Presiden Indonesia Joko Widodo dan Presiden AS Barack Obama di Gedung Putih,
Washington, DC, 26 Oktober 2015.
Margaret Scott

DALAM pertemuannya dengan Joko Widodo, presiden Indonesia yang diterimanya di ruang kerjanya, Oval Office, minggu yang lalu, saya melihat adanya beberapa persamaan antara presiden Barack Obama dengan Joko Widodo. Keduanya persis seusia, dan Joko Widodo, yang sering dipanggil Jokowi, tampak seperti versi lebih pendek dan lebih kurus dari Obama. Persamaan lainnya: keterkaitan pribadi dengan salah satu pembantaian paling buruk di dunia sejak Perang Dunia II. Pada akhir tahun 1960an, Obama tinggal bersama ibunya di Jakarta, persis pada tahun-tahun ketika pembunuhan terhadap ratusan ribu orang yang diduga sebagai Komunis, sebuah pembersihan yang dirancang secara cermat yang pada akhirnya membawa rejim Orde Baru yang didukung AS ke puncak kekuasaan; Jokowi dibesarkan dalam kemiskinan di Jawa Tengah, di dekat sebuah sungai yang pada tahun 1965 dipenuhi dengan mayat-mayat.

Seperti yang sudah terjadi, sekumpulan dokumen-dokumen intelijen baru saja di-deklasifikasi oleh CIA pada musim gugur ini, yang membuka kesempatan untuk mengkaji kembali kejadian-kejadian tersebut, termasuk keterlibatan AS didalamnya. Selain itu, Jokowi yang mulai menjabat presiden sejak tahun lalu, adalah seorang presiden pertama yang berasal dari luar lingkaran oligarki dan elit-elit politik yang memang sudah tumbuh selama beberapa dekade semasa Orde Baru dan bahkan terus berkembang setelah kejatuhannya pada 1998. Di masa kampanyenya, Jokowi berjanji akan membentuk pemerintahan yang terbuka dan pluralis kepada 250 juta penduduk Indonesia, yang tersebar di 17,000 pulau dan yang merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Banyak pihak berharap bahwa reformasi yang dibawa oleh Jokowi akan mencakup penanganan terhadap pembantaian yang telah berusia lima puluh tahun ini. Pertanyaannya, apakah Obama siap untuk mendukung Jokowi, yang administrasi pemerintahannya terganggu oleh perlawanan keras terhadap penyelesaian untuk mengatasi apa yang terjadi pada tahun 1965?

Pembantaian massal di Indonesia adalah saat-saat genting dalam Perang Dingin. Subuh hari pada 1 Oktober 1965, enam jendral Indonesia dibunuh oleh sekelompok perwira-perwira muda yang mengaku hendak menghentikan pengambilalihan kekuasaan oleh ‘Dewan Jendral’ yang didukung CIA. Gerakan ini direncanakan dengan sangat buruk dan berantakan hanya dalam waktu dua puluh empat jam. Ketika itu, Indonesia dipimpin oleh Sukarno, seorang kiri revolusioner romantik yang kemudian menjadi otokrat. Negeri ini juga memiliki Partai Komunis terbesar ketiga di dunia, Partai Komunis Indonesia (PKI), yang memiliki kurang lebih tiga juta anggota. TNI-Angkatan Darat dan pemerintahan AS segera menuduh PKI yang berada di balik kudeta ini. (Ada banyak hal yang kita belum tahu tentang rangkaian peristiwa ini, akan tetapi, ketua PKI, D.N. Aidit, paling tidak mengetahui adanya usaha kudeta ini; tidak lama kemudian dia dibunuh oleh TNI-Angkatan Darat). Dengan mengambil kesempatan untuk menjatuhkan Sukarno dan menggulung komunisme, TNI-Angkatan Darat melancarkan kampanye dengan kekerasan yang mengakibatkan kira-kira lima ratus ribu hingga satu juta orang yang diduga Komunis dibunuh–tidak ada yang tahu persisnya.

