*Nunu Pradya Lestari | Konde.Co
Perempuan itu lebih cocok dilukis, bukan jadi pelukis. Pernyataan tersebut pernah terlontar dari seorang pelukis kenamaan sekaligus menjadi representasi atas mitos perempuan sebagai obyek seni. Para seniman perempuan kemudian membongkar mitos ini dan mempengaruhi perkembangan seni di Indonesia dan Asia Tenggara.
Konde.co- Selama ini banyak karya seni rupa dan tubuh perempuan masih sering dilabeli oleh pagar-pagar estetika tubuh. Jadi perempuan hanya dipandang sebatas permukaan kulit saja.
Ada 2 persoalan yang mengemuka, pertama soal peremehan terhadap kehadiran seniman perempuan. Dan yang kedua, peremehan terhadap perempuan dalam karya seni.
Obyektifikasi bentuk dan tubuh perempuan dalam karya seni rupa ini kemudian menciptakan dimensi simbolis yang membentuk oposisi hierarkis dalam teks, gambar, bentuk, bangunan dan wacana tentang seni. Ini sekaligus juga membentuk demarkasi atas relasi sosial laki-laki dan perempuan.
Realitas itulah yang terjadi dalam tatanan masyarakat patriarki, hingga lahir generasi seniman perempuan yang mencoba membongkar mitos-mitos tersebut.
Dolorosa Sinaga, seorang pematung perempuan Indonesia menjadi salah satu pelopor seni kontemporer yang membongkar mitos dan pagar-pagar estetika tubuh perempuan ini.
Sebagai seniman, Dolorosa telah berkarya lebih dari 4 dasawarsa dan menciptakan lebih dari 600 karya.
Sepanjang perjalanan berkaryanya selama 40 tahun, ratusan patung karya Dolorosa menghadirkan spektrum baru dalam dunia seni rupa Indonesia. Bukan hanya karena nilai artistiknya, tetapi juga karena kemampuannya menyampaikan pesan-pesan yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Dolorosa mencatat perjalanan seninya dalam buku berjudul “Dolorosa Sinaga: Tubuh, Bentuk dan Substasi.”
Buku yang ditulis dalam edisi bahasa Indonesia dan bahasa Inggris ini diluncurkan pada Jumat, 31 Januari 2020 bersama dengan Kaleidoskop Pameran Instalasi 40 Tahun Aktivisme Seni Dolorosa Sinaga di Gedung B, Galeri Nasional Indonesia di Jakarta.
Buku ini disunting oleh kurator seni Alexander Supartono dan sejarawan Soni Karsono. Buku yang disusun hampir tiga tahun ini, tak hanya menampilkan karya-karya Dolorosa tetapi juga menyingkap inspirasi yang memicu penciptaan karya-karyanya. Buku ini terdiri dari lima bagian menghadirkan dialektika antara pengalaman hidup, kegelisahan politik, artistik dan letupan inspirasi dari seorang Dolorosa Sinaga.
Seminar sehari dalam rangka peluncuran Buku Dolorosa Sinaga, mengupas lebih dalam mengenai gagasan Dolorosa dalam visual dan wujud karya-karyanya. Acara yang digelar di Galeri Nasional Indonesia, pada Sabtu (1/2/2020), turut mengundang kurator dan sejarawan seni Asia Tenggara.
Kurator seni dan analis politik Filipina, Marion Pastor Roces mengulas tentang keterhubungan sejarah politik di Asia Tenggara, terutama antara Indonesia dan Filipina yang turut mempengaruhi produksi seni kontemporer di kedua negara tersebut.
Karya-karya Dolorosa, menurut Roces, tidak hanya indah dari aspek nilai estetika saja. Patung tubuh-tubuh perempuan yang sedang menari dan patung-patung lainnya, mempunyai karakteristik dan keistimewaan berbeda-beda.
“Dolorosa mampu memvisualisasikan gambaran pengalaman dunia perempuan sesuai konteks sosial politik yang terjadi di Indonesia,” ungkap Marion Pastor Roces.
Sejarawan seni dari Universitas Paramadina, Heidi Arbuckle memaparkan mengenai perkembangan hiper-maskulinitas dalam seni di Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh situasi politik terutama di masa kolonial.
Menurutnya, budaya maskulinitas di Indonesia dibentuk untuk melampaui maskulinitas kolonial, sehingga dimensi simbolik maskulinitas dalam karya seni dan sastra disimbolkan melalui sosok pejuang, mesiu, dan senjata sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme.
“Karya-karya Dolorosa yang kerap menghadirkan figur perempuan, mampu mengajarkan persepsi dan sudut pandang baru mengenai substansi bentuk sebagai obyek seni dalam konteks seni modern dan kontemporer,” kata Heidi Arbuckle.
Sementara itu, sejarawan seni dari Lasalle College of the Arts Singapore, Clare Veal membahas estetika dan gender di Asia Tenggara, khususnya dalam seni patung.
Veal memaparkan mengenai kiprah seniman perempuan di Asia Tenggara yang juga banyak mempengaruhi perkembangan seni kontemporer dunia, salah satunya seniman perempuan Thailand Araya Rasdjarmrearnsook.
Baik karya Araya maupun Dolorosa, menurut Vael, tidak hanya mampu menciptakan karya seni berestetika tinggi dari aspek visual, namun juga kaya akan substansi dan makna yang menyingkap realitas sosial politik.
“Dalam wujud seni patung, kita bisa mendapati seni feminis dan keberpihakan yang sangat kuat terhadap solidaritas perempuan melalui bahasa visual yang diciptakan Dolorosa. “
Sampai kini, karya-karya patung Dolorosa Sinaga diburu para kolektor nasional dan internasional. Seniman patung Dolorosa dikenal sebagai pematung yang kerap kali menghadirkan figur perempuan dalam karya buatannya.
Dolo, sapaannya, memang kental membawa isu-isu perempuan tiap kali mengeluarkan karya baru. Beberapa karya patung yang menarik adalah figur perempuan tercabik yang kurus kering dan tirus karena menderita, yang dengan hati-hati menggamit roknya dan seraya menari untuk menghibur seorang anak yang dilekapkan ke payudaranya. Ada juga figur perempuan yang saling bertaut lengan melakukan protes bersama-sama, yang diberi judul “Avante I”.
Lebih dari 600 karya yang pernah lahir dari tangannya, hanya ada lima figur laki-laki yang pernah dia buat. Mereka di antaranya adalah Soekarno, Multatuli, Wiji Thukul, Dalai Lama, dan Gus Dur. Kelima figur laki-laki itu memiliki kesamaan, yakni para pejuang yang tak pernah menyerah. Lalu, figur-figur itu juga memiliki kesamaan sebagai pejuang yang akhirnya terpinggirkan.
Kekayaan gagasan dan narasi dalam setiap karya Dolorosa menjadi cerminan perjalanan hidup, seni dan politik sang pematung yang tidak hanya membatasi dirinya pada praktik artistik seni.
Baginya, seni perlu hadir dan menjangkau luas semua spektrum. Dolorosa menyatakan bahwa karya-karya seniman perempuan di Indonesia perlu menegaskan posisi dan keberpihakan.
Karya seni yang lahir dari tangan seniman perempuan penting untuk mengangkat metanarasi dari keperempuanannya, baik itu narasi mengenai permasalahan sosiokultural hingga narasi tentang kemanusiaan.
*Nunu Pradya Lestari, sehari-hari aktif sebagai kontributor www.Konde.co dan pegiat buruh di Jakarta
Konde.Co
This post is also available in: English