Sumber : Netralitas.com, 29 Juli 2016
Walikota Palangkaraya, Yanti Saconk, merupakan salah satu korban pembantaian sadis pasca Gerakan 30 September (G30S) 1965.
Seorang Pemuda Suku Dayak Ngaju, Provinsi Kalimantan Tengah, Yanti Saconk, ketika tengah merantau di Jawa, dipanggil pulang Tjilik Riwut, Gubernur Kalimantan Tengah. Kebijakan Tjilik Riwut, orang daerah harus membangun daerahnya sendiri. Selaku seorang pemuda terpelajar, Yanti Saconk, ditetapkan menjadi Walikota Palangkaraya pertengahan 1965. Di Palangkaraya, Yanti Saconk, kemudian masuk Partai Indonesia (Partindo), sebagai salah satu pendukung gerakan penganut ideologi sosialis Presiden Soekarno.
Tapi lantaran masuk Partindo, membuat Yanti Saconk, tidak jelas nasibnya sampai sekarang. Menginjak minggu ketiga setelah G30S 1965, tepatnya tanggal 18 Oktober 1965, Yanti Saconk, dijemput pria berseragam Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD). Sampai sekarang nasib Yanti Saconk, tidak jelas. Bahkan dalam daftar nama Walikota Palangkaraya, foto Yanti Saconk, sengaja tidak dipasang Pemerintah Kota Palangkaraya.
Sebagai Walikota Palangkaraya pertama, hanya nama Yanti Saconk yang ditulis, sedangkan daftar foto para pihak yang pernah menjadi Walikota Palangkaraya, sama sekali tidak dipasang. Syarifuddin Akip (78 tahun), warga Palangkaraya, mengatakan, menyebutkan, Yanti Saconk, diculik tanggal 18 Oktober 1965 dan langsung dibunuh di Jalan Tjilik Riwut, Kilometer 27, Palangkaraya.
“Banyak pihak waktu itu di Palangkaraya menuding Partindo sama dengan PKI, sehingga Yanti Saconk menjadi salah satu korbannya. Padahal hanya PKI dibubarkan, sedangkan Partindo, hanya petingginya di Jakarta saja ditahan,” kata Syarifudin Akip.
Dikatakan Syarifuddin Akip, pasca G30S 1965, ada tiga lokasi penahanan dan pemakaman berbagai pihak yang dituding sepihak terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI) di Provinsi Kalimantan Tengah, yakni di Pararapak dan Danau Jotoh, dekat Buntok, Kabupaten Barito. Tapi dalam perkembangannya, Danau Jotoh dan Pararak, lebih difokuskan sebagai tempat penahanan, seperti Pulau Buru di Kepulauan Maluku pasca G30S 1965.
Sedangkan di Jalan Tjilik Riwut, Kilometer 27, Palangkaraya, dalam perkembangannya, difokuskan kepada kuburan massa. Para saksi hidup sangat yakin, Walikota Palangkaraya, Yanti Saconk, diculik, disiksa, dibunuh dan dimakamkan di kuburan massal di Jalan Tjilik Riwut, Kilometer 27.
Kendati demikin, memang tidak sepenuhnya salah, apabila ada sementara pihak mengklaim Pararak dan Danau Jotoh, sekaligus tempat pembuangan jenazah korban 1965.
Asumsinya sederhana saja. Ratusan dan bahkan ribuan orang yang bermukim di tahanan politik di Provinsi Kalimantan Tengah, banyak yang meninggal dunia, lantaran fasilitas kesehatan tidak memadai, sarana sanitasi lingkungan masih jauh dari harapan.
Karena itu, ujar Syarifuddin Akip, paling tidak ratusan korban 1965 dibuang di Danau Jotoh dan Pararapak, di samping dimakamkan dalam kuburan massal di Jalan Tjilik Riwut Kilometer 27, Palangkaraya, arah menuju Sampit, Ibukota Kabupaten Kota Waringin Timur.
Gubernur Kalimantan Tengah, Tjilik Riwut, tidak berdaya menghadapi kriminalisasi terhadap Wali Kota Palangkaraya, Yanto Saconk.
Maklum saja. Gubernur Tjilik Riwut, dicap Soekarnois, bersama Gubernur Kalimantan Barat, Johanes Chrysostomus Oevaang Oeray, Gubernur Sumatera Utara Brigjen TNI Oeloeng Sitepu, Gubernur Jambi Pagar Alam, Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Henk Ngantung, Gubernur Jawa Tengah, Mochtar dan Gubernur Bali Anak Agung Bagus Sutedja. Tujuh gubernur Soekarnois itu, diberhentikan setelah Soeharto jadi Presiden Indonesia terhitung 1 Juli 1966.
Gubernur Bali Anak Agung Bagus Sutedja dijemput 4 pria berseragam TNI AD dengan mobil Jeep Nissan ke Markas Kostrad di Jakarta, 29 Juli 1966, dan sampai sekarang tidak jelas nasibnya.
Gubernur Oeloeng Sitepu ditangkap demonstrans di Medan, 16 Nopember 1965 dan akhirnya meninggal dunia di penjara di Medan, 18 Nopember 1965.
“Sampai sekarang pun sebagian besar para saksi hidup di Palangkaraya, tidak berani buka mulut, karena trauma akan keganasan TNI AD dan berbagai organisasi massa. Apabila sekitar 10 orang saja menuding seseorang PKI, tidak ada ampun, langsung ditangkap dan dibunuh dan seisi rumahnya dijarah,” kenang Rusman Tuah Sangata (76 tahun), saksi sejarah, warga Palangkaraya lainnya.
Menurut Rusman Tuah Sangata, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dan Pemerintah Kota Palangkaraya, harus bertanggungjawab di dalam meluruskan nama baik Yanti Saconk.
Karena sampai sekarang, tidak ada bukti Yanti Saconk, merupakan organisasi PKI, karena hanya sebagai pengurus Partindo Palangkaraya.
Apapun alasannya, sebagai bagian tidak terpisahkan dari upaya rekonsiliasi, nama baik Yanto Saconk, harus dipulihkan. Pemulihan nama baiknya, agar pihak keluarga Yanto Saconk, tidak terus-terusan menanggung stigma sebagai keturunan PKI.
“Kuburan massal korban 1965 di Jalan Tjilik Riwut, Kilometer 27, Palangkaraya, masih gampang ditelusuri. Karena lahan yang sudah dimiliki warga, berstatus semak belukar. Warga sekitar masih sering menemukan tulang-belulang setiap kali menggarap lahan, apabila melakukan penggalian di atas satu meter,” kata Rusman.
This post is also available in: English