Oleh : Elvan De Porres*
Sumber : Indo Progress, 31 Juli 2016
Sepatah Kata Awal
HARUS kita akui bahwa tragedi G30S 1965 merupakan kisah pilu yang mencoreng wajah bangsa Indonesia. Itu adalah realitas tengik yang menyodorkan luka menganga. Orang-orang dibantai. Wajah-wajah tak bersalah lesap tak manusiawi. Lantas aroma darah para korban bergema di balik sirene kekuasaan tiran. Narasi sejarah pun disulap sedemikian rupa oleh rezim otoriter Orde Baru. Orang-orang yang disingkirkan tersebut kemudian didaulat sebagai musuh negara yang mesti disingkirkan. Kemanusiaan dicerobongi oleh kebiadaban. Keutuhan diri manusia disekap ke dalam parade aksi imoral.
Para pembunuh boleh jadi menganggap tindakannya mulia ataupun berbangga atas kematian yang mereka ciptakan. Akan tetapi, hal semacam itu sepatutnya dikutuk. Sebab, kemanusiaan tidak bisa dibayar dengan langgam apapun. Orang-orang yang mati dan membusuk, yang tubuhnya berserakan tak tentu, yang keluarganya hingga saat ini masih larut dalam ratapan, tidak bisa dihidupkan lagi. Oleh karena itu, sejatinya cerita pembungkaman ingatan atas peristiwa pembantaian massal 1965 adalah proliferasi imoral “keji berlapis-lapis” yang tidak hanya menodai kemanusiaan itu sendiri, tetapi juga merisak peradaban bangsa ini, yang hanya akan membiarkan gaung-gaung tolak bungkam tetap berseliweran.
Pada titik ini, sanjungan setinggi-tingginya laik disematkan kepada para aktivitas dan karya-karya yang membuka cakrawala berpikir bangsa tentang kekejian rezim Orde Baru. Misalnya, International People’s Tribunal 1965 (IPT 1965) di Den Haag, Belanda, acara Festival Belok Kiri, pemutaran film-film dokumenter, ataupun Simposium Nasional ‘65 yang mengupayakan rekonsiliasi antara pelaku dan penyintas. Memang tak dapat dipungkiri, persepsi pro dan kontra berjalan mengiringi usaha-usaha semacam itu. Namun, niat baik meluruskan sejarah ataupun memberikan ranah pikir baru tentang masa lalu yang kelam sungguh merupakan kepatutan dan kepantasan. Ini terutama berguna bagi generasi muda yang seyogianya memiliki pemikiran dinamis, rasional-kritis, dan terbuka
Keberadaan berbagai literatur yang memberikan teropong lain (alternatif) terhadap peristiwa Pembantaian 1965 juga tentu baik adanya. Di dalamnya terdapat kajian-kajian historis hingga pendapat-pendapat kritis. Tentu saja itu secara langsung mempertanyakan sekaligus menantang narasi sejarah versi resmi negara. Apalagi, seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang begitu melejit, literatur seperti itu bisa semakin mudah diakses sehingga menjadi medium narasi dan studi yang berkelanjutan. Boleh jadi terdapat konfrontasi di dalamnya ataupun pantikan-pantikan diskusi yang menggoda orang untuk saling tukar pendapat. Memang, era reformasi sekarang ini membuka kesempatan seluas-luasnya bagi pelbagai kerja kebudayaan. Meskipun masih terdapat pula atraksi-atraksi miris yang mengangkangi kebebasan berekspresi dan berpendapat itu.
Buku Berani Berhenti Berbohong: 50 Tahun Pascaperistiwa 1965-1966 yang dieditori Otto Gusti Madung dan John Mansford Prior adalah salah satu di antaranya. Buku ini tampil sebagai salah satu literatur yang berani mengangkat kisah tragis masa lalu ke ruang publik. Buku ini berisi kajian yang berdasarkan pada fakta (korban, pelaku, dan penyintas), paparan analitis, ulasan teologis, hingga tilikan filosofis berkenaan dengan peristiwa pembantaian ‘65-66 yang terjadi di Indonesia, secara khusus di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Buku ini merupakan kumpulan tulisan hasil karya para akademisi yang menyoroti kisah tragis itu dari sudut pandang disiplin ilmu masing-masing. Di dalam buku ini, terdapat informasi-informasi bermakna serta persepsi-persepsi tajam yang memberikan kekayaan puspawarna untuk berpadan dalam tajuk “tolak bungkam”, sehingga yang diharapkan ialah karangan-karangan bikinan Orde Baru, rezim yang paling bertanggung jawab pada kasus pembantaian ‘65, mendapat pukulan telak berpayungkan pikiran cerdas, historis-kritis, dan manusiawi.
