Pada 3 Oktober 2024, koalisi masyarakat sipil mengadakan siaran pers untuk merawat ingatan dan menuntut tanggung jawab negara atas terjadinya pembinasaan manusia 1965-1966.
Siaran pers ini dihadiri oleh Bedjo Untung (Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966), Soe Tjen Marching, Harry Wibowo (Koordinator Perhimpunan International People’s Tribunal 1965), Dimas Bagus Arya (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), dan Arif Maulana (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia).
Bedjo Untung menggarisbawahi bahwa korban dalam tragedi pembinasaan manusia 1965-1966 begitu banyak dan meluas di seluruh Indonesia. “Bahkan sebetulnya bukan hanya orang yang mendukung Partai Komunis Indonesia atau Soekarno,” ujarnya. Para korban pun sampai saat ini mengalami stigma dan diskriminasi akibat kejahatan tersebut. Narasi bahwa Partai Komunis Indonesia sebagai dalang dalam pembunuhan 7 jenderal hanyalah dalih untuk melakukan perebutan kekuasaan dan melakukan pembunuhan massal.
Soe Tjen Marching menyampaikan bahwa janji Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan kasus 1965-1966 hanyalah gombal. Parahnya, kini para penyelenggara negara melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat berupaya untuk membersihkan nama Soeharto. “Orang yang terlibat genosida dibersihkan namanya, sementara korban dibiarkan. MPR yang digaji oleh rakyat artinya berkhianat kepada rakyat,” tuturnya.
Harry Wibowo menyoroti fenomena bola ping pong dalam penyelesaian hukum kasus ini, yaitu berupa bolak-balik berkas antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung yang tidak pernah usai. Ia menjelaskan mengenai metode penyelidikan pro-justitia yang dilakukan Komnas HAM hanya mengacu pada satu kasus utama, yaitu kamp-kamp kerja paksa di Pulau Buru dan sampling dari kasus di luar Pulau Jawa seperti di Moncong Lowe dan Denpasar. “Ada temuan-temuan kuburan massal. Setidaknya, data dari YPKP65 pada sekitar 2016-2017, ada tidak kurang dari 200 titik kuburan massal,” tutur Harry. Ia menyampaikan bahwa dari berkas berita acara penyelidikan Komnas HAM, tidak ada satupun testimoni dari pelaku. Padahal pada 2013 dan 2014, Joshua Oppenheimer merilis dua film dokumenter yang penuh dengan testimoni dari pelaku.
Dimas Bagus Arya menyoroti bahwa Panel Hakim dari IPT1965 menyimpulkan kejahatan 1965-1966 sebagai kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. “Dua kejahatan ini tergolong sebagai hostis humani generis atau kejahatan seluruh umat manusia,” tekan Dimas. Meski demikian, Negara tidak pernah melakukan komitmen serius dalam menuntaskan penyelesaiaan kasus ini. Presiden Abdurrahman Wahid sendiri pernah menyampaikan permintaan maafnya, namun Negara tidak menindaklanjuti hal tersebut melalui pengungkapan kebenaran dan pengadilan sampai sekarang.
Arif Maulana menyoroti bagaimana Negara tidak pernah melakukan pengungkapan kebenaran mengenai peristiwa 1965-1966 namun malah menutup-nutupi dan memanipulasi kebenaran. Tidak hanya korban, masyarakat secara luas juga berhak untuk mengetahui kebenaran dari peristiwa 1965-1966. Pengungkapan kebenaran ini penting untuk memberikan hak korban atas keadilan. “Tanpa penyelesaian kasus peristiwa 1965-1966, yang begitu mengerikan dampaknya, tidak ada jaminan itu tidak akan terulang kembali,” tutur Arif.
Rekaman siaran pers dapat disaksikan melalui:
Rilis pers selengkapnya: https://kontras.org/artikel/negara-harus-menunaikan-kewajibannya-untuk-mewujudkan-hak-hak-korbanpenyintas-pembinasaan-manusia-1965-1966
Dokumen Selengkapnya: Siaran Pers 3 Oktober 2024
Jakarta, 4 Oktober 2024
1. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
2. Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP65)
3. International People’s Tribunal (IPT 1965)
4. Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM) Sulawesi Tengah
5. Watch65
6. Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)
7. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
This post is also available in: English