Reporter: Agung DH | 08 Maret, 2017
Mungkinkah kampanye anti Amerika akan muncul setelah dibukanya arsip-arsip 1965?

Pusat Deklasifikasi Nasional Amerika Serikat (NDC) segera merampungkan proses deklasifikasi dokumen keterlibatan AS dalam periode paling berdarah di Indonesia dalam kurun 1963-1966. Dokumen-dokumen yang selama ini dirahasiakan akan segera dibuka untuk publik.

Pusat Deklasifikasi Nasional AS telah menyelesaikan deklasifikasi lebih dari setengah dokumen rahasia Kedutaan Besar AS di Jakarta, terutama tentang Peristiwa Gerakan 30 September. NDC menjanjikan sisa dari dokumen yang belum dideklasifikasikan bisa tuntas pada musim panas ini.

Sejauh ini, 21 dari 37 peti dokumen-dokumen lama Kedutaan AS di Jakarta itu telah disingkap, kata Direktur NDC, Sheryl Shenberger sebagaimana dikutip fas.org, Selasa kemarin.

Dalam lamannya, Federasi Ilmuwan Amerika  menyebutkan proses deklasifikasi dokumen AS tentang Indonesia pada kurun 1965 itu terbantu dengan Executive Order 13526 yang diteken oleh Presiden Barack Obama pada 29 Desember 2009. Dengan ketentuan baru tentang informasi keamanan nasional itu, proses deklasifikasi catatan pemerintah AS yang bernilai sejarah bisa dengan cepat diakses publik.

Sesuai dengan Executive Order 13526 Amerika Serikat, dokumen-dokumen yang usianya lebih dari 25 tahun sejak dokumen dibuat bisa dibuka untuk publik. Namun deklasifikasi itu harus mendapatkan persetujuan dan filterisasi dari otoritas di AS

.

Proses Deklasifikasi Dokumen 1965

Kendati demikian, deklasifikasi keterlibatan AS dalam konflik 1965 bukan atas keinginan pemerintah AS semata. Deklasifikasi itu muncul setelah ada desakan dari pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) di Amerika dan Indonesia, serta senator AS.

Dalam rancangan resolusi AS 2014, Senator Tom Udall menekan pemerintahan Obama untuk segera melakukan deklasifikasi dokumen AS terkait tragedi 1965.

“Ini adalah sejarah yang menyakitkan untuk diingat. Pada tanggal 1 Oktober 1965, enam jenderal Angkatan Darat Indonesia tewas. Menurut ulama, jenderal tersebut dibunuh oleh personel militer, tetapi Partai Komunis Indonesia [PKI] disalahkan atas kematian mereka, yang kemudian digunakan untuk dalih pembunuhan massal,” ujar Udall.

Udall mengakui bahwa Amerika Serikat terlibat dalam Tragedi 1965 yang berakibat pada pembantaian massal atau pemenjaraan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI tanpa proses pengadilan.

“Amerika Serikat memberikan bantuan keuangan dan militer selama periode waktu ini dan periode selanjutnya, menurut dokumen yang dirilis oleh Departemen Luar Negeri, dan Jenderal Soeharto mengkonsolidasikan kekuasaannya, memerintah pada tahun 1967-1998,” demikian Senator Udall mencatat. Ia menambahkan, CIA juga melakukan operasi rahasia di Indonesia selama periode ini, meskipun catatan aktivitas mereka mungkin tidak termasuk dalam file Kedutaan.

Sementara Senator Patrick Leahy—yang pernah menentang kebijakan peningkatan bantuan militer AS ke Indonesia— pada 2015 mengatakan sejak kepemimpinan Soeharto, Indonesia telah membuat langkah ekonomi dan politik penting terhadap AS. Namun Soeharto, kata Leahy, meninggalkan jejak “impunitas atas kejahatan mengerikan dari tahun 1960-an dan selama tahun-tahun akhir kemerdekaan di Timor Timur.”

“Kita perlu mengakui peran pemerintah kita sendiri dalam sejarah ini, menyingkap dokumen yang relevan, dan mendesak Pemerintah Indonesia untuk mengakui pembantaian dan membangun kebenaran dan keadilan mekanisme yang kredibel,” kata Lehay.

Sementara dari Indonesia desakan dari pegiat HAM itu untuk membuka dokumen-dokumen keterlibatan AS dalam tragedi 1965  sudah mengemuka sejak 2012 silam. Mereka meminta deklasifikasi dokumen rahasia AS  bisa menjelaskan bagaimana pembunuhan massal 1965-1966 direncanakan dan sejauh mana Amerika Serikat berkolaborasi dengan militer Indonesia.

