Oleh Saskia Wieringa
Pengantar
Ketika pada tanggal 1 Oktober 1965 enam orang jenderal dan seorang letnan diculik serta dibunuh, tak terbayang oleh seorangpun bahwa teror yang akan terjadi sebagai dampak peristiwa ini di kemudian hari ditanggung jutaan orang Indonesia, bahkan sebagai bangsa secara keseluruhan. Dalam usianya yang masih pendek, Republik muda ini harus menghadapi krisis yang begitu gawat. Presiden Sukarno memang berhasil menjaga persatuan. Menyusul kerusuhan regional tahun 1950an, beberapa partai politik dilarang dan beberapa tokoh dipenjara. Tetapi tahun 1965 adalah neraka yang benar-benar membara.
Zaman memang sudah lain, perekonomian porak poranda, dan ketegangan antara tentara dengan PKI, Partai Komunis Indonesia, makin menjadi-jadi. Tetapi tak seorangpun bisa meramalkan bahwa akan terjadi genosida, orang Indonesia membunuhi sesama orang Indonesia dengan korban sampai ratusan ribu orang. Tak lama setelah aksi kelompok G30S, yang dihentikan atas perintah Presiden Sukarno, Jenderal Soeharto turun tangan, dia menuduh PKI mengotaki dan melakukan pembunuhan itu. Ia mengumumkan bahwa PKI harus diganyang untuk “menyelamatkan bangsa”. Dalam langkah-langkah yang cekatan PKI dituduh atheis dan gila seks. Hal ini begitu membikin marah kalangan agama (baik Muslim maupun Kristen), sehingga mereka beramai-ramai membantai tetangga sendiri.
Pelecehan seks merupakan inti operasi ini. Perempuan-perempuan muda yang ada di sekitar Lubang Buaya, tempat para perwira militer itu dibunuh dan ditimbun, dituduh telah mementaskan tarian cabul, bahkan merayu, memotong kemaluan serta membunuh, termasuk mencungkil mata para perwira itu. Padahal sebenarnya mereka sedang mengikuti latihan sukarela dalam rangka kampanye ‘Ganjang Malaysia’ yang dilancarkan oleh Presiden Sukarno. Latihan seperti ini sudah pernah diikuti oleh ribuan sukarelawan lain. Sampai sekarang tidak diketahui siapa yang bisa dituding sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kebohongan tak masuk akal ini, bahwa ada perempuan Komunis bejad yang melacurkan diri serta memperkosa, memotong kemaluan dan merusak tubuh perwira militer ini begitu mereka ditembak mati oleh kelompok G30S. Yang jelas secara umum propaganda atas perilaku para perempuan itu dipercaya yang kemudian menggerakkan kalangan agama serta milisia kanan untuk melakukan pembunuhan massal.
Salah satu kisah yang sangat mendorong luapan emosi adalah kisah yang disebut pengakuan Djamilah1, seorang pemimpin Gerwani cabang Jakarta. Sebenarnya tokoh ini bernama Atikah, tetapi tatkala mendengar penangkapan massal para pemimpin organisasi onderbouw PKI, ia melarikan diri. Tak pernah tertangkap, sampai sekarang orang tak tahu lagi keberadaanya. Selama melarikan diri konon dia mengubah nama menjadi Djamilah. Kalangan militer kemudian memburu Djamilah. Tapi yang mereka jumpai adalah Djemilah, bukan Djamilah. Pada awal November 1965 empat koran yang berkaitan dengan tentara menerbitkan apa yang disebut ‘pengakuannya’. Kata-kata dalam empat cerita itu nyaris sama, yang berarti bahwa pernyataan itu telah terlebih dahulu dipersiapkan untuk kemudian dibagikan kepada pers. Berikut ini pertama-tama akan diturunkan apa yang disebut sebagai pengakuan pertamanya, dan kemudian kisah Djemilah seperti dituturkan oleh suami keduanya.
