PELUNCURAN DAN BAHAS BUKU
Ritus Panjang Untuk Simon Karya Martin Aleida
Novel pendek, 107 halaman, ini berkisah tentang seorang aktivis yang ditembak, tak kena, melarikan diri dan bersembunyi di gua selama tiga tahun. Penduduk yang merasa seperti kehilangan seorang “nabi” memberinya makan dengan berteriak berpura-pura melemparkan umpan untuk ternak.
Mimpi datang tak pernah diundang. Di antara rangkaian mimpi yang hinggap pada Simon adalah ketika kawanan paus berkerumun dan melayarkan pulau kering-kerontang tempatnya lahir dan berjuang. Tokoh kita didamparkan ke mulut gua Luweng di Gunung Kidul. Di perut gua itu Simon menemukan komunitas manusia; mereka yang ternyata selamat ketika kekuasan melemparkan jasad para korban ke lubang yang angker, dalam, dan tumpah ke Lautan Hindia itu.
Tiga tahun kemudian, ketika suasana mulai aman, Simon dijemput keponakannya. Namun, tiba di kampung halamannya dia merasa lebih damai hidup di gua, karena dia dikenakan wajib lapor. Sementara KTP bercap ET yang nongkrong di sakunya, dia rasakan seperti besi merah yang dipatrikan di punggung sapi, yang terus menempel sepanjang jalan menuju pejagalan. (Martin Aleida)
Dengan dimoderatori Eka Budianta, novel ini akan dibahas oleh Baskara T. Wardaya, Shinta Miranda, Mirisa Hasfaria, F. Rahardi dan Tamrin Amal Tomagola.
Pemesanan buku melalui pesan WhatsApp di +62 817-4912-128
Salam Hangat,
Beranda Rakyat Garuda, Somalaing Art Studio, Perhimpunan IPT 65, Jakartanicus
Tinjauan Buku
Agama adalah Candu, Agama sebagai Peluru – Dhianita Kusuma Pertiwi
Resensi-Buku Fiksi: Ritus Panjang Untuk Simon – Bhayu MH
Novel ini terinspirasi dari peristiwa genosida di Alor dan Nusa Tenggara Timur pada umumnya hasil riset dan pendokumentasian oleh Pendeta Mery Kolimon dkk (Jaringan Gerakan Masyarakat Sipil di NTT)
Eventually, the authorities determined that a number of people had been directly involved with the Communist Party movement and they were disappeared or murdered. The massacre of Communist Party members was carried out in a few locations around the town of Kalabahi, and in the subdistrict of Northeast Alor. Harun Dokana listed these in detail:
The execution sites of the Communist Party members are: in Alor Kecil or Kumba Wutung 200 people; in Dulolong or Lubang up to 70 people; in Tanjung Kenarilang or Tanjung Sembilan nine people; in Air Kenari up to 45 people; and in Tombang or Bunta up to 60 people. The civil militia dug the graves, assisted by the local people. The distance of these graves from residential areas was about 300–500 metres.14
One Communist Party member, Pak Simon, escaped the massacre in Alor Kecil because of a mis-fired shot. He managed to run away and hide for three or four years in the jungle in the sub-district of Southwest Alor.15 He surrendered after the situation had calmed down, then was released and required to regularly report to the authorities.
foto dari halaman 159
selengkapnya simak Widows Fight Against Injustice in Alor – Dorkas Sir, Erna Hinadang, and Ina Tiluata (halaman 150-174) dalam buku FORBIDDEN MEMORIES Women’s experiences of 1965 in Eastern Indonesia Edited by Mery Kolimon, Liliya Wetangterah and Karen Campbell-Nelson Translated by Jennifer Lindsay (unduh disini) diterjemahkan dari buku Memori-Memori Terlarang: Perempuan Korban & Penyintas Tragedi ’65 di Nusa Tenggara Timur. NTT: Yayasan Bonet Pinggupir, 2012
periksa pula kompilasi kajian, arsip visual, film
Pembunuhan Massal – Genosida 1965 di Nusa Tenggara Timur
This post is also available in: English