Sebelum melangkah lebih jauh, mesti disadari bahwa buku ini bukanlah semacam hasutan atau bukan pula provokasi gaya baru untuk membangkitkan kisah lama. Sebab, esensi buku ini ialah ingin memberikan pengetahuan yang sejernih mungkin. Pengetahuan yang barangkali memadai guna refleksi kebangsaan ke depannya. Dan, sekali lagi, ini dikhususkan untuk generasi muda penghuni alam reformasi ini. Sebab, seperti yang dikatakan Ariel Heriyanto, orang Indonesia yang lahir dan dibesarkan dalam dua generasi terakhir, hidup tanpa mengalami pendidikan dasar dan berimbang mengenai sejarah nasional mereka sendiri (2015). Pada titik ini, mengingat masa lalu merupakan sebuah pembelajaran berharga bagi pembentukan jati diri bangsa selanjutnya. Belajar dari masa lalu adalah payung penuntun supaya tidak salah langkah dan salah sangka dalam setiap sumbangsih bagi bangsa dan negara. Dengan demikian, barangsiapa yang berpikiran cetek bahwa literatur-literatur yang mengangkat peristiwa masa lalu bangsa mesti disingkirkan sejatinya hanyalah manusia-manusia pendaku nasionalis kerdil. Yang mau maju tapi dengan mata tertutup, yang mau membangun bangsa tapi dengan hati terkatup.
Ragam Narasi
Pada pengantar buku yang ditulis untuk mengenang 50 tahun peristiwa 1965-1966 ini, Otto Gusti Madung dan John Mansford Prior mengatakan bahwa sejarah politik bangsa ini mestilah ditulis dari perspektif kaum tertindas, orang-orang yang dibisukan, dan yang tersingkirkan oleh rezim. Sebuah pertanyaan gugatan dilayangkan keduanya: apakah Indonesia akan tetap hidup dalam bingkai kebebalan penipuan Orde Baru, ataukah mau membuka diri terhadap kisah-kisah yang lahir dari rahim nurani rakyatnya sendiri. Secara tak langsung hal ini dijawab oleh Elie Wiesel, survivor kamp penyiksaan konsentrasi fasis Nazi. Ia mengatakan bahwa melupakan kekejaman masa lalu hanyalah membuka peluang bagi lahirnya kekerasan lanjutan di masa depan. Karenanya, kebenaran sejarah harus terungkap agar tak terjadi lagi hal serupa. Kebenaran yang dituturkan langsung oleh yang disingkirkan.
Dalam pada itu, dalam esainya Franz Magnis Suseno mengatakan bahwa untuk menyibak kebenaran pembantaian G30S,yang perlu dilakukan adalah dengan melihat “korban sebagai korban”. Romo Magnis ingin mengajak kita berpikir holistik dalam melihat pembantaian yang terjadi kala itu. Apakah sepadan banyak nyawa harus melayang hanya karena PKI dicap sesat? Ataukah pembantaian yang dilakukan kepada anggota PKI, ormas yang berafiliasi dengannya, dan yang dituduh,bukan karena mereka dianggap anti agama sebagaimana keyakinan awam selama ini, tetapi hanyalah dalil untuk sesuatu yang lebih besar?
Salah satu cerita tentang korban pembantaian yang diangkat dalam buku ini adalah kisah Jan Djong, seorang politisi energik-transformatif dari kota Maumere, Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang dibeberkan secara lugas oleh Gerry van Klinken. Jan Djong mati di penjara dengan serangkaian penyiksaaan yang begitu menjijikan. Lantas kematiannya itu menjadi penabuh awal bagi gendang-gendang pembantaian dan kematian selanjutnya di Maumere. Ratusan masyarakat sipil dibantai oleh sesama sipil yang notabene sama-sama penganut agama Katolik, agama yang sebetulnya menekankan cinta kasih sebagai nilai utama.
