Mewartakan: Gregorius Soeharsojo Goenito dengan lukisannya mengenai Pulau Buru.

Mewartakan: Gregorius Soeharsojo Goenito dengan lukisannya mengenai Pulau Buru.

sumber: hidupkatolik.com

Kanvas-kanvas di kediaman Gregorius Soeharsojo Goenito mengisahkan cerita sekitar setengah abad lalu di Pulau Buru, Maluku. Sebuah pulau yang tak mungkin hilang dari ingatan Greg, sapaannya.

Di kanvas-kanvas itu, Greg melukiskan kedatangan kapal yang memuat 500 tahanan politik (tapol) G30S/PKI. Ia juga melukis tentang gereja dan masjid yang didirikan oleh para pemuka agama, upacara bendera pada pagi hari, kegiatan memanen hasil bercocok tanam, pelayanan Gereja Katolik di Buru dan lukisan lain yang menggambarkan kehidupan Pulau Buru kala itu.

Greg merupakan salah seorang yang dianggap terlibat kegiatan PKI dan akhirnya ditahan di Pulau Buru. Selama di sana, ia merekam semua kejadian di sekitarnya melalui sketsa. “Bagaimanapun keadaan di sana lebih sunyi dan indah. Hingga kini, suasana di Pulau Buru masih terbawa. Pendekatan dengan Tuhan akan terasa ketika berada di sana. Semua gambaran di Pulau Buru, saya lukiskan,” ujar Greg.

Diasingkan
Greg adalah seorang pelukis. Ia belajar melukis sejak duduk di Sekolah Rakjat (SR). Selain seni lukis, ia tertarik dengan seni musik dan drama. Tahun 1963, ia bergabung dengan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) di Surabaya. Tahun 1966, ia ditahan di Koblen, Surabaya karena dianggap terlibat PKI. Ia kemudian dipindahkan ke Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Pada 16 Agustus 1969, ia dibawa ke Buru. Ada 500 orang dalam satu kapal yang waktu itu diberangkatkan ke Pulau Buru. “Tidak ada putusan peradilan apapun,” kata laki-laki kelahiran Madiun, 10 Februari 1936 ini.

Di Pulau Buru, Greg dan ribuan tapol lainnya tinggal di unit-unit. Ada sekitar 20 unit, masing-masing dihuni sekitar 500 orang. “Saya tinggal di unit 3, satu unit dengan Pak Pramoedya (Pramoedya Ananta Toer-Red).”

Para tapol melaksanakan proyekInstalasi Rehabilitasi Buru (Inrehab), di bawah wewenang Badan Pelaksanaan Resettlement Buru (Bapreru). “Istilahnya proyek kemanusiaan. Orang yang dianggap tidak Pancasialis atau kurang mencintai Pancasila dibina agar mencintai Pancasila. Karena itu yang pertama dilakukan pembinaan fisik, yaitu mengolah tanah untuk bisa berdikari, bisa menjadi sawah, dan swasembada pangan,” ujar Greg. Mereka membabat hutan untuk dijadikan ladang dan sawah, membuat jalan, rumah, bercocok tanam dll. Setahun berselang, pembinaan mental dilakukan dengan mendirikan rumahrumah ibadah. “Mulai dari Jawa sudah ada pembinaan mental. Pelajaran agama sudah dijalankan,” kata Greg.

Di celah aktivitasnya, Greg memanfaatkan waktu istirahat malam untuk membuat sketsa dengan pensil atau bolpoin. Ia tak mau berhenti melukis. Setelah lima tahun di Pulau Buru, ia baru bisa membeli alat-alat tulis untuk melukis sketsa. Ia membawa hasil panen bercocok tanam kepada komunitas suku Bugis di sana dan menukarnya dengan alat tulis dan buku gambar.

Kehadiran dan pelayanan pastoral Gereja Katolik pun turut menguatkan Greg. “Meski tidak setiap Minggu Misa, ada Bruder, Romo yang datang. Misa biasanya diadakan setiap dua bulan sekali. Greg pun melukis sketsa tentang kedatangan misionaris dan Gereja yang ada di Pulau Buru.

Dalam kegiatan Gereja di unit, Greg berusaha ambil bagian, misalnya di paduan suara. Ia juga terlibat dalam pembangunan gereja di unit-unit. “Di sana, saya menjadi lebih dekat dengan Tuhan.”