Kisah Djemilah diperkuat oleh beberapa perempuan yang pernah dipenjara bersamanya di Bukit Duri dan pernah mengenal dia. Awal 1980 saya mewawancarai Ibu Sudjinah, sekarang dia sudah tutup usia. Ibu Utati yang belakangan baru saya wawancarai, juga membenarkan kisah itu. R. Juki Ardi, penulis yang pernah disekap di Pulau Buru, menulis kisah Djemilah. Ardi kenal Haryanto, suami pertama Djemilah. Haryanto adalah pemimpin SOBSI, serikat buruh onderbouw PKI. Sebelum Haryanto dibunuh di Buru, Ardi berjanji begitu bebas dia akan mencari Djemilah. Mereka bertemu dan menikah, memperoleh dua anak dan bisa bertahan hidup dalam kemiskinan parah.
Djemilah bukanlah satu-satunya perempuan yang diciduk oleh tentara hanya karena namanya mirip dengan nama pemimpin Gerwani yang melarikan diri. Perempuan-perempuan lain yang sempat dikurung bersama Djemilah masih menuturkan dua kasus serupa, keduanya terjadi di Jawa Tengah. Djamilah pertama bunuh diri setelah diperkosa. Djamilah kedua akhirnya dibebaskan tapi lumpuh seumur hidup (Ardi, 2011: 101).
Rekaan tentara
Selain sekitar 60 0rang sukarelawan Pemuda Rakjat, beberapa orang anggota Gerwani juga ikut latihan supaya bisa ambil bagian dalam politik Konfrontasi melawan Malaysia yang waktu itu dikobarkan oleh Presiden Sukarno. Beberapa anggota Gerwani itu adalah Saina, Emy dan Atikah. Mereka melarikan diri begitu tahu ada kabar bohong yang disebarluaskan tentara menyusul penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan seorang letnan. Sebagai gantinya dua orang pelacur ditangkap yang memang bekerja di sekitar Lubang Buaya. Kebetulan mereka juga bernama Emy dan Saina. Mereka buta huruf dan tidak pernah tahu tentang Gerwani. Emy yang sebenarnya melarikan diri, sedangkan Saina kemudian tertangkap, tetapi dua orang lain yang juga ditangkap itu baru dibebaskan tahun 1978, bersama hampir semua tahanan politik lain yang, setelah disekap selama lebih dari 10 tahun, saat itu juga dibebaskan. Atikah melarikan diri dan mengubah namanya menjadi Djamilah. Dia tidak pernah tertangkap, tetapi di Jakarta ditangkap dua orang lain yang bernama Atikah dan Djemilah. Sebagai pengganti Gerwani mereka harus menanggung siksaan yang mengerikan, sedangkan dua orang pekerja seks dipaksa membubuhkan sidik jari pada cerita yang tidak bisa mereka baca. Djemilah menolak menandatangani cerita apapun, tetapi laporan tentang kegiatannya tetap terbit di koran-koran. “Cerita-cerita” “Djamilah” “Saina” dan “Emy” sangat membakar dan menimbulkan kesan bahwa pada dasarnya perempuan-perempuan komunis itu biadab, atheis dan bermoral bejad. Penyebarluasan berita bahwa mereka bukan manusia ini merupakan pembenaran bagi genosida serta kejahatan terhadap kemanusiaan yang kemudian terjadi secara massal di mana-mana.
Bahkan ketika Ibu Sudjinah, salah satu dari empat perempuan yang akhirnya diadili (bukan lantaran apa yang terjadi di Lubang Buaya), menunjukkan kesalahan ini pada tahun 1976, tidak diambil langkah apapun untuk memperbaiki kesalahan yuridis ini (Wieringa, 2002: 297-298). Kalangan tentara jelas tidak pernah mempercayai para perempuan yang sudah membuka dirinya di depan pengadilan.
Berita apa yang sebenarnya disebarluaskan oleh koran tentara? Empat artikel yang disebut di atas memuat cerita yang sama tentang ‘pengakuan jujur’ si ‘Djamilah’, sang ‘Srikandi Lobang Buaya’. Gadis muda berusia 15 tahun ini, begitu dilaporkan, sedang hamil tiga bulan ketika ditangkap, dan bersama suaminya mereka disebut anggota Pemuda Rakjat cabang Tanjung Priok.