Saat itu, posisi kaum feodal ada di strata tertinggi kabupaten Sikka. Hegemoni yang berpusat pada sang raja sangat kuat dalam mempengaruhi dinamika politik lokal. Jan Djong yang tidak puas kemudian melakukan protes, termasuk menggelar demonstrasi atas keberadaan raja Sikka yang otokratis dan sistem pemerintahannya yang bertentangan dengan demokrasi. Demonstrasi yang diorganisir Jan Djong ini adalah yang pertama kali terjadi di wilayah tersebut. Sebagian masyarakat menganggapnya sebagai pembangkang.
Langkah Jan Djong juga tampak dalam gerakan organisasi berbasis etnis yang dijalankannya. Organisasi yang dinamakan Kanilima ini bercita-cita memiliki perwakilan etnis di DPRD. Usaha mereka berhasil. Perwakilan etnis pun diresmikan. Kanilima juga berusaha agar urusan-urusan umum semisal keuangan dan pendidikan harus dijalankan oleh anggota dewan terpilih, bukan lagi menjadi hak prerogratif seorang aristokrat. Bisa ditebak, gerakan tersebut ternyata tidak disenangi oleh saingannya yang merupakan kaum elite perkotaan.
Sempat disingkirkan sebelum peristiwa G30S, Djong kemudian menjalin aliansi dengan kader-kader partai nasional sekuler-progresif semisal PNI, serta PKI. Namun ironisnya, yang menjadi musuh Djong tak hanya datang dari elite politik Sikka saja, tetapi juga dari pihak Gereja (yang barangkali otaknya sudah tercuci).
Hidup Jan Djong memang tak bertahan lama. Pada Februari 1966, komandan militer di Maumere mulai menekan para politisi di kota itu untuk bergabung dalam barisan mereka untuk menghukum mati semua lawan politik, di antaranya para anggota dan simpatisan PKI. Akhirnya, pada 1 Maret 1966, Jan Djong, camat Kewapantai dan mantan anggota DPRD itu, meninggal dunia setelah dipukul, dianiaya, dan diarak keliling kota. Bahkan, permintaanya untuk menerima absolusi (pengampunan melalui upacara keagamaan –Ed) dari salah seorang pastor yang sedang menanti di luar gerbang Rutan ditolak mentah-mentah. Sosok-sosok pembaharu seperti Djan Jong memang hanya dilihat sebagai pengganggu yang mesti disingkirakan.
Kisah lainnya datang dari sang editor, John Mansford Prior. Ia berkisah tentang dirinya saat menjadi seorang pastor muda di Maumere. Pada masa baktinya, ia berani mengangkat narasi pembantaian massal ‘65 terhadap orang Katolik oleh sesama Katolik. Soal pembantaian massal itu sendiri, pada buku ini dijelaskan bahwa peran militer dari Jawa begitu besar, terutama dalam merancang dan mengkondisikan aksi-aksi. Di tempat ini militer, sebagaimana di tempat-tempat lain, membentuk milisi-milisi sipil, guna membantu mereka melakukan pembantaian.
Pembantaian di Maumere sendiri terjadi setelah empat hingga lima bulan berlangsungnya pembantaian di Jawa. Ia menggugat, mengapa bisa pengaruh PKI yang sebetulnya relatif kecil di Flores harus dibalas dengan kucuran darah warga sipil yang begitu banyak. Padahal di satu sisi, PKI sebagai sebuah partai legal-legitim di Flores mengusahakan kesejahteraan sosial bagi orang kecil, seperti kaum buruh, tani, dan nelayan.
Dalam ceritanya, Prior tak segan menggugat bungkamnya peran Gereja kala itu. Diketahui kemudian, Gereja rupanya mendapat represi dari kaum feodal dan militer yang punya pengaruh kuat, bahkan hingga sekarang. “Gereja model mana yang mengeloskan pembantaian 1966?” Demikian pertanyaan kritis dilontarkan Prior. Hal ini ia simpulkan dari memoar tentang tiga sosok misionaris Katolik yang pernah berkarya di Flores tatkala Orde Soeharto membantai rakyat pada awal 1966. Menurutnya terdapat dua argumentasi seputar keberpihakan Gereja. Pertama, Gereja institusional yang menyajarkan diri dengan birokrasi, politisi dan pedagang. Dan kedua, Gereja yang terbentuk dari bawah dengan dua tipe; ritualistik-karismatik dan komunitas basis, yang berjuang untuk keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. Tak lupa, John kemudian menganalisis bagaimana pengambilan sikap Gereja dalam krisis saat itu.