Pembunuhan enam jenderal, dan cerita-cerita rekayasa bahwa mereka disiksa terlebih dahulu oleh perempuan-perempuan Komunis, dipakai untuk meningkatkan perasaan anti-Komunis. Hanya dalam beberapa hari, TNI Angkatan Darat bersama milisi-milisinya menyebar ke seantero kepulauan ini, menahan siapa saja yang terkait dengan PKI berserta organisasi-organisasi buruh dan taninya. Kemudian, biasanya pada malam hari, mereka yang ditahan dibawa keluar dan ditembak, dipenggal kepalanya, atau ditikam hingga mati. Milisi-milisi binaan TNI-Angkatan Darat umumnya yang melakukan pembantaian ini, yang anggota-anggotanya berasal dari preman-preman atau pemuda anggota dua organisasi Muslim di negeri ini. Para korban dikuburkan secara massal atau dibuang begitu saja ke sungai. Banyak cerita-cerita mengerikan tentang sungai-sungai ini di Jawa, Sumatra, Bali, yang penuh sesak dengan mayat sehingga air berubah menjadi merah.

Untuk administrasi pemerintahan Lyndon Johnson, pertumpahan darah ini merupakan sebuah tonggak kemenangan, yang mengubah perimbangan kekuasaan di Asia Tenggara. Akan tetapi, untuk rakyat Indonesia ini adalah saat-saat mengerikan. Selain pembantaian tersebut, ratusan ribu orang lainnya dijebloskan ke dalam penjara, dan keluarga mereka bersama dengan keluarga korban pembunuhan secara resmi dikucilkan. Ketika pembunuhan berakhir, orang-orang Indonesia hidup dibawah pemerintahan militer pimpinan Jendral Soeharto, yang menyebarkan mitos ciptaan bahwa TNI-Angkatan Darat menyelamatkan bangsa ini dari kaum Komunis yang ateis. Tidak ada yang berani untuk berbicara tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Pada tahun 1967, Obama yang berusia enam tahun pindah ke Jakarta bersama ibunya, Ann Dunham, persis ketika Soeharto sedang mengonsolidasikan pemerintahannya yang kejam itu. “Sindiran-sindiran, selain setengah bisik-bisik; begitulah yang didapati ibu saya ketika kami tiba di Djakarta kurang dari setahun setelah terjadinya salah satu operasi penindasan yang lebih cepat dan menyeluruh dalam jaman modern,” demikian Obama menulis dalam memoarnya, Dreams of My Father. “Ide ini menakutkan ibu saya, pikiran bahwa sejarah bisa seluruhnya ditelan begitu saja.”

Akan tetapi, sejak akhir tahun 1990an, ada peningkatan usaha-usaha untuk menemukan kembali sejarah tersebut. Pada 1998, Indonesia bangkit melawan Soeharto, yang kediktatoran militernya berlangsung selama 32 tahun. Gerakan ini, yang dikenal dengan nama reformasi, dan kejatuhan Soeharto, membawa pada penelisikan baru terhadap peristiwa-peristiwa tahun 1965. Banyak orang Indonesia memberontak terhadap hal-hal tabu dalam membicarakan pembantaian massal, yang mulai mereka selidiki lewat jurnalisme, buku-buku, dan film-film. Pada tahun-tahun terakhir ini, berbagai organisasi lokal juga berusaha untuk menemukan lokasi-lokasi kuburan massal dan memberikan bimbingan kepada para penyintas. Semua usaha ini dibantu oleh dokumen-dokumen milik Amerika. Pada tahun 2001, sekalipun ada usaha dari CIA untuk mencegahnya, AS membuka dokumen-dokumen Hubungan Luar Negeri Amerika Serikat 1964-1968, sekumpulan dokumen Departemen Luar Negeri termasuk didalamnya dokumen-dokumen rahasia tentang pemerintahan pada periode itu. Di sana digambarkan bagaimana pejabat-pejabat AS mendorong pemusnahan PKI, dengan memberikan bimbingan secara rahasia dan mendorong TNI-Angkatan Darat untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Akan tetapi dokumen-dokumen tersebut tidak mengungkapkan kapan perencanaan pembantaian massal itu dibikin, dan kapan AS tahu akan keberadaannya. Beberapa dari pertanyaan tersebut kini terfokus lebih tajam dengan dibukanya lebih banyak dokumen-dokumen CIA pada 16 September, termasuk, untuk pertamakalinya, catatan-catatan tentang apa yang diberitahu oleh CIA kepada Presiden Johnson ketika kudeta yang gagal tersebut menjadi alasan untuk melakukan pembunuhan massal. Didorong oleh keputusan pengadilan, CIA membuka Briefing Harian Presiden pada periode tahun 1961 hingga 1969 yang sebelumnya ditutupi, sesuatu yang dianggap sebagai informasi intelijen yang paling penting dan paling dirahasiakan. Dokumen-dokumen ini memang tidak mengubah dasar cerita tentang 1965 yang telah kita ketahui, tetapi dokumen-dokumen ini juga memberikan bukti terbaik hingga saat ini tentang bagaimana AS mendorong pemusnahan kaum Komunis dan pendukung-pendukung Sukarno yang pro-Cina.

