Kamis, 21 Juli 2016 23:31 | Reporter : Fikri Faqih

Menteri koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan menganggap putusan majelis hakim Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) tidak masuk akal. Karena dalam persidangan tersebut pemerintah Indonesia harus bertanggungjawab atas pelanggaran HAM 1965.

Menurutnya, IPT tidak dapat disetarakan dengan pemerintah Indonesia. Karena, dia menilai, keputusan IPT yang hanya berstatus sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM).

“Tidak ada masuk di akal saya itu. Mereka (IPT) itu LSM, masa LSM (menjadi) ‘counterpart’ saya, yang benar saja,” katanya seperti dilansir dari Antara, Kamis (21/7).

Luhut meragukan kebenaran informasi dalam putusan IPT bahwa tindakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Indonesia pada 1965-1966. Meliputi pembunuhan terhadap sekitar 400.000 hingga 500.000 orang anggota PKI, terduga anggota PKI, pendukung Presiden Soekarno, anggota radikal Partai Nasional Indonesia (PNI) beserta keluarga mereka.

Dia menduga, angka tersebut diperoleh tidak berdasarkan data yang akurat, melainkan hanya laporan dari Tim Pencari Fakta (TPF) yang dipimpin Mayjen (purn) Sumarno kepada Presiden Soekarno.

Informasi itu didapat Luhut dari Letjen (Purn) Sintong Pandjaitan yang pada 1965 bertugas sebagai Komandan RPKAD di Pati, Jawa Tengah.

“Sumarno mengatakan 75 ribu. Bung Karno tanya, kok cuma segitu? Eh tidak, empat kali itu. Itu lah datang (jumlah) 400.000 korban, basisnya katanya-katanya (Sumarno). Memang kita paham, pada zaman itu masih tidak setransparan sekarang,” tegas Luhut.

Luhut menegaskan, pemerintah tidak akan mempertimbangkan putusan IPT karena dianggap hanya berdasar pada asumsi.

IPT 1965 akan menyerahkan keputusan akhir kepada pemerintah Indonesia, usai sidang yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, pada 10-13 November 2015 dan dipimpin Hakim Ketua Zak Yacoob.

Dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (20/7), Koordinator IPT 1965 Nursyahbani Katjasungkana mengatakan hasil akhir keputusan tersebut akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo saat pertemuan dengan korban pelanggaran HAM berat seperti pernah dijanjikan Presiden melalui Juru Bicara Presiden Johan Budi.

“Putusan ini secara resmi akan diserahkan pula kepada Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Kantor Staf Presiden,” ujar Nursyahbani.

Putusan tersebut mencakup tindakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Indonesia yakni pembunuhan terhadap sekitar 400.000 hingga 500.000 orang yang melanggar UU KUHP pasal 138 dan 140 dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Kedua adalah hukuman penjara tanpa proses hukum terhadap sekitar 600.000 orang. Ketiga, perbudakan, yaitu tahanan dipaksa untuk melakukan kerja paksa di bawah kondisi yang bisa dikategorikan sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan juga pelanggaran atas Konvensi mengenai Kerja Paksa tahun 1930.

Keempat, penyiksaan yang dilakukan dalam skala besar terhadap tahanan pada masa terjadi pembunuhan massal dan pemenjaraan. Kelima, yaitu penghilangan secara paksa, dilakukan dalam skala besar dan banyak nasib korban tidak pernah diketahui.

Keenam adalah kekerasan seksual secara sistemik yang tercatat pada laporan Komnas Perempuan, baik secara lisan maupun tulisan. Ketujuh, terjadi pengasingan, yaitu warga negara Indonesia yang paspornya disita ketika berada di luar negeri telah kehilangan hak kewarganegaraannya.

Kedelapan, tentang propaganda tidak benar atas versi resmi yang terjadi pada orang-orang yang ditangkap di Lubang Buaya. Kesembilan, adanya keterlibatan negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia dalam kejahatan kemanusiaan di Indonesia setelah peristiwa 30 September 1965 meskipun dengan derajat keterlibatan yang berbeda-beda.

Terakhir, Indonesia dituduh telah melakukan genosida, dengan maksud khusus untuk menghancurkan atau membinasakan kelompok tersebut sebagian atau keseluruhan.

Padahal, Indonesia terikat pada ketentuan Konvensi Genosida tahun 1948 di bawah hukum internasional.

“Para pegiat IPT 1965 akan menggunakan semua jalur yang tersedia dalam mekanisme HAM PBB untuk menyosialisasikan putusan ini. Termasuk pada tanggal 17 April 2017, laporan pelaksanaan HAM di Indonesia akan ditinjau dalam Universal Periodic Review di Dewan HAM Jenewa Swiss, kami akan memasukkan putusan IPT 1965 sebagai laporan dari LSM di Indonesia,” kata Nursyahbani. [eko]

Sumber: Merdeka.Com

This post is also available in: English