa lubang itu. Pun demikian, ia paham lubang itu menjadi tempat eksekusi dan sekaligus kuburan buat mereka yang dituduh PKI.
Perintah untuk menggali lubang tidak datang setiap hari. Kadang berjarak empat hari hingga seminggu. Setiap kali ia datang lagi untuk menggali, lubang yang terdahulu sudah rapat kembali. Di bagian atas lembah, terdapat kuburan khusus untuk anggota Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani. Di sekitar lubang khusus itu, ada rerimbunan bambu wulung. Untuk menandai setiap lubang ditanami pohon puring. Pohon itu masih ada hingga saat ini. Selain itu ada juga bebatuan yang bisa menjadi penanda letak kuburan.
Jika Kirno penggali, Radin sebaliknya, ia diperintah menutupi lubang-lubang itu. Saat itu, buruh penyadap karet itu masih berusia 17 tahun. Ada lima kuburan yang harus ia urug dengan tanah. Sebagai buruh perkebunan, ia tak bisa menolak perintah atasannya untuk menutup kubur bekas eksekusi orang-orang yang dituding terkait PKI.
Buruh dengan gaji Rp35 per hari itu biasanya diperintahkan untuk kerja bakti. Radin mengungkapkan, malam sebelum ‘kerja bakti’, dari rumahnya terdengar suara rentetan tembakan sejak tengah malam hingga pukul 03.00 dini hari
Radin menceritakan, mandor kebun akan memberikan tanda dengan membunyikan bel. Saat itulah warga setempat tahu mereka yang dituding PKI segera dieksekusi mati. Truk akan melintas di perumahan karyawan perkebunan Afdeling Selagedang. Saat truk melintas, semua lampu dimatikan. Satu truk rata-rata membawa 15 hingga 20 orang.
Mereka yang akan dieksekusi matanya ditutup kain. Lalu berjalan beriringan dengan jempol tangan saling diikat satu sama lain. Mereka lalu digiring melingkar di pinggir kuburan dan diberondong tembakan mesin. Tak hanya mengumbar peluru,, sesekali eksekutor menggunakan palu gada. “Pernah ada yang menggunakan per mobil karena saat ditembak tidak mati, punya jimat,” kata Radin.
Paginya, Radin bertugas menutup lubang itu. Untuk masuk ke kuburan massal mereka harus berjalan kaki. Dari jalan hutan karet, jarak kuburan sekitar 500 meter. Radin mendapati, mayat-mayat itu hanya ditutup rumput. Bersama sembilan kawannya, ia ditugasi menutup dengan tanah. “Setelah ditutup dengan tanah lalu ditanami rumput,” ujarnya.
Kuburan massal yang diberi nama Singaranting terletak di Blok AD Afdeling Selagedang. Secara administratif kuburan ini masuk di Desa Mekarsari Kecamatan Cipari Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.
Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi Serikat Tani Merdeka Cilacap, Petrus Sugeng mengatakan, di wilayah Cilacap Barat setidaknya ada 10 kecamatan yang diduga ada kuburan massal orang-orang yang dituduh PKI. “Kami memperkirakan ada 500 lubang dengan isi rata-rata 100 orang,” katanya.
Jumlah itu belum termasuk yang dibunuh di sungai. Motif pembunuhan itu, kata dia, adalah untuk menguasai lahan petani. Hingga saat ini, 17 ribu kepala keluarga di Cilacap Barat sedang menuntut pengembalian lahan mereka.
Berdasarkan catatan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 65, ada lima lokasi kuburan massal. Dusun Citengah, Tegalsari ,Sidareja 125 orang, Tanggek 10 orang, Kedungrejo 76 orang, Sungai Citandui dan Sungai Serayu 150 orang dan di Nusakambangan 1500 orang.
Singaranting adalah kisah tentang kemanusiaan yang tercabik-cabik. Sesuai dengan namanya, singa rontang-ranting atau singa yang tercabik-cabik.