Sekalipun dalam kenyataannya saat itu AS sedang meningkatkan keterlibatannya di Vietnam, Indonesia berada pada urutan pertama dalam brifing harian presiden, mulai dari saat kegagalan kudeta itu pada awal bulan Oktober hingga akhir November tahun itu. Membaca brifing–brifing pada periode ini, membawa kita tenggelam pada analisis administrasi pemerintahan Johnson yang menggambarkannya sebagai sekarang-atau-tidak-sama sekali (kesempatan) “untuk menggulung kaum Komunis” di Indonesia, sebagaimana dinyatakan pada brifing tanggal 4 Oktober. (Ini adalah kurun waktu yang sama yang dijelajahi dalam film-film buatan Joshua Oppenheimer, The Act of Killing [2012] dan The Look of Silence [2014] – yang pertama melalui mata si penjagal dan kedua melalui mata korbannya).

Hari demi hari, Presiden Johnson mendapat laporan terkini tentang gerakan tentara Indonesia melawan kaum Komunis, namun dengan sedikit sekali menyebutkan terjadinya kekerasan didalamnya. “Dari semua indikasi,” demikian brifing harian tanggal 6 Oktober menyebutkan, “para pimpinan Angkatan Darat tampaknya ingin sekali untuk memusnahkan kaum Komunis dan makin waspada terhadap Sukarno sendiri.” Dua hari berikutnya, Johnson diberitahu bahwa “kekuatan para jenderal dalam melawan kaum Komunis masih harus dimantapkan,” dan kemudian ada lima baris dihilangkan. Beberapa brifing menyebutkana terjadinya penahanan-penahanan dan sweeping oleh tentara pada malam hari, namun tidak ada satupun disebutkan adanya pembantaian massal yang berlangsung selama beberapa bulan.

Koran-koran Indonesia tidak melaporkan tentang pembantaian ini juga. Koran The New York Times dan The Washington Post mencatat bahwa terdapat laporan tentang pembunuhan rahasia yang terorganisasi terhadap mereka yang diduga Komunis, akan tetapi Angkatan Darat mengurung pada koresponden asing ini di Ibukota selama beberapa bulan. Hingga bulan Desember, Indonesia tidak lagi menjadi nomor satu dalam brifing–brifing itu, namun tetap tampak secara teratur, dengan laporan berlanjutnya pertarungan kekuasaan Angkatan Darat dan Sukarno, yang masih menganggap dirinya sebagai ‘presiden seumur hidup’ dan tetap didukung karena popularitasnya sebagai pemimpin Indonesia di masa perjuangan kemerdekaan melawan Belanda. Sebagian besar brifing dari bulan Desember hingga Maret menggambarkan secara pelan tapi pasti naiknya kekuasaan orang kuat AD, Jendral Soeharto.

Pada 12 Maret 1966, Indonesia kembali memimpin dalam brifing harian. “Saat ini, tentara Angkatan Darat sudah mengendalikan situasi, namun terlalu dini untuk menganggap bahwa Sukarna sudah jatuh untuk selamanya. Rakyat di Djakarta jelas tampak bersama militer dan ibukota dilaporkan tenang,” demikian brifing tersebut. “Masih harus ditunggu apakah tentara Angkatan Darat akan segera bergerak untuk mengonsolidasikan posisinya. Tanda-tanda awal kelihatannya menjanjikan; Partai Komunis akhirnya dinyatakan terlarang.” Pada titik ini, pembantaian besar-besaran umumnya telah berakhir.

Karena dokumen-dokumen yang dibuka ini terkena sensor besar-besaran, banyak rahasia yang tetap tidak terungkap. Obama akan membuat demokrasi Indonesia yang rentan ini jauh lebih baik dengan membantu Jokowi melonggarkan sejarah yang masih banyak dan tersembunyi ini, termasuk berbagai dokumen rahasia seperti laporan harian CIA – yang mungkin akan memberi indikasi berapa banyak jenderal-jenderal tersebut memberitahu CIA dan bagaimana reaksi AS terhadapnya. Namun ini tampaknya mustahil, karena deklasifikasi lebih jauh membutuhkan permintaan yang kuat dari pemerintah Indonesia atau dari sebuah komisi kebenaran.