Gereja yang masuk ke Flores disebut menjalin relasi yang sangat akrab dengan kaum elit setempat. Gereja juga menjadi semacam tulang punggung masyarakat dengan adanya sistem persekolahan dan proyek-proyek sosio-ekonomis. Dengan aspek kesejarahan ini, Gereja menjadi sulit untuk menantang penyelewengan-penyelewengan sosial, apalagi itu dilakukan oleh mitranya sendiri, yaitu militer, khususnya Angkatan Darat (AD). Pertanyaan-pertanyaan kritis tidak luput dari perhatiannya untuk menghentak kesadaran tipe gereja sekarang ini.
Tulisan lain menaruh konsentrasi pada tema-tema teologis yang lahir dari narasi sejumlah pelaku. Salah satunya ditulis oleh Mery Kolimon. Menurutnya, kebanyakan pelaku tragedi ’65 yang diwawancarai, sebagian besar tinggal di Pulau Timor, enggan melihat masa lalu. Secara umum, ia mengatakan ada rasa tidak nyaman dan gelisah yang melekat dalam diri hampir semua pelaku, termasuk ayahnya sendiri yang juga merupakan pelaku pembantaian. Kegelisahan ini berasal dari dua faktor yang saat itu saling bertolak belakang. Pertama, bagi negara, orang-orang komunis yang mereka bantai itu itu jahat dan memang layak mati. Sebaliknya yang kedua, para pelaku justru tahu bahwa korban sesungguhnya tidak jahat. Antara hati nurani (dimensi deontologis-etis) dan perintah sistem (dimensi yuridis-teleologis) saling bertolak belakang. Memang di samping itu, harus diakui pula ada pelaku yang terjerumus ke dalam pembenaran diri bikinan Orde Baru. Mereka berpikir bahwa mereka adalah pahlawan pembela bangsa.
Mery juga menjelaskan bahwa wawancara yang ia lakukan merupakan bagian dari proses penyembuhan sebagian pelaku pembantaian. Dalam proses ini dilaksanakan ritual agama-suku. Di sini, pelaku, korban, ataupun keluarga korban berpartisipasi dalam sebuah “pendinginan kultural”. Cerita teologis dari kisah Kitab Suci Kristiani yang mengangkat kisah Kain membunuh Habel disajikan dalam ritual ini. Kisah itu menjadi semacam geret tandingan bagi pembenaran diri pelaku. Dalam cerita itu, Kain tidak dibebaskan dari rasa bersalah tetapi diizinkan untuk membangun kembali hidupnya atas dasar keterbukaan dan pengakuan atas kesalahan yang pernah diperbuat. Ini semestinya juga dilakukan pada Gereja-gereja di Indonesia, khususnya di NTT yang secara tidak langsung turut terlibat dalam pembantaian.
Sementara itu, penulis lain, Karen Campbell-Nelson, lebih berkonsentrasi pada diri para penyintas. Ia mengawali tulisannya dengan deskripsi asal-usul wacana sistem yudisial yang dikonfrontasikan dengan dimensi pengetahuan Kristianitas. Kesaksian penyintas perempuan menjadi perhatian khusus. Wacana keadilan transisional tampil sebagai respon atas pelanggaran HAM, melalui pengakuan para korban yang berjuntrung pada rekonsiliasi yang layak. Dalam konteks teologis, transisi tersebut sejajar dengan pergeseran konsep dari “Tuhan Yang Mahakuasa” ke “Tuhan Yang Mahahadir”.
Tidak bisa dipungkiri, pembantaian ‘65 menimbulkan ketakutan luar biasa dalam masyarakat. Bahkan, Gereja pun turut terindoktrinasi sehingga larut dalam ketakuatan pula. Pada tataran ini, sebuah dokumen Gereja Katolik di Indonesia yang berisikan penggambaran buruk terhadap kaum komunis dianalisis oleh Justin L. Wejak. Wejak mengaitkan ini dengan ketakutan yang dialami masyarakat Lamaholot, Flores Timur dan Lembata. Ada tiga bentuk ketakutan yang tidak bisa dilepas-pisahkan, yakni ketakutan sekuler, ketakutan agama, dan ketakutan supranatural. Namun, semuanya itu hanyalah merupakan bentuk politik penakutan yang diciptakan negara kepada masyarakat sipil. Maka, tepatlah apa yang ditegaskan filosof Martin Heidegger, bahwa ketakutan masa lalu selalu menyangkuti ketakutan masa kini.
