John Roosa*

 

Lima puluh tahun penyangkalan , penghindaran dan kesenyapan. Dari sekian banyak genosida abad ke dua puluh, genosida yang terjadi di Indonesia mungkin yang paling sedikit dipahami. Peristiwa ini tetap terbungkus dalam upaya pengkaburan dan mistifikasi yg disengaja, sedemikian rupa sehingga siapa yang menjadi pelaku dan siapa yang menjadi korban telah dicampur adukkan dalam ingatan publik maupun dalam literatur ilmiah. Sejarawan mempunyai pemahaman yang lebih jelas dan pendokumentasian yang lebih luas tentang genosida yang terjadi seabad yang lalu – tentang Herero (1904-07) tentang orang Armenia (1915-1916) ketimbang tentang genosida yang terjadi pada masa yang lebih dekat.

Orang tak bisa tidak hanya akan meringis terhadap ironi tuntutan yang muncul di Indonesia masa kini untuk melupakan peristiwa pembunuhan massal atas nama ketentraman sosial. Kapankah publik Indonesia pernah bisa memperoleh pemahaman tentang peristiwa ini? Kita perlu mengetahui dulu apa yang harus dilupakan sebelum bisa melupakannya. Juga tidak ada gunanya untuk melakukan rekonsiliasi sebelum para warga mengakui dan memahami peristiwa kejahatan yang seharusnya mereka rekonsiliasikan.

national history of indonesia booksRejim Suharto tidak pernah memperbolehkan diskusi terbuka tentang pembunuhan massal ini dan tidak pernah mengajarkan mahasiswa dasar-dasar dari apa yang (sebenarnya) terjadi. Dalam Sejarah Nasional Indonesia yang terdiri dari 6 volume hanya ada satu kalimat yang menyebut soal pembunuhan: ‘Hanya di Jawa Timur dan Bali terjadi kekacauan penculikan dan pembunuhan yang kemudian bisa dikendalikan kembali dengan sukses.’ Kalimat inipun yang kabur rumusannya dan secara faktual tidak tepat, tak sempat masuk dalam buku teks sekolah yang samasekali diam tentang pembunuhan massal ini.

Daripada menanamkan pada masyarakat skenario versi pemerintah tentang genosida tersebut, pemerintah Suharto memilih untuk diam, memperlakukannya sebagai peristiwa yang seolah tak pernah terjadi, dan tak patut dipertimbangkan. Ketika suatu saat topik ini muncul, para pejabat hanya perlu melakukan improvisasi. Sehingga, berbagai inkonsistensi muncul dalam pernyataan-pernyataan mereka.

Komisi Pencarian Fakta pada bulan Januari 1966 mengirim laporan ke presiden Sukarno dan menyimpulkan bahwa kelompok sipil yang anti komunis telah membunuh 78,500 orang secara spontan atas inisiatif sendiri, diluar tanggung jawab tentara. Komisi ini yang tugasnya menyembunyikan fakta dan bukan melaporkannya, menyalahkan masyarakat Indonesia karena terlalu emosional dan tak bisa mengendalikan kemarahan mereka terhadap PKI. Baik Sukarno maupun Suharto tak pernah membuat laporan ini terbuka untuk publik. Kaum propagandis rejim tersebut yaitu Notosusanto dan Saleh, memberi pernyataan yang serupa, memaparkan pembunuhan terhadap anggota PKI yg tak dirinci, sebagai hasil kegiatan kaum preman yang mencari keadilan. Sebuah pernyataan yang ganjil oleh Suharto pada tahun 1971 mencerminkan ide ini: “Ribuan korban djatuh di daerah-daerah karena rakjat bertindak sendiri-sendiri”.