Sandarjo belum begitu lelap. Tapi ia harus memutus tidurnya. Malam itu, dari luar, pintu rumahnya digedor-gedor keras. Saat membuka pintu, ia kaget, puluhan tentara sudah mengepung rumahnya. “Njenengan siki kudu lunga, pilih banda apa nyawa (Anda harus segera pergi. Pilih harta atau nyawa),” ujar Sandarjo menirukan salah satu tentara pengepung rumahnya. Ingatan pria 90 tahun ini masih kuat dengan kejadian 51 tahun lalu.
Warga Desa Cikuya, Wanareja, Cilacap, itu dipaksa meninggalkan rumah saat itu juga. Jika menolak, maka ia akan dibantai saat itu juga. Namun Sandarjo tak mudah menyerah. Dengan keberanian tersisa, ia mempertanyakan mengapa ia diusir dari rumah dan pekarangannya. Tanah yang selama ini memberiya kehidupan.
Bukannya mendapat jawaban yang jelas, Sandarjo justeru langsung diangkut oleh tentara. Ia disuruh berjalan kaki sejauh 10 kilometer tanpa alas kaki. Baju yang ia bawa hanya yang melekat di badan. Ia lalu diangkut ke Lembaga Pemasyarakatan Cilacap.
Tanpa proses pengadilan, Sandarjo dihukum setahun.Di dalam penjara, setiap pagi Sandarjo dan seluruh tahanan dicambuk dengan ekor ikan pari. Ia pun harus bergiliran ganti pakaian dengan tahanan politik lainnya saat pakaian satu-satunya dicuci.
Saat ditanya apa kepanjangan PKI dan BTI, ia hanya menggeleng karena tidak mengetahuinya. “Saya tidak tahu apa itu PKI, saya hanya mempertanyakan mengapa tanah saya dirampas,” katanya.
Sandarjo mulai menggarap tanah di Cikuya sejak tahun 1940-an. Saat itu daerah itu masih hutan belantara. Para pendatang melakukan trukah atau pembukaan lahan. Leluhurnya berasal dari Wangon Jatilawang, Banyumas, atau sekitar enam jam perjalanan dari lokasi itu. Saat itu ada 50 kepala keluarga yang membuka lahan di hutan daerah itu. Luasnya mencapai 70 hektare.
Sandarjo remaja ikut memegang arit dan pacul. Ia ikut membuka hutan belantara berasama ayahnya untuk ditanami berbagai tanaman. “Hidup kami indah pada saat itu karena bisa makan dari usaha sendiri,” katanya.
Keluarga Sandarjo kebagian 1,5 hektare. Lahan itu untuk mendirikan rumah dan pertanian. Keluarganya makin sejahtera. Lambat laun perkampungan Cikuya pun terbentuk. Hingga saat ini bekas puing-puing perkampungan masih bisa terlihat. Masih ada batuan bekas pondasi rumah atau sumur yang digunakan bersama.
Kisah tragis serupa dialami Karsiman, kelahiran 1951. Kakeknya mulai membuka lahan sejak 1932. Mereka datang dari Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah untuk mencari lahan pertanian. Dari Bagelen, awalnya ada tujuh orang yang membuka lahan. Lambat laun bertambah hingga 40 orang. Hingga 1965, penduduk yang bermukim mencapai 202 orang dengan luasan lahan mencapai 72 hektare.
Warga Desa Bantarsari, Kecamatan Cipari, Cilacap itu mengenang awalnya Bantarsari adalah daerah hutan yang sebagian rawa-rawa. Bahkan binatang buas masih banyak.
Saat petaka itu datang, ratusan tentara dan milisi organisasi massa mengobrak-abrik rumah mereka. Isu yang berhembus saat itu, bahwa rumah mereka adalah persembunyian pelarian anggota PKI. Karena desa Bantarsari lokasinya memang sangat tersembunyi. Berada di lembah dengan perbukitan yang mengelilingi kampung dan sungai besar yang menjadi pembatas desa.