Johann Baptist Metz dan Paul Budi Kleden menegaskan ulang peranan iman Kristiani yang seharusnya justru tidak membuat Gereja berkontribusi pada pembantaian. Menurutnya, iman semestinya mendasarkan diri pada kenangan akan penderitaan, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus. Gerakan yang berpegangan pada konsep iman seperti itu adalah harga mati untuk menolak pelanggengan hegemoni kekuasaan. Sebab menurut Budi, kebangkitan Yesus Kristus merupakan representasi bagi kebangkitan korban. Ini berarti berbagai bentuk advokasi dan upaya pengakuan korban sebagai korban tidaklah boleh direpresi. Apalagi itu dibiarkan mengambang begitu saja. Mengakui korban sebagai korban merupakan kemenangan Kristus itu sendiri. Oleh karena itu, teologi patut mendedikasikan dirinya terhadap penderitaan korban.
Selanjutnya, Lukas Jua menaruh poin pada kajian biblis dengan paparan distingtif antara anamnesis, amnestia, dan amnesia. Term-term tersebut dikonfrontasikan dengan kisah Kitab Suci, secara khusus ihwal kehidupan Yesus Kristus. Peringatan (anamnesis) akan korban merupakan keutamaan demi keterciptaan amnestia (pengampunan) itu sendiri. Ini sama seperti orang Kristiani yang mengenang Yesus sebagai korban yang menyelamatkan. Artinya, segala bentuk penghilangan (amnesia) memori terhadap kisah pembantaian G30S mesti dijauhkan.
Selanjutnya Yosef Keladu Koten coba menjelaskan tragedi G30S dari sudut pandang pemikiran Hannah Arendt, filsufcum politikus asal Jerman. Arendt pernah mengatakan bahwa beban sejarah suatu bangsa yang pernah terlibat dalam kejahatan kemanusiaan menggantung bagaikan pedang Democles di atas generasi-generasi baru, dan akan senantiasa mengancam dan menakuti. Arendt mengambarkan pembantaian adalah kondisi dimana warga negara dirampas hak-hak asasi mereka dan dibiarkan mengambang begitu saja, atau yang ia sebut dengan istilahworldlesness. Jika dibaca dalam analisa Arendt, menurut Koten, kejahatan kemanusiaan 1965 lebih bermuatan politis, sama seperti peristiwa Holocaust yang dilakukan Nazi. Artinya, ada kepentingan politis di balik pembantaian tersebut.
Pemikiran Arendt pun dijadikan pijakan penulis lain, Mathias Daven, terutama soal totalitarisme. Bagi Arendt, perampasah hak-hak dasar warga adalah celah hitam dalam peradaban. Oleh karena itu, dibutuhkan semacam rehabilitasi kehidupan politik, yang merujuk pada tindakan mengampuni dan saling berjanji, dalam pranatanya adalah rekonsiliasi. Daven mengatakan pandangan ini penting dalam diskursus rekonsiliasi terhadap kasus 1965.
Buku Berani Berhenti Berbohong: 50 Tahun Pascaperistiwa 1965-1966 ini ditutup kembali dengan tulisan dari Otto Gusti Madung. Otto Gusti mencontohkan model politik amnesti atau pengampunan melalui upacara Grati Najandari masyarakat Lembata, NTT. Ritus Grati Najan ini bertujuan untuk membangkitkan atau menghidupkan kembali jiwa dari orang-orang tidak bersalah yang dibunuh secara keji. Ini semacam rekonsiliasi yang harus dibuat agar darah para korban tidak menuntut balasan yang muncul dalam rupa penyakit, kematian tiba-tiba atau bencana alam. Berangkat dari paradigma kultural itu, Otto menyoroti wacana nasional tentang rekonsiliasi kasus pelanggaran HAM masa lalu. Baginya, rekonsiliasi sejati mengandaikan adanya proses penguakan fakta sejarah yang mengedepankan hak-hak para korban. Oleh karena itu, politik amnesti itu sendiri mesti merupakan suatu amnesti tanpa amnesia. Pengampunan bukan berarti melupakan begitu saja. Sebab, bangsa Indonesia akan menjadi sungguh-sungguh beradab kalau ia berani menoleh, menerima, dan berdamai dengan masa lalunya.