Komisioner Komnas HAM, Muhammad Nurkhoiron mengaku pernah bertemu dengan pejabat Departemen Luar Negeri dan telah membuat permintaan resmi kepada Obama untuk membuka dokumen tersebut. Komnas HAM meminta Amerika membuka dokumen CIA, Badan Intelijen Pertahanan dan lembaga lainnya sehingga bisa membantu dalam “mendorong pemerintah Indonesia untuk mempromosikan rekonsiliasi”.

Menurut laporan itu, Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional, Myles Caggins, mengatakan akan meninjau permintaan Komnas HAM. Dia mengatakan pemerintah AS mendukung deklasifikasi dokumen yang relevan dari periode yang tidak menimbulkan risiko keamanan nasional.

Desakan serupa muncul pada April 2016. South China Morning Post melaporkan, Human Rights Watch dan KontraS mendesak AS untuk merilis dokumen rahasia pada pembantaian anti-komunis di Indonesia dari 1965-1966. Desakan dari Human Rights Watch dan KontraS muncul menjelang Simposium Nasional yang digelar pada 18 April 2016 lalu.

Direktur Eksekutif Human Rights Watch, Kenneth Roth mengatakan pembantaian itu diatur oleh militer, yang menjadi “salah satu kejahatan paling mengerikan dari era kita”.

Kendati tidak ada angka resmi untuk jumlah korban tewas, namun para peneliti memperkirakan setengah juta tewas akibat pembantaian massal itu. AS diduga terlibat di balik pembantaian itu karena pada saat itu AS melihat Indonesia sebagai benteng dalam upaya untuk menggagalkan pengaruh komunis Uni Soviet dan Cina di Asia Tenggara.

Isu 1965 yang Masih Seksi

Tragedi 1965 berikut dampak-dampaknya, sebenarnya adalah isu lama. Peneliti Cornell University, Benedict Anderson dan Ruth McVey, sudah membuat analisa paling awal, bahkan di saat rangkaian peristiwa tragedi 1965 masih berjalan. Melalui “A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia” atau lebih dikenal sebagai Cornell Paper, Ben menganalisa peristiwa itu sebagai konflik internal di Angkatan Darat, lebih khusus Kodam IV Diponegoro Jawa Tengah.

Paper yang semula dirahasiakan ini, belakangan bocor setelah dipublikasikan di Washington Post pada 5 Maret 1966 dan disebut disalahgunakan untuk kepentingan tertentu.

Namun Ben ketika itu hanya melihat dari sisi internal Angkatan Darat dalam peristiwa itu. Padahal banyak faktor lain yang turut berpengaruh, seperti keterlibatan AS dalam transisi kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto pada 1965-1966.

John Roosa melalui Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (2006) jelas menuding Amerika Serikat berperan besar dalam upaya penyingkiran Sukarno. Dari halaman 250-284 di buku itu, John menyibak secara kronologis keterlibatan AS dalam setiap konflik di Indonesia pada periode 1950-1965 yang berusaha mendongkel kekuasaan Sukarno. Cara Amerika adalah dengan memanfaatkan sejumlah perwira Angkatan Darat (AD).

Keterlibatan AS itu bisa diketahui ketika Kolonel Husein, Kolonel Simbolon dan sejumlah perwira menengah Angkatan Darat di Sumatera pada 15 Februari 1958 mengumumkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Bantuan bahkan diberikan AS sebelum PRRI itu diumumkan di Sumatera.

“CIA memberikan uang muka sebesar $50.000 kepada Kolonel Simbolon di Sumatra Utara pada awal Oktober 1957 dan mulai mengirim senjata pada bulan berikutnya,” tulis Roosa di halaman 255.

Pada tahun-tahun berikutnya, AS telah melatih sejumlah perwira tinggi AD termasuk jenderal Achmad Yani dan AH Nasution—dua jenderal yang diincar pada subuh 1 Oktober 1965. Jenderal Yani mencicipi latihan militer Amerika sebagai bentuk dukungan Paman Sam kepada Angkatan Darat. Untuk bantuan militer itu, AS tak tanggung-tanggung menggelontorkan dana.

“Dari 1958 sampai 1965 Amerika Serikat setiap tahun mengeluarkan sekitar $10 juta sampai $20 juta untuk bantuan militer Indonesia,” tulis Roosa mengutip laporan Duta Besar AS untuk Indonesia (1958-1965), Howard P. Jones.

Bantuan militer AS itu mencapai puncaknya pada 1965. Roosa menyebut AS memanfaatkan Gerakan 30 September 1965 untuk menumpas komunis di Indonesia. Kedutaan Besar AS di Jakarta memberikan jaminan kepada Nasution dan Soeharto untuk menyokong pembasmian PKI.

