Konferensi pers belum lagi dimulai ketika belasan “mahasiswa” menggelar aksi di depan regol gerbang Komnas HAM di jalan Latuharhary (18/3) siang itu. Udara Jakarta yang gerah dibisingkan oleh teriakan dua “mahasiswa” yang tak disebut dari kampus mana dan berorasi dengan pengeras Toa bergantian. Keduanya selalu menuding-nuding ke udara dengan jari telunjuknya.

Beberapa lainnya berjajar di sisi picik-up sambil kaku memegangi poster dari kertas biru manila Jepang dengan berbagai tulisan spidol yang menyuratkan segala slogan anti PKI. Sedangkan materi orasinya tak lain adalah pengulangan bernada hasut yang selalu meretorika tudingan kebangkitan PKI pada agenda-agenda bertema penyelesaian Tragedi 65 Indonesia.

“Komnas HAM telah jadi markas PKI baru”, tuduh orator dari atas mobil pick-up berplakat Suara Rakyat di luar pagar.

“Dan polisi mendiamkan saja”, sambungnya lantang. Kesannya mirip dengan tudingan dalam ceramah video Alfian Tandjung saat mengintrodusir ada rapat kader PKI tiap malam-malam di istana negara. Tentu, semua tahu bahwa itu semua fitnah murah belaka.

Namun siang itu satuan polisi dari Polsek Menteng memang bersiaga dan menjaga, juga di hari sebelumnya; saat disiarkan secara live-streaming acara FGD bertema keadilan HAM dari Semarang. Satuan polisi ini pun tak terkesan tengah melindungi rapat PKI, partai yang memang telah mati dibasmi sejak Gestok ‘65 melalui suatu operasi militeristik RPKAD besar-besaran tanpa prosedur hukum dan melampaui batas-batas martabat kemanusiaan.

Akhirnya, acara konferensi pers Pengungkapan Kebenaran menuju Keadilan bagi Penyintas Peristiwa 65 yang semula akan digelar di serambi Asmara Nababan, namun karena kebisingan aksi mahasiswa Toa itu maka panitia IPT 65 memboyong forum ke ruang rapat Komnas Perempuan yang memang bersebelahan akses dengan Komnas HAM.

 

Komisioner Komnas HAM Temui Purnawirawan AD

Secara diam-diam 2 komisioner Komnas HAM, Roichatul Aswidah disusul Nurkholis tengah menemui Ketua Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) Kiki Syahnakri di kantornya. Mantan Jenderal AD ini semula mengabari awak media terkait pertemuannya dengan komisioner Komnas HAM. Namun pasca kehadiran 2 komisioner, pertemuan itu berubah seting menjadi tertutup dan tak bisa diliput. Hanya ada segelintir awak media yang tetap bertahan dan menunggui di luar ruang.

Tak jelas rahasia bagaimana pembahasan kedua pihak di ruang tertutup. Namun seorang awak media yang menunggu menanyakan pada Nurkholis paska pertemuan, sebelum kemudian meminta Kiki Syahnakri memberikan keterangan. Salah satunya mengenai upaya pengungkapan kebenaran dalam penyelesaian dugaan kasus kejahatan HAM berat 1965.

“Kita fokus diskusi di bagaimana menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, terutama kasus 65”, kata Nurkholis seusai pertemuan itu.

Nurkholis mensitir masukan PPAD yang memungkinkan ditempuhnya upaya non-yudiasial sambil menambahkan bahwa pertemuan pertama ini merupakan pendekatan awal yang diinisiasi secara resmi oleh Komas HAM; dimungkinkan akan ada pertemuan lanjutan.

“Kita akan ketemu Pepabri minggu depan”, sambung komisioner Roichatul Aswidah menimpali.

Video pasca pertemuan Komisioner Komnas Ham dan PPAD dapat diakses [Disini]

 

Kata Kiki Sulit Pilihan Apapun  

Berbeda dengan 2 komisioner yang tergesa berlalu, Letjen (Purn) Kiki Syahnakri terkesan lebih menghendaki wawancara media ini. Pihaknya memang menginformasikan melalui pesan medsos kepada awak media. Ketua pengurus PPAD ini menyampaikan 4 pokok sikap yang jadi dasar masukan buat Komnas HAM bagi penyelesaian “rekonsiliasi alamiah” versi kelompok purnawirawan yang dikonotasikan sebagai mewakili sikap prajurit AD.

“Ini yang minta ketemu Komnas HAM dalam konteks penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu”, kata Kiki Syahnakri.

“Fokusnya ke peristiwa G30S PKI 65”, sambungnya dengan menyebut secara terang G30S/PKI.

Menurut Kiki, ada 4 sikap PPAD yang dikemukakan berikut ini:

  1. Bahwa peristiwa 65 itu adalah pemberontakan PKI sebagai kelanjutan dari pemberontakan PKI Madiun (Peristiwa 1948_Red) sebelumnya;
  2. Bahwa karena itu pemberontakan PKI maka PKI dibubarkan dan menurut TAP MPR XXV/1966 tidak boleh bangkit kembali, maka itu merupakan hukum resmi. Maka pemerintah harus konsisten pelarangan pada PKI;
  3. Bahwa ada upaya-upaya bangkit kembali, ada upaya-upaya memutar-balik fakta, ini seyogyanya, seharusnya dilarang;
  4. Kita (PPAD_Red) juga ingin penyelesaian, selesai dan menatap ke depan demi kepentingan bangsa dan negara ini;

Dikonfirmasi terhadap menguatnya opsi jalan yudisial bagi penyelesaian kasus 1965 ini, Kiki berpendapat bahwa jalan yudisial justru akan menimbulkan luka lama.