Sementara para pelaku awalnya menceritakan pembunuhan2 sebagai hasil dari balas dendam rakyat, suatu ketika narasi utama bergeser ke cerita yang intinya adalah bela-diri. Tuturan standar yang kemudian muncul adalah saat itu adalah ‘bunuh atau dibunuh’. Sulit untuk menyatukan garis cerita tentang balas dendam rakyat dan garis cerita bela diri. Versi pertama, pembunuh adalah aggressor yang kemarahannya yang bisa dipahami sangat disayangkan tapi dapat dibenarkan . Versi kedua adalah mereka takut dan khawatir, sehingga membunuh adalah hanya untuk menyelamatkan diri sendiri.

taken by rpkad, credit to merdeka comDalam hampir semua cerita dari para pelaku, dari tahun 1965 sampai sekarang, bisa ditemukan penghindaran hati-hati tentang pembunuhan secara rinci yang telah menghabiskan nyawa ratusan ribu orang. Pola umum yang ditemukan di mana mana adalah bahwa para tertuduh ditangkap dulu kemudian digiring, dengan jari atau pergelangan tangan terikat di punggung , ke tempat yang terisolasi jauh dari pandangan khalayak ramai, seperti lapangan, hutan, pinggiran sungai, kuburan atau pantai. Para tawanan ditembak, ditusuk dengan pisau atau dicekik dalam pembunuhan-pembunuhan berdarah dingin. Tubuh mereka kemudian dibuang di kuburan massal, di gua atau disungai. Tentara, melalui komando wilayah mereka, dan kadang diperkuat dengan pasukan RPKAD, mengorganisir pembunuhan dan merekrut kalangan sipil yang anti-komunis untuk menjalankan sebagian besar pekerjaan kotor mereka. Bukti dari berbagai propinsi, dari Aceh sampai ke Flores menegaskan adanya pola pembunuhan ini.

Kebanyakan peristiwa pembunuhan yang terjadi adalah proses penghilangan: para tahanan menghilang, tanpa keterangan dari tentara bagi para anggota keluarga tentang apa yang terjadi. Tentara tidak mengakui bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut. Berapa banyak keluarga yang terus bertanya tanya selama bertahun-tahun apakah orang-orang yang mereka cintai masih hidup atau tidak? Ketika meneliti peristiwa 1965-66 tidak ada yang lebih menyedihkan ketimbang mendengarkan cerita-cerita para ibu yang bertahun-tahun pergi dari satu penjara ke penjara lain mencari suami mereka yang hilang.

anwar congostilah ‘pembunuhan’ adalah suatu eufemisme tentang penghilangan. Kenyataan bahwa para pelaku telah tidak terbuka dan berterus terang adalah suatu indikasi dari kesadaran mereka tentang kebiadaban dari tindakan mereka. Film The Act of Killing seharusnya tidak diartikan sebagai bukti dari kejujuran yang dicampuri rasa tak peduli para pelaku; film itu justru menunjukkan sisi yang berlawanan: Anwar Congo secara menyolok mendobrak tabu dlm berbicara tentang pembunuhan, mengabaikan nasehat para sejawatnya, dan secara spektakuler gagal menemukan narasi yang bisa membenarkan pembunuhan2 tersebut.

Sebagai tanggapan terhadap film tersebut, majalah Tempo melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan sejak berdirinya pada tahun 1971: ia melakukan interview terhadap pelaku sipil di seputar nusantara, orang-orang seperti Anwar Congo, dan menanyakan mereka untuk menggambarkan secara rinci pembunuhan2 berdarah dingin tersebut. Dalam membaca cerita mereka, kita bisa melihat ketidak benaran dari klaim ‘balas dendam rakyat’ atau ‘bela diri’.

benturan nu pki booksReaksi dari pihak penguasa sudah bisa diramalkan. Seorang pejabat intel tingkat tinggi, As’ad Said Ali, yang berafiliasi dengan NU mengorganisir sekelompok penulis NU untuk menegaskan kembali penjelasan-penjelasan lama yang palsu. Buku mereka, Benturan NU-PKI 1948-1965 (terbit 2014) secara berhati-hati menghindar masuk ke detil pembunuhan massal dan malah menceritakan kembali tentang PKI yang ‘melakukan tindakan penyerangan’ dan NU yang bersikap ‘bela diri’.