Menurut Roosa, Duta Besar AS di Jakarta, Marshal Green mengirim, telegram ke Washington pada 5 Oktober yang berisi “menyatakan dengan terus terang kepada tokoh-tokoh kunci dalam Angkatan Darat seperti Nasution dan Suharto tentang keinginan kita [AS] untuk membantu mereka sejauh kita bisa.”

Departemen Luar Negeri AS menyetujui usulan Green, tapi memberikan syarat “jenderal-jenderal Angkatan Darat itu harus sudah benar-benar percaya bahwa mereka bisa bersandar kepada Amerika Serikat,“ demikian Roosa menjelaskan di halaman 274.

Melengkapi Puzzle Tragedi 1965 yang Hilang

Namun Sejarawan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Baskara T Wardaya, yang pernah melakukan penelitian langsung dokumen-dokumen AS, mengakui tidak mudah untuk menuding AS sebagai satu-satunya dalang Peristiwa 1965.

“Tidak mudah menemukan the smoking gun keterlibatan Amerika dalam peristiwa 1965,” kata Baskara, di Yogyakarta, Rabu (8/3/2017).

Baskara menilai persoalan peristiwa 1965 tidak bisa dilihat secara hitam putih. Peristiwa itu kompleks karena banyak aktor yang terlibat dan punya kepentingan. “Sampai-sampai Amerika pun bingung dengan model ‘kudeta’ di Indonesia,” ujar Baskara.

Menurut Baskara cara pandang yang tidak hitam-putih ini juga berlaku dalam melihat peranan Amerika dalam peristiwa 1965. Amerika tidak hanya menunggangi sebuah konflik politik, tapi mereka juga turut menggerakkan sebuah dinamika politik Indonesia. Di sisi lain mereka bingung dengan ulah para aktor politik di Indonesia.

“Artinya Amerika tidak se-dominan seperti yang kita bayangkan selama ini,” kata Baskara.

Baskara menjelaskan, dibukanya dokumen-dokumen tersebut, setidaknya akan bisa menjelaskan beberapa bagian yang masih samar dari Peristiwa 1965. Termasuk menjelaskan seberapa dalam keterlibatan Amerika dalam rentetan tragedi yang dipicu peristiwa 1 Oktober 1965 itu.

“Saya kira dokumen-dokumen itu penting untuk melihat lagi hal-hal yang selama ini dinilai dari sisi common sense,” ujar Baskara.

Alex Daverede dari Pusat Deklasifikasi Nasional AS, yang melakukan review atas dokumen-dokumen keterlibatan AS di Indonesia, mengatakan bahwa akan ada perspektif baru yang akan muncul setelah dokumen selesai diklasifikasi. Ia mengakui dokumen itu bisa dimanfaatkan para peneliti untuk menyusun bagian puzzle sejarah yang hilang selama ini.

“Saya pikir Anda akan mendapatkan beberapa wawasan tentang perspektif AS terhadap Gerakan 30 September [pembunuhan enam jenderal Indonesia yang memicu kampanye pembunuhan massal]. Anda juga akan mendapatkan beberapa penelitian tentang Sukarno dan para tokoh di sekelilingnya. Anda juga akan melihat perspektif Kedutaan Besar AS pada transisi mengambang dari Sukarno ke Soeharto kesengsaraan ekonomi Indonesia pada 1965-1966 dan upaya-upaya untuk mendapatkan makanan dari sebuah negara yang bangkrut,” kata Daverede sedikit membocorkan dokumen-dokumen tersebut.

Sementara itu, aktivis HAM Haris Azhar mendesak AS membuka dokumen dan menyebut segera rampungnya deklasifikasi itu sebagai kabar “bagus” . Ia menilai dengan dibukanya dokumen itu menunjukkan kebutuhan untuk segera menyelesaikan persoalan-persoalan pelanggaran HAM berat menjadi semakin penting.

Namun Haris mewanti-wanti, sebagai bangsa, Indonesia tak perlu panik karena hal itu demi kemajuan di masa depan. “Kita bisa menemukan banyak pelajaran dari dokumen-dokumen tersebut,” kata Haris, yang belum lama ini baru melepaskan jabatannya sebagai koordinator KontraS, kepada Tirto, Selasa kemarin.

Haris menilai ketika seluruh dokumen itu dibuka, bakal menarik publik Indonesia. Informasi-informasi tersebut pasti akan menyebut nama dan keterangan tindakan para tokoh yang disebut di dalam dokumen.

Dalam  konteks perpolitikan sekarang pun tetap menarik karena seolah bakal ada nuansa politis. “Dugaan saya, bakal dibangun sentimen anti-US nantinya, anti-asing,” ujar Haris.

(agu/zen)
Sumber: Tirto.Id

This post is also available in: English