Secara geografis, pelarian anggota PKI dari kota juga akan mudah masuk hutan belantara untuk bersembunyi. Sejak saat itulah, pengejaran terhadap orang-orang PKI menyasar desa ini. Saat itu, setiap lelaki ditangkap dan dikumpulkan di hutan karet. Mereka ditanya satu persatu apakah ada hubungan dengan PKI dan organisasi di bawahnya.
Selain ditangkap mereka juga disiksa. Jika jawabannya tidak sesuai keinginan interogator, mereka dipukul dengan popor senjata laras panjang. Sebagai orang desa yang buta huruf, mereka bahkan tidak tahu apa kepanjangan PKI dan BTI. Dari puluhan orang, satu orang dieksekusi karena dianggap terlibat PKI. Satu orang lagi ditahan hingga satu tahun.
Operasi pengusiran warga biasanya dimulai pukul 04.00 pagi. Mereka dipaksa berbaris satu-persatu lalu diangkut mobil menuju perkebunan karet. Jika ada yang lari, maka akan dikejar ratusan tentara yang mengawal operasi. “Bapak saya berhasil lari dan bersembunyi selama enam bulan di hutan,” kata Karsiman menceritakan bapaknya, Supinta.
Selama pelarian, Karsiman selalu mengirimi bapaknya secara sembunyi-sembunyi. Ia baru pulang setelah operasi pengejaran anggota PKI berhenti di desa itu. Mereka lalu tinggal di pengungsian dengan tempat tinggal jauh dari layak. Tanah becek dan hampir seluruh terkena penyakit gudigan atau koreng menahun. Banyak yang terkena busuung lapar dan kurang gizi.
Perampasan lahan dengan dalih anggota PKI memang lazim digunakan pada masa-masa itu. Dengan todongan bedil, mereka dipaksa untuk mengaku sebagai anggota PKI. Pilihannya, mereka harus segera meninggalkan tanah mereka atau diberi tanah ukuran 2 x 2 meter alias dikubur. Mereka yang terusir dari rumahnya tinggal di daerah tampungan atau pengungsian, hingga kini.
Sandarjo dan Karsiman bukanlah satu-satunya pemilik lahan yang tanahnya dirampas oleh tentara. Adapula Mustofa, Suratman, Jafar, dan 17 ribu petani lainnya di 10 kecamatan di Cilacap barat.
Mustofa, 77 tahun, terpekur di bekas rumahnya, di hutan karet Karangreja, Cilacap. Wajahnya letih mengenang kenangan masa lalunya. “Sebelum saya mati, saya ingin tanah saya sudah dikembalikan,” ujarnya saat mengunjungi tanahnya yang kini dalam penguasaan perusahaan perkebunan.
Alkisah, Djuremi, orang tua Mustofa pulang ke Cilacap pada tahun 1939 setelah merantau bekerja pada perusahaan Belanda, di Medan, Sumatera Utara.
Saat itu ia menemui Kepala Desa Karangreja, Sanmuarja. Kepada Desa memperbolehkan Djuremi membuka lahan di hutan yang masih perawan. Namanya hutan Bulu Kuning yang dikenal angker. Setelah bekerja keras, Djuremi membuka lahan seluas empat hektare. Setelah dibuka dan membuat rumah di lahan itu, pemerintah desa menerbitkan Kartu Kuning. Kartu tersebut merupakan dasar pembuatan letter C. Lahan pun bisa ditanami tanaman perkebunan seperti kelapa dan lainnya. Tanah itu juga dibuatkan kolam ikan.
Senasib dengan Sandarjo dan Supinta, tanah itu dirampas tentara. Surat-surat tanah juga dirampas. “Suruh milih tanah atau nyawa. Karena masih sayang keluarga, kami memilih pindah,” katanya.
Mustofa juga masih membayar pajak tanah hingga 1973. Hal itu tercatat di catatan pajak miliknya. Namun, setelah itu ia enggan membayar pajak lagi karena tidak bisa menggarap lahan miliknya sendiri.