Tahun 1978, Greg kembali ke Jawa. Ia tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur dan melanjutkan hidup. Cap sebagai tapol yang terlibat PKI seolah melekat kepada Greg dan rekan-rekannya. Ini membuat Greg mengalami kesulitan untuk mencari pekerjaan. Pun dengan anak-anaknya. Namun umat Paroki St Yusup Karangpilang Surabaya ini tak patah arang. Ia bekerja seadanya untuk menyambung hidup dan menghidupi keluarga. Ia tetap melukis. Gambar-gambar sketsa di Pulau Buru, ia tuangkan ke dalam lukisan. Melalui lukisan-lukisan itu, Greg ingin mengenang Pulau Buru, mengenang satu fragmen kisah hidupnya.

Menjadi Katekis
Kisah ditahan dan diasingkan ke Pulau Buru juga dialami Joseph Slamet Riadie. Medio 1966, ia menjadi kontroler di sebuah perusahaan negara di Malang, Jawa Timur. Suatu hari, tiba-tiba ia dijemput paksa di rumah dinasnya dan ditahan di Komando Militer Kota (KMK), sekarang Komando Daerah Militer (Kodim). Ia dianggap terlibat PKI. Ia diberhentikan dari pekerjaan dan semua haknya hilang, termasuk hak pensiun. Lalu ia ditahan di penjara Salemba, Jakarta.

Tak lama berselang, ia dibawa ke tahanan di Pulau Nusakambangan. Sekitar tiga hari di Nusakambangan, ia dipindahkan ke tempat lain. “Waktu itu, saya tidak tahu dipindah kemana. Ternyata saya dibuang ke Pulau Buru. Sebagai tapol, saya kehilangan semua hak saya, hak sosial, juga politik,” ujar lulusan Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial Politik (FHSP), Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini.

Seperti tapol lain, saat itu Joseph harus membabat hutan untuk dijadikan ladang dan sawah. “Keadaan Pulau Buru sangat tandus saat itu. Sekarang menjadi persawahan hijau. Satu tahun pertama, kami makan singkong dan tikus yang berhasil ditangkap. Tikus itu kami bakar, lalu dimakan,” ujarnya.

Setahun di Pulau Buru, Joseph mendapat tugas menjadi petugas Urusan Agama (Uragam) Katolik. “Ini disebut juga diakon awam. Rekomendasinya dari Uskup Amboina Mgr Andreas P. C. Sol MSC. Masing-masing agama ada guru agamanya.”

Mgr Sol juga menunjuk Joseph untuk mengikuti bimbingan sebagai katekis di Paroki Bintang Laut Namlea selama tiga bulan. Setelah itu, ia diminta memberi pelajaran agama kepada penduduk setempat dengan bimbingan dua bruder Yesuit dan Romo Werner Ruffing SJ.

Selain itu, Joseph pun diminta memberi pelajaran agama kepada sesama tapol di bawah pengawasan Markas Komando (Mako). Ia memberikan renungan saat ibadat sabda dan memberikan komuni. Renungan itu harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari pimpinan Komandan Militer. Ia bahkan pernah diminta memberi renungan di Gereja Bintang Laut Namlea.

“Berkat bimbingan dua bruder Yesuit dan Mgr Sol, saya bisa menjadi katekis. Bruder, Bapak Uskup memberikan penguatan kepada kami,” ujar laki-laki kelahiran Probolinggo, Jawa Timur, 19 Agustus 1932 ini.

Tahun 1970, Joseph dibebaskan. Atas rekomendasi Mgr Sol kepada Mgr Leo Soekoto, Uskup Agung Jakarta masa itu, Joseph menjadi katekis di Paroki St Antonius Padua Bidaracina, Jakarta Timur. Waktu itu, istri dan anak-anaknya tinggal di Malang. Tahun 1979, sang istri meninggal karena sakit dan terguncang hatinya sejak Joseph dipenjara dan diasingkan di Pulau Buru.

Bebas dari Buru, bukan berarti permasalahan selesai. Diskriminasi diterima Joseph dengan keterangan “ET” atau Eks Tapol di Kartu Tanda Penduduk (KTP)- nya. Namun ia berusaha untuk menapaki kehidupannya kembali. “Semua yang saya alami tak sebanding dengan penderitaan Yesus,” ujar Joseph yang kini menjadi umat Paroki St Barnabas Pamulang ini.

This post is also available in: English