Sebujur Ujar Akhir
Soeharto dan rezimnya Orde Baru telah menampilkan lakon busuk dalam perjalanan sejarah bangsa. Terutama berkaitan dengan pembantaian massal ’65-66 terhadap masyarakat Indonesia yang tak bersalah. Tentu saja pembantaian tersebut tidak bisa dibenarkan. Manusia yang mencabut nyawa sesamanya adalah seorang yang tidak manusiawi.
Oleh karena itu, memori kolektif tentang pelanggaran HAM dalam peristiwa pembantaian G30S 1965 mesti terbentuk. Ingatan dan kenangan itu bukanlah bertujuan untuk menimbulkan dendam dan permusuhan di antara sesama masyarakat. Tapi justru supaya bangsa ini sanggup belajar dari masa lalu bagi perjalanannya ke depan. Selain daripada itu, jika kejahatan masa lalu tetap ditutup-tutupi, akan tidak menutup kemungkinan bakal terulang lagi di masa depan. Oleh sebab itu, pengakuan terhadapnya merupakan kemutlakan. Pengakuan yang berujung pada permintaan maaf dan rekonsiliasi.
Akan tetapi, patutlah dicatat bahwa rekonsiliasi tersebut mestinya menaruh keberpihakan pada korban. Narasi-narasi harus datang dari perspektif korban dan bukannya versi penguasa. Jangan sampai para korban atau penyintas hanya menggaungkan suara keadilan di balik hati nuraninya yang tertindas, tanpa diketahui siapapun. Karena pada dasarnya, kebebasan batin manusia merupakan keutamaan dalam segala bentuk perwujudan nilai kemanusiaan. Dan, sudah barang tentu bangsa yang besar harus menjamin itu.
Dalam rangka itu, karya-karya kreatif-intelektual yang menampilkan sejarah versi korban harus konsisten dilahirkan. Buku Berani Berhenti Berbohong: 50 Tahun Pascaperistiwa 1965-1966 sudah dengan baik melakukan tugasnya. Ditambah, buku ini menceritakan dengan gamblang bahwa gema anti-PKI kala itu sangat luas. Mulai dari tingkat nasional sampai pada etalase lokal. Dalam konteks NTT, penciptaan fobia bahkan merangsek masuk ke dalam tubuh lembaga religus. Di sini, terlihat bahwa Soeharto sungguh-sungguh menanamkan misinya untuk memberantas komunisme hingga ke akar-akarnya. Bukan hanya dengan represi fisik semata, melainkan juga dengan represi psikis.
Sekali lagi, kehadiran buku Berani Berhenti Berbohong. 50 Tahun Pascaperistiwa 1965-1966 tidaklah boleh dilihat sebagai bentuk membangkitkan dendam masa lalu. Yang diharapkan ialah kecerdasan untuk senantiasa berpikir kritis dan terbuka. Juga yang mesti dihindari adalah fanatisme sempit terhadap masa lalu. Selain itu, fobia-fobia tanpa juntrung bukanlah lagi zamannya pada titimangsa reformasi ini. Kekhawatiran atas lahirnya kembali PKI merupakan bentuk jumud dari kapabilitas berpikir maju.
Generasi muda diharapkan mengetahui sejarah bangsanya dengan benar. Kekaburan sejarah hendaknya dilawan. Juga segala bentuk pelenyapan dan usaha yang melandasinya. Memang buku ini ditujukan kepada siapa saja yang punya niat baik (sejak dalam pikiran) untuk mengetahui beberapa hal dari sekian banyak seluk-beluk pembantaian massal 1965-1966. Namun, secara khusus didedikasikan untuk anak-anak muda agar mengetahui akan masa lalu bangsa ini. Dan, tidak lamur serentak serampangan mereka-reka peristiwa tragis itu.
Pada akhirnya, merefleksikan masa lalu, belajar dari masa lalu sembari berbenah diri dan membulatkan langkah untuk maju, merupakan tanggung jawab bersama. Ini bukan tentang mundur ke belakang, mengingat, kemudian membuka borok-borok kekejaman negara tanpa punya pikiran progresif. Menoleh ke belakang tidaklah berarti mati. Sebab, sekiranya ada nilai lain yang ingin ditegaskan. Ya, itu tadi: marwah peradaban bangsa Indonesia sendiri.
- Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur
- Esai atas buku ini pernah menjadi pemenang dalam lomba menulis esai “Generasi Muda Melawan Propaganda Orde Baru” selenggaraaan Panitia Belok Kiri Festival.
This post is also available in: English