Pada 2005, Karsiman membentuk serikat tani. Anggotanya sekitar 80 orang. Mereka mulai menduduki kembali tanah leluhur dengan menanami padi. Agar tanah tak dijual, mereka sepakat agar tanah yang berhasil mereka kuasai kembali menjadi tanah komunal. “Alhamdulillah, kesejahteraan petani kembali meningkat karena kami bisa menggarap lahan kami kembali meski kepemilikannya masih belum jelas,” ujar Karsiman.
Perjuangan pengambilalihan lahan kembali oleh petani tak lepas dari peran, Petrus Sugeng, pendiri Serikat Tani Mandiri Cilacap (StaM). Saat ini StaM masih memperjuangkan lahan yang diklaim perusahaan perkebunan sebagai kawasan hutan dengan luas 10.424 hektare. Selain itu, ada 2.496 hektare bekas desa yang kini menjadi perkebunan karet. Sedangkan tanah sedimentasi yang dirampas mencapai 7.928 hektare.
Sugeng mengatakan, dari hasil perebutan lahan kembali seluas 482 hektare, kini petani bisa menghasilkan produk pertanian berupa kelapa, jeruk, jagung, padi, pepaya dan lainnya. “Petani sebenarnya tidak membutuhkan apa-apa selain lahan garapan,” ujar Sugeng di rumahnya yang juga markas StaM di Desa Mulyadadi Kecamatan Cipari.
Sugeng mendirikan StaM pada tahun 2001. Sugeng menjabat ketua StaM dari tahun 2000-2008. Kini ia didapuk sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi StaM. Awalnya, ia mendirikan organisasi tani lokal dengan nama Ketan Banci. Kepanjangan dari kelompok tani korban Ciseru-Cipari yang berseteru dengan perusahaan perkebunan milik Inggris, JA Watie. Konflik pertanahan ini sudah memanas sejak 1976 dan baru selesai tahun 2000.
Selama memperjuangkan kembali tanah mereka, aktivis StaM seringkali mendapatkan intimidasi. Paling sering mereka dicap meneruskan perjuangan PKI. “Jika ngomong perjuangan tanah pasti langsung dicap PKI,” katanya. Organisasi tani ini sering mendapat cap sebagai embrio PKI gaya baru.
Surya Saluang dari Sayogo Institute mengatakan, di Indonesia luas lahan mencapai 190 juta hektare. Dari jumlah itu, sekitar 60 persen lahan itu dikuasai oleh institusi kehutanan. “Sebenarnya banyak sekali tanah yang berpotensi untuk diklaim oleh petani,” katanya.
Mustofa salah satunya. Ia belum mau mati. Ia masih menunggu tanahnya kembali. Mungkin sampai 1000 tahun lagi.
Roebidi Mangun Sudarmo. Namanya melegenda di Kabupaten Cilacap pascaperistiwa politik 1965. Di ujung jarinya tergantung nasib ribuan orang. Dipenjara atau mati dieksekusi.
Ia juga adalah aktor di balik aksi perampasan belasan ribu hektare tanah di wilayah Cilacap Barat. Belakangan, ia berbalik dan ikut di barisan pejuang aktivis agraria karena dua hektare lahannya juga ikut diambil alih oleh perusahaan perkebunan. “Waktu itu saya menjadi Wakil Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Wilayah Cilacap Barat,” ujar Roebidi, Jumat (16/9).
Ia lahir pada 1933 di Desa Bantarpanjang, Kecamatan Cimanggu, Cilacap. Pada 1965, Cilacap merupakan basis kader Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai dengan lambang palu arit itu memenangi pemilihan umum 1955.
Kisahnya mirip dengan tokoh Pangemanann di novel sejarah Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer. Pangemanann, sebagaimana Roebidi teliti dan ulet, dalam menjalankan tugasnya. Tugas untuk menghabisi Raden Mas Minke atau orang-orang yang dituduh terlibat G 30 S dalam versi Roebidi.