Menurut koran-koran ini, pada tanggal 29 September 1965, Djamilah diajak oleh seorang pemimpin PKI untuk ikut latihan di Cilitan. “Pada hari itu dan keesokan harinya kami berlatih… dan pada sekitar jam tiga dinihari tanggal 1 Oktober kami dibangunkan. Kami diperintahkan untuk mengganyang Kabir (kapitalis birokrat) dan Nekolim (neo kolonialis dan neo imperialis). Sekitar 500 orang dikumpulkan, 100 di antara mereka adalah perempuan. Anggota Gerwani, termasuk Djamilah, diberi pisau kecil dan silet. Dari jauh terlihat seorang pria pendek gemuk masuk: dia masih mengenakan piyama. Tangannya diikat dengan kain merah, kain serupa juga dibalutkan pada matanya.
Pemimpin kami, Dan Ton, memerintahkan untuk memukuli pria ini, kemudian kami juga menusukkan pisau kecil pada kemaluannya. Orang pertama yang kami lihat memukul dan menusuk kemaluan pria ini adalah pemimpin Gerwani Tanjung Priok bernama S dan Ibu Sas. Kemudian teman-teman lain menyusul … setelah itu giliran kami untuk menyiksa orang itu … tapi dia tidak juga mati. Kemudian orang berseragam memerintahkan Gerwani untuk terus menyiksa. Para perempuan anggota Gerwani ini mengulang lagi tindakannya, menusuk-nusuk dan memotong-motong kemaluan dan tubuhnya sampai dia mati” (dikutip dari Wieringa, 2002: 306-307).
Versi Djemilah sendiri
Beberapa tahun sepeninggal istrinya, suami Djemilah menulis kisah hidup istrinya (Ardi, 2011). Pada usia 14 tahun, masih duduk di kelas dua SMP di Pacitan, Jawa Timur, dia dinikahkan dengan Haryanto, tetangganya. Itu terjadi pada awal 1965, dan Haryanto adalah pria tampan, paling sedikit menurut orang tua Djemilah. Maklum dia adalah pemuda berhasil, di Jakarta ia memimpin SOBSI, serikat buruh progresif. Dia dihormati baik di Jakarta, maupun di desa kelahirannya tempat dia mencari pasangan hidup. Tak lama setelah perkawinan mereka menempuh perjalanan berat ke Jakarta. Djemilah tak tahu apa-apa tentang Jakarta, juga tentang pekerjaan suaminya. Dia sering ditinggal sendirian untuk waktu yang lama. Pada bulan September suaminya semakin jarang pulang, dan jelas makin tampak gugup. Akhir September, Djemilah hamil tiga bulan. Suaminya pergi malam hari menjelang tanggal 1 Oktober, dan ketika pulang ia membakari banyak dokumen serta memberitahu istrinya bahwa dia akan pergi untuk beberapa lama. Melek politik, Haryanto sadar bahwa dirinya dalam bahaya. Tak lama kemudian ketika terjadi penangkapan massal, dia kembali untuk memberitahu istrinya supaya dia kembali ke desa kelahiran, tanpa penjelasan apapun. Ia meninggalkan uang untuk perjalanan pulang itu. Menghantar istri ke terminal bis, dia tampak makin khawatir dan segera menghilang, padahal belum sampai terminal. Djemilah tak pernah berjumpa suaminya lagi. Sang suami tertangkap, dipenjara dan akhirnya dikirim ke Pulau Buru untuk kemudian dibunuh.