“Bahkan bukan tidak mungkin akan menimbulkan pertumpahan darah baru”, dalihnya bertendensi miris. Masih menurut pandangan mantan militer era Soeharto ini, terhadap upaya non-yudisial pun akan sulit prosesnya dan membutuhkan waktu panjang, bisa-bisa buntu juga. Entah siapa yang membuntukannya.

“Harus ada konsensus nasional dulu”, kata Kiki.

Soal substansi pengungkapan kebenaran, pihaknya sepakat dengan catatan bahwa kekerasan PKI juga diungkap, terutama, dan ironinya Kiki menyinggung kasus yang konteks dan masa serta realitasnya jauh berbeda; yakni peristiwa Madiun, Kanigoro dan Bandar Betsy.

Tak ada yang menyinggung bahwa kasus Madiun 1948 telah menemukan penyelesaian terbaik dan melalui Konsensus Nasional yang menyepakati masing-masing pihak tidak saling menggugat di kemudian hari. Padahal untuk kasus Madiun, sebagaimana keprihatinan Jenderal Besar Soedirman sendiri katakan; peristiwa Madiun itu, disamping adanya propaganda tentara, bukan lah pemberontakan tetapi pertarungan terbuka antar laskar wilayah. Dan implikasi kehancuran yang diterima “kaum kiri” waktu itu jauh lebih banyak yang terbunuh oleh militer (Aziz, 2014)

Namun Kiki tetap pada keyakinannya bahwa G30S itu pemberontakan PKI dan, rupanya, ini pula yang diteriakkan segelintir “mahasiswa” yang hari itu menggelar demonstrasi di muka Komnas HAM dan Komnas Perempuan Indonesia.

Diantara peserta acara Diseminasi dan Edukasi IPT ’65, ada pula yang dahulunya berasal dari elemen Partindo Jawa Barat. Saat dikonfirmasi mengenai aksi “mahasiswa” ini hanya berkomentar pendek bahwa itu semua doktrin militeristik Orba Soeharto.

Video dapat dilihat [Disini]

 

Diseminasi Hasil Sidang IPT 1965 

Berseberangan dengan pandangan militeristik di atas, para aktivis HAM yang telah sukses mendorong digelarnya sidang Mahkamah Rakyat Internasional (International People’s Tribunal) 1965 di Den Haag, 10-13 November 2015 lalu; kini gencar melakukan sosialisasi hasil-hasil putusan akhir IPT 65 di berbagai kota Indonesia. Putusan sidang IPT ‘65 Den Haag yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Zak Yacoob pada Juni 2016 langsung dari Capetown, South Africa; ini dinilai penting untuk menyiasati kebuntuan penyelesaian kasus kejahatan HAM Indonesia.

Urgensi lainnya dari putusan hukum yang secara moral sejatinya mengikat ini, sangat penting untuk pembelajaran sejarah dan pelurusannya agar tak melulu Orba-Minded. Belakangan, putusan IPT 65 ini makin dilengkapi dengan fakta dari temuan-temuan baru keberadaan kuburan massal korban yang terserak sebagai jejak kejahatan kemanusiaan Orba pada tragedi 1965-1966 dan masa sesudahnya.

“Setelah pembacaan putusan IPT, kami membangun komunikasi yang intens dengan Komnas HAM”, cerita Harry Wibowo. IPT’65 mendesak Komnas HAM agar mengambil langkah-langkah untuk melakukan proteksi menyeluruh terhadap temuan-temuan kuburan massal itu. Dan yang jauh lebih ditunggu dari Komnas HAM adalah langkah terobosan signifikan menyiasati kebuntuan penyelesaian kasus kejahatan HAM berat. Terlebih karena sebentar lagi masa bakti komisioner ini akan berakhir. Ekspektasi korban pada kinerja lembaga ini memang besar, menyakitkan jika tak direspons maksimal.

Para aktivis IPT ’65 ini juga tengah mempersiapkan Kongres pertamanya di Indonesia. Meyongsong itu, serangkaian acara pun digelar lah di serambi Asmara Nababan yang secara simbolik merupakan Occupied by Victims sekaligus desakan bagi Komnas HAM agar berani melakukan terobosan dan langkah signifikan untuk menjebol kebuntuan sejak selesai penyelidikan pro-justicia 2012. Sementara hasil penyelidikan institusi ini telah jelas-jelas merekomendasikan dugaan kuat terjadinya pelanggaran HAM berat pada tahun 1965-1966.

Masalahnya, tindak lanjutnya yang nihil. Pun tak ada penyelidikan lanjutan paska putusan Sidang Mahkamah Rakyat Internasional dan temuan-temuan faktual baru berupa kuburan massal yang terserak di berbagai pelosok negeri. Tak ada pula pembentukan komisi kepresidenan maupun pengadilan adhoc untuk itu…

[ap]

 

 

This post is also available in: English