Roebidi tak memiliki latar belakang militer. Tapi ia memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam operasi pemulihan keamanan itu. Di tangannya, nama-nama yang terindikasi terlibat dalam PKI dan organisasi sayap yang terafiliasi dengan partai itu seperti BTI, Gerwani dan SOBSI.
Sarjono, 86 tahun, menjadi saksi bagaimana Roebidi bekerja pada saat itu. Warga Desa Karangjambu Kecamatan Cipari ini, saat itu bertetangga dengan Sewito. Hanya dipisahkan jalan kampung. Jarak rumah mereka hanya terbentang sepanjang 50 meter. Rumah Sewito menjadi tempat interogasi dan menyikasa orang-orang yang dituduh PKI. Ratusan tentara, polisi dan milisi ormas berkumpul di rumah itu. “Rumah yang sibuk. Hampir setiap sore hingga malam hari, puluhan orang silih berganti datang dan pergi,” kata Sarjono.
Sarjono menceritakan, orang-orang yang dituding komunis itu diangkut dengan menggunakan truk. Mereka diikat satu persatu. Lalu diperiksa dan disiksa.
Setiap ada yang datang, mereka langsung dipukuli dengan kayu. Tugas itu menjadi spesialis Ngalimun, si tukang gebuk. Suara rintihan kesakitan hampir setiap hari didengar oleh Sarjono.
Samin, tetangganya dipukul setiap hari hingga tidak bisa bergerak. Ia tak tega, tapi tak bisa berbuat apa-apa. “Kalau malam hari, kuping saya tutup dengan kapas karena ngeri mendengar suara jeritan minta tolong,” ujarnya.
Selain dipukul dengan kayu, orang yang dituduh PKI juga disiksa dengan metode lain. Misalnya, interogator naik ke meja. Di bawah meja ada orang dengan posisi tidur telungkup. Lalu, dari atas meja sang interogator loncat di atas tubuh orang yang tidur tertelungkup.
Metode lain adalah patet. Leher orang yang diperika dimasukkan ke tali yang diikat ke pohon karet. “Di ujung lainnya belasan orang menarik tali ini hingga orang yang dipatetmati,” ujarnya. Jeritannya terdengar hingga rumah Sarjono. Selama lima bulan, setiap malam terasa mencekam.
Ia mengenal tiga orang utama sebagai jagal orang-orang PKI. Rahwad, Kamsir dan Wiharja. Ketiganya adalah anak buah Roebidi.
Selain mengeksekusi orang, ketiganya juga bertugas untuk merampas tanah penduduk. Dua hektare tanah Sarjono juga ikut dirampas. Wagiyo, sepupunya ikut diculik dan hingga kini tak tahu keberadaannya. Wagiyo disebut-sebut ikut BTI.
Ingatan tentaang Roebidi juga tergambar jelas di benak Sandarjo, warga Cipari. Saat itu, tanah yang ia kerjakan sebelum Indonesia merdeka, diambil paksa oleh Roebidi. “Dulu Roebidi terlihat gagah. Badannya tegap dan besar. Memakai pakain tentara dengan baret merah,” kata Sandarjo.
Menurut Sandarjo, Roebidi memang terlihat berwibawa. Matanya tajam seperti Elang Jawa. Ia tak banyak bicara saat merampas tanah. Hanya anak buahnya yang membawa senjata laras panjang sigap melaksanakan perintah si Roebidi.
Roebidi tak mengelak cerita para korban. Saat ditunjuk sebagai wakil komandan operasi pemulihan keamanan, Roebidi mengaku saat itu terpaksa menerimanya. Sebab kalau tidak mau, ia akan ditembak dan dianggap mengagalkan tugas tentara. “Saya dijemput di rumah untuk mengikuti rapat operasi pembersihan,” ujar Roebidi. Sebagai komandan operasi adalah Kapten Arifin. Roebidi melaporkan langsung hasil kerjanya ke Kapten Arifin.