Djemilah sudah duduk dalam bis mini yang membawanya ke terminal, tatkala dia ditangkap oleh tentara. Ditanya siapa namanya, dia menjawab Djemilah. Mereka yang mendapat perintah untuk menangkap seorang perempuan bernama Djamilah, segera menangkapnya, walaupun dia protes karena bernama Djemilah, bukan Djamilah. Tentara berbaret merah itu mencuri uangnya dan semua barang miliknya. Dia dibawa ke kantor Komando Operasi Teringgi (KOTI), disiksa sampai hampir pingsan dan diperintahkan untuk menandatangani pernyataan sebagai Atika Djamilah, yang selalu ditolaknya. Kemudian dia dibawa ke Korps Polisi Militer. Di sana kembali dia disiksa dengan kejam, ditelanjangi dan dihina. Beberapa kali dia akan diperkosa, tapi entah bagaimana dia selalu berhasil menghalanginya, demikian ditulis oleh Ardi. Djemilah disiksa dengan begitu mengerikan sampai putus asal dan ingin mati saja. Oleh siksaan itu dia bahkan sampai nyaris gila. Akhirnya dia dijebloskan dalam penjara perempuan di Bukit Duri, tempat dia mendekam selama 14 tahun tanpa didakwa apalagi diadili.
Kasus Djemilah adalah salah satu dari beberapa kasus pemenjaraan orang lantaran salah identitas. Djemilah tidak tahu apa-apa tentang politik. Suami pertamanya tidak merasa perlu memberitahunya perihal politik nasional dan apa perannya di situ. Djemilah sendiri juga masih muda dan tak berpengalaman. Dia tidak tahu apa itu PKI, apalagi Gerwani, tapi selama berkali-kali diinterogasi dia dibentak-bentak sebagai “lonte Gerwani”.
Mereka yang menginterogasinya berupaya membuatnya mengaku bahwa dia ikut latihan di Lubang Buaya, dan dia juga menerima penghargaan sebagai pahlawan Gerwani. Mereka memaksanya supaya mengaku ikut serta dalam tarian cabul sambil menyiksa para jenderal. Bahkan setelah disiksa dengan begitu mengerikan dia tetap menolak menandatangani pernyataan apapun. Para interogator itu menggerayangi paha dan perutnya. “Aku membungkuk agar milikku yang sangat berharga tidak bisa ia jamah. Tapi tenagaku bukan tandingannya. Tenagaku sudah terkuras habis karena disiksa. Sekuat apa pun aku mempertahankan, nyaris tidak mampu. Untung saat beberapa milimeter tangannya hinggap di bagian terlarangku” (halaman 70-71). Karena begitu gawatnya siksaan yang harus ditanggungnya sampai waktu lahir bayinya tewas.
Perkosaan adalah peristiwa biasa, walaupun perempuan ini melawan mati-matian: “Semua tapol sudah mendapat giliran disiksa. mBak Endah yang paling parah. Ia dibawa ke rumah sakit ketika itu. mBak Endah mempertahankan kesuciannya dari lima prajurit yang memeriksanya. Mukanya dicakar-cakar menggunakan sangkur begitu niat mereka hendak menggagahi ibu muda itu gagal. Kemarahannya dilimpahkan ke sekujur tubuh mBak Endah” (halaman 92). mBak Endah akhirnya bunuh diri.
Pada suatu saat Djemilah memutuskan biarlah dirinya mati saja dalam siksaan. Dengan begitu para interogator akan berdosa membunuhnya dan dia tidak perlu bunuh diri, itu memang sangat dilarang oleh agama yang dianutnya. Karena itu dia menyerah akan mati saja ketika kembali dibawa ke “abatoar, sudah menunggu lima serdadu kroco di sana. Aku tahu apa artinya itu …. buka bajumu … supaya kita bisa melakukan pesta bersama, Srikandiku2”. Seorang prajurit ceking mendekatinya tetapi dia bisa mencegahnya, menolak membuka pakaian dalamnya dan pada suatu saat berhasil menendang selangkangan pria itu sampai sobek serta menggigit tangan pria lain sampai berdarah-darah. Akibatnya dia dipukuli dengan berat sampai lagi-lagi dia tak sadarkan diri. Dia diselamatkan oleh seorang prajurit lain yang masuk dan memberitahu para penyiksanya supaya berhenti, karena Djemilah adalah “tahanan khusus yang masih diperlukan” (halaman 93-95). Beberapa tulangnya patah, kedua kakinya luka berat dan juga patah; dari beberapa luka di tubuhnya darah mengucur, kulit rambutnya robek dari kepalanya, dia tak bisa melihat lantaran kedua matanya bengkak-bengkak.