Cerita ini mempunyai validitas yang sama seperti cerita Nazi tentang kaum Yahudi yang merupakan ancaman eksistensial bagi bangsa Jerman. Kenyataannya adalah bahwa anggota PKI amat pasif dalam periode awal Gerakan 30 September yang gagal tersebut. Gerakan itu tumbang dalam waktu 24 jam. Tidak ada aksi balasan dari partai dan pemimpin PKI dalam keadaan kacau balau. Hanya satu kelompok kecil dari para pemimpin utama mengetahui bahwa ada hubungan antara partai dengan gerakan tersebut. Apabila kaum anti komunis dari kalangan sipil seperti anggota NU mengira bahwa mereka terancam, mereka harus memperhitungkan kampanye propaganda tentara dan taktik perang psikologis yang bermaksud membuat orang berpikir bahwa partai tersebut betul-betul menjalankan taktik perang. Kepalsuan proganda tentara saat ini telah terdokumentasi dengan baik. Tapi banyak pelaku dan pendukung mereka saat ini menolak untuk melepaskan mitos yang telah membebaskan mereka dari rasa bersalah.

Perlu dicatat bahwa buku As’ad Said Ali tidak dengan sendirinya mewakili posisi resmi NU. Terbitan-terbitan sebelumnya yang melibatkan penulis yang sama dalam proyek ini, menekankan bahwa NU hanya mengikuti instruksi tentara. Apabila kita ingin memperoleh satu pelajaran dari cerita-cerita pelaku tersebut adalah: mereka sulit untuk mengikuti alur cerita yang konsisten; karena pada akhirnya, tugas utama dari cerita mereka adalah untuk mengalihkan perhatian dari kenyataan yang seram dari eksekusi para tahanan yang dilakukan secara pengecut di luar proses hukum. Cerita apapun, bagaimanapun anehnya, akan berlaku.

Saat ini, kita bisa melihat hasil dari 50 tahun taktik penghindaran dan narasi menyalahkan korban. Orang Indonesia yang lahir setelah 1965 hampir sama sekali tidak tahu apa-apa tentang pembunuhan 1965-1966, dan juga tentang kuburan-kuburan massal yang terdapat di desa-desa atau kota-kota mereka. Dengan ketidaktahun yang amat meluas, berlaku pula impunitas total. Para penjahat yang bertanggung jawab – Suharto dan klik perwira tentara – semuanya telah meninggal. Mereka bercokol di ajang kekuasaan cukup lama sehingga berhasil mengubah secara ajaib, suatu peristiwa penting yang tersebar, menjadi suatu bukan-peristiwa.

Tugas urgen sekarang, saya pikir, adalah untuk mengklarifikasi ke masyarakat Indonesia yang prihatin atas identitas nasional mereka dan ingin tahu tentang sejarah nasional mereka, apa yang terjadi. Setiap kuburan massa perlu diberi tanda. Cerita tentang pembunuhan oleh pelaku, saksi yang melihat pembunuhan tersebut, dan keluarga korban perlu dicatat. Lebih banyak arsip yang perlu dicari untuk didokumentasikan

Kita telah mendengar cukup alasan yang diberikan. Pembunuhan massal tidak bisa dimaafkan. Tidak ada sesuatupun yang bisa membenarkan penghilangan dan pembunuhan massal dari kaum sipil yang tak bersenjata.

“Only in East Java and Bali arose the chaos of abductions and killings, which were successfully brought under control again.”

“Hanya di daerah Jawa Timur dan Bali timbul kekacauan culik-menculik dan pembunuhan-pembunuhan, yang dalam waktu singkat berhasil ditertibkan kembali.”  (hal. 403-404)

__

John Rossa, Associate Professor, Department of History, University of British Columbia, Vancouver, Canada

This post is also available in: English