Roebidi dipilih sebagai wakil komandan operasi karena dinilai tahu semua tokoh PKI di Cilacap. Meskipun ia adalah aktivis Partai Nasionalis Indonesia (PNI), namun Roebidi muda sering mengikuti kursus politik yang diadakan oleh PKI di Cilacap.
Teman karibnya, Santoso, bahkan sempat menjadi Bupati Cilacap dari PKI. Saat itu PKI menjadi pemenang Pemilu 1955, di urutan kedua ada PNI. Basis PKI paling banyak berada di Cilacap Barat. Termasuk Cipari yang saat itu dijadikan tempat pembentukan Dewan Revolusi Cilacap.
Saat rapat pembentukan panitia operasi, ribuan massa dari berbagai ormas sudah berkumpul di alun-alun Majenang. Mereka menuntut agar PKI segera dibubarkan. Rapat operasi pun langsung digelar saat itu. Roebidi menerima petunjuk teknis operasi. Salah satunya adalah dilarang makan dan minum dari penduduk yang diindikasi PKI karena takut diracun. Selain itu aturan lainnya yakni tidak boleh mengambil barang milik warga.
Kepada beritagar.id, Roebidi menelusuri tempat di masa kelamnya. Ia menunjukkan tiga tempat. Pertama adalah lokasi rumah tempat ia menginterogasi orang-orang, yang juga sebagai markas utama operasi. Tempat ini sudah rata dengan tanah. Hanya bekas bangunan yang sudah runtuh yang bisa dilacak. Tempat kedua adalah lokasi eksekusi terduga PKI di sungai Kawung dan hutan karet. Terakhir, adalah lokasi penampungan orang-orang yang pernah ia usir dari tanahnya.
Di halaman markas utama, orang duduk rapi menunggu jadwal interogasi. Roebidi bekerja di ruang depan. Ada delapan meja tempat untuk menginterogasi. Seorang polisi mendapinginya menghadap mesin ketik untuk mencatat orang. Termasuk mereka yang diduga anggota Gerwani dan anggota Lekra. Saat interogasi, jika dalam daftarnya ia termasuk kader PKI makan akan langsung dieksekusi.
Pertanyaan standar yang wajib ia tanyakan kepada orang yang diinterogasi adalah, setelah pecah pemberontakan di Jakarta, anda berada di mana? Dan apa kegiatan saudara?
Jika orang yang diinterogasi kedapatan terlibat dalam Dewan Revolusi, maka ia akan dieksekusi. Namun jika diketahui hanya simpatisan, maka akan di Nusakambangkan. Sedikitnya ada 1.500 orang yang dipenjara di Nusakambangan saat itu.
Di ruang itu ia juga akrab melihat penyiksaan. Jeritan orang kesakitan sudah biasa didengarnya. Orang-orang ditendang berulang-ulang. Pemeriksaan kadang hingga tengah malam ditemani lampu petromaks.
Roebidi adalah orang yang paling berkuasa saat itu. Hasil pemeriksaannya hanya ada dua. “Ditahan atau dieksekusi,” ujarnya.
Di tempat eksekusi, saat itu ramai orang. Ia menyebutkan ribuan orang dari berbagai daerah dibawa ke tempat itu. Mereka adalah anggota PKI dari daerah-daerah yang sudah dimasuki oleh pasukan RPKAD pimpinan Sarwo Edi Wibowo. Cilacap barat dipandang sebagai tempat yang aman untuk bersembunyi kader-kader PKI yang sedang dalam pengejaran. Bahkan, Roebidi juga memburu mertuanya yang jadi kader PKI. Hingga kini jasad mertuanya tidak tahu rimbanya.
Roebidi sesekali melihat pelaksanaan eksekusi. Ia bahkan hapal betul siapa yang menjadi eksekutor, di mana lokasi kuburan korban. Tiga bawahanya, Wiharja, Kamsir dan Rahwad yang paling sering melakukan eksekusi. “Semacam hobi,” kata Roebidi.