Selain siksaan begitu berat yang dialaminya, termasuk siksaan seks, Djemilah juga dipaksa untuk memegang arit. Konon inilah arit yang digunakan untuk membunuh para jenderal. Para penyiksa berkata padanya, “…anjing Gerwani, kamu boleh pilih, aku perkosa atau menuruti perintah kami saja (halaman 77)”. Djemilah belum pernah melihat arit seperti ini. Ini mirip arit yang digunakan ayahnya untuk memotong padi, tapi lebih kecil. “Pegang ini! Ini kan alat yang kamu gunakan untuk mencongkel mata bapak-bapakku di Lubang Buaya?” (halaman 77), bentak para prajurit itu. Ia tak tahu apa yang mereka maui darinya, diambilnya arit itu dan dia dibawa keluar ke bawah pohon rambutan, tempat dia difoto sebagai ‘bukti’ bahwa dirinya ikut serta dalam peristiwa Lubang Buaya (halaman 78).
Ketika Djemilah akhirnya dibebaskan, dia baru berumur 28 tahun. Walau begitu dia sudah kehilangan bayinya, suami dan semua barang miliknya serta menderita trauma berat. Baru pada saat itu dia sadar: cerita rekaan tentara tentang dirinya telah tersebar luas. Di seantero Nusantara orang percaya bahwa anggota Gerwani telah memotong kemaluan para jenderal. Bahkan sampai sekarang masih banyak saja yang percaya bahwa perempuan anggota Gerwani adalah orang-orang yang bejat tak bermoral. (alih bahasa JW)
1 Sesuai dengan sumber-sumber pada zaman itu, untuk menulis nama digunakan ejaan Suwandi: Djamilah, bukan Jamilah. Langkah ini diambil supaya pembaca (terutama pembaca muda) tahu bahwa bahasa Indonesia juga pernah ditulis dalam ejaan lain, tidak melulu dalam EYD ciptaan Orde Baru. Tidak jelas mengapa Juki Ardi menulis nama istrinya dalam ejaan baru. Selain nama orang, istilah-istilah zaman itu juga tetap dipertahankan dalam ejaan lama, misalnya politik Ganjang Malaysia dan organisasi Pemuda Rakjat.
2 Bukan kebetulan tentara menggunakan nama tokoh wayang Srikandi. Ini diambil dari syair lagu Djamilah yang pada zaman itu sering dibawakan oleh penyanyi-penyanyi Lekra dan kalangan kiri lain. Berikut ini syair lagu Djamilah selengkapnya (dalam ejaan lama): Djamilah Djamilah Djamilah/ Kau pahlawan dara Aldjazair merdeka/ Teladan tjita kau derita/Dalam rangka belenggu pendjadjahan angkara/Hantjurpun rela badan raga/Berlinang air mata/ Namun tekatmu tetap njala berkobar didada/Djamilah Djamilah Srikandi/Darahmu jang sutji sumbangsih dalam bakti Mendjadi teladan nan tinggi/Aldjazair merdeka rachmat sakti ilahi
Referensi:
Surat kabar
Harian Angkatan Bersenjata 5 November 1965
Duta Masyarakat 6 November 1965
Sinar Harapan 6 November 1965
Berita Yudha 7 November 1965
Wawancara dengan Ibu Sudjinah (pernah satu sel dengan Djemilah) pada 1983 dan 1984 di Jakarta.
Wawancara dengan Ibu Utati Koesalah (pernah satu sel dengan Djemilah), September 2014.
Buku
Juki R. Ardi (2011) Aku bukan Jamilah. Jakarta: Kompas Gramedia.
Wieringa, Saskia E. (2002) Sexual Politics in Indonesia. Houndmills: Palgrave/MacMillan
Rekaman lagu Djamilah karya Mochtar Embut yang dibawakan oleh Paduan Suara Lekra, direkam di Peking tahun 1965 waktu kelompok ini diundang ke sana untuk mengikuti perayaan hari besar RRT.
This post is also available in: English