Roebidi juga mengajak ke jembatan Sungai Kawung sebagai tempat eksekusi awal. Di lokasi itu, ia menghitung sedikitnya ada 70 orang yang dieksekusi dan dibuang ke sungai. Ia bahkan memperagakan bagaimana cara mengeksekusi mereka. Kedua jempol tangan diikat dengan tali. Lalu mereka duduk dengan tumpuan lutut kaki. Sang eksekutor lalu menembak di bagian tengkuk.
Setelah itu, mayatnya langsung ditendang ke sungai. Belakangan nelayan dan pencari ikan di muara sungai protes. Ikan yang mereka tangkap tidak laku di pasaran. Ikan-ikan itu memakan mayat yang dibuang ke sungai. Setelah itu eksekusi lebih banyak dilakukan di hutan karet seperti di kuburan massal Singaranting.
Roebidi sendiri mengaku tidak pernah ikut mengeksekusi orang. Pernah ia ditawari oleh Kapten Arifin untuk menembak salah satu kader PKI, tapi ia menolak. Roebidi hanya bertugas selama lima bulan. Setelah itu ia lama menghilang.
Pekan lalu, saat bertemu setelah puluhan tahun, Sandarjo tetap menerima uluran tangan Roebidi. Ia mencoba tabah dan ikhlas. “Sebenarnya ingin mencekek lehernya, tapi itu hanya selintas,” katanya.
Sarjono mengaku tidak dendam dengan Roebidi. Meski jengkel terhadap perlakuannya di masa lalu, kini mereka berjuang bersama dalam organisasi Serikat Tani Mandiri Cilacap. “Kalau melihat masa lalu, memang tidak berperikemanusiaan. Tapi sudahlah, dendam tidak akan menyelesaikan masalah,” katanya.
Roebidi mengaku tidak pernah menyesal menjalani tugas yang diembannya. Perasaannya pun biasa saja meskipun tahu orang yang ada di depannya akan dieksekusi. “Saya tidak memperkosa hukum. Saya sebenarnya juga karena terpaksa. Kalau boleh memilih, saya tidak akan menerima tugas itu,” katanya.
Ia tidak sepakat jika negara meminta maaf kepada korban-korban 65. Menurut dia, PKI terlebih dahulu membuat masalah dengan menduduki lahan milik orang tuanya. Saat itu, orang tua Roebidi memiliki tanah seluas 70 hektare hasil dari trukah atau pembukaan hutan.
Saat ini Roebidi tergabung dalam Serikat Tani Mandiri. Ada bagian tanahnya seluas dua hektare yang ikut dirampas. “Perampasan tanah ini tidak sesuai dengan keadilan,” ujarnya.
Menurut Sandarjo, saat ini yang terpenting bagaimana tanah yang dulu dirampas bisa kembali lagi. Ia bahkan merasa sudah tidak dendam dengan Roebidi. Baginya, masa lalu yang kelam harus dikubur dalam-dalam dengan cara memaafkan orang-orang seperti Roebidi.
Petrus Sugeng, Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi Serikat Tani Mandiri Cilacap mengaku anggotanya memang ada yang pernah menjadi sebagai pelaku perampasan lahan petani. Padahal, organisasi yang kini beranggotakan 17 ribu keluarga sejak tahun 2000 getol memperjuangkan pengembalian lahan seluas 12 ribu hektare yang dirampas tentara pada saat G30S.
Menurut dia, saat ini sudah tidak penting antara pelaku dan korban. Semua adalah korban politik di masa itu. Bagi dia, Roebidi di masa lalu sedang terbawa arus suhu politik yang memanas. Egonya sebagai anak muda juga masih kuat. “Kami semua di sini sudah melupakan apa yang dilakukan Roebidi kepada kami. Kami sudah saling memaafkan. Kami sudah tidak saling mendendam,” ujarnya kata dia.
This post is also available in: English