Ini semua tidaa terlalu menguntungkan untuk Indonesia, yang telah dengan perlahan telah menciptakan politik demokrasi sejak 1998. Tujuh belas tahun kemudian, Indonesia dan Jokowi terjebak dalam kekacaubalauan yang dramatik namun telah bisa diduga sebelumnya: sebuah semangat berdemokrasi yang harus terus berjuang untuk hidup berdampingan dengan oligarki yang sudah mengakar dan elite politik yang korup. Salah satu alasannya adalah sekalipun Soeharto telah lama pergi, sebagian besar elite pada masa kediktatoran Orde Baru – para jendral, para taipan minyak dan batubara, elite politik dan blantik kekuasaan — telah berkembang. Era reformasi telah membawa persaingan tajam dalam pemilihan langsung dan kegaduhan kebebasan pers, namun tidak mampu menanggalkan impunitas tentara, yang tidak pernah mau menanggapi pembantaian massal tahun 1965.

Pertarungan antara kaum reformis dan peninggalan Orde Baru adalah hal yang melatarbelakangi kampanye presiden Jokowi. Dia besar pada tahun 1960an di sebuah kampung miskin di Solo, sebuah kota di Jawa Tengah; pada 2005 dia menjadi walikota Solo yang sangat populer dan terampil menyelesaikan masalah. Dia adalah wajah reformasi, dan selera humornya, kesederhanaannya, blusukannya yang terkenal ke pasar-pasar, dan cintanya yang unik terhadap musik Heavy Metal telah membuatnya menjadi kesayangan pers Indonesia. Dia melambung ke pentas nasional, menjadi gubernur Jakarta pada tahun 2012, dan kemudian pada 2014 berhasil meraih kursi kepresidenan.

Mereka yang memilih Jokowi memiliki harapan yang setinggi langit untuk menghidupkan kembali perjuangan melawan korupsi, dan bahkan usaha untuk mengadili tentara atas pelanggaran hak-hak asasi manusia. Ada perbincangan sebelum peringatan pembantaian 1965 bulan ini bahwa Jokowi akan menawarkan permintaan maaf resmi kepada para penyintas dan keluarga korban. Akan tetapi, tahun pertama Jokowi menjabat mengungkapkan keterbatasan kekuasaanya. Dia tidak mengontrol DPR, dan bahkan partai yang mencalonkan dirinya menolak untuk mendorong agenda-agendanya.

Kelesuan ekonomi Cina telah melukai ekonomi Indonesia, dan pemerintahan Jokowi berusaha keras menciptakan lapangan kerja, sementara sekitar 40 persen rakyat Indonesia hidup dengan $2 per hari atau bahkan kurang. Bencana asap yang mengerikan telah menutup wilayah ini karena pembakaran hutan untuk membersihkan tanah, sebuah metode yang murah yang seringkali dilakukan oleh orang-orang kuat (oligarchs) dan tokoh-tokoh militer yang punya koneksi kuat agar bisa membangun perkebunan kelapa sawit; dan Jokowi tidak mampu berbuat apa-apa. Dan lewat berbagai langkah politiknya yang keliru, Jokowi telah melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga produk reformasi yang paling efektif. Angka poll Jokowi telah menurun drastis, dan jajak pendapat akhir-akhir ini memperlihatkan jika saat ini diadakan pemilihan umum lagi, Prabowo Subianto, politisi mapan yang dikalahkannya pada pemilihan yang lalu, akan mampu mengalahkan Jokowi.

Dengan demikian, tidak terlalu mengherankan bahwa pembicaraan tentang komisi kebenaran atau permintaan maaf atas pembantaian ini kemudian berhenti. Bahkan pada bulan Agustus, para pemimpin parlemen mengatakan bahwa mereka akan menentangnya, sedangkan para jendral pada politisi-politisi Islam garis keras mengingatkan bangkitnya komunis gaya baru yang tidak bertuhan. Jokowi mendengarkan pesan itu. Meluruskan 1965 adalah tindakan politik yang sangat beresiko; terlalu banyak orang yang yang menjadi kaya dan berkuasa karena Orde Baru dan mereka tidak tertarik untuk mengkaji ulang mitos yang menjadi dasar Orde Baru tersebut.

Bahkan diskusi-diskusi tidak resmi pembantaian massal tersebut telah memicu reaksi balik dari kelompok politik mapan. Bulan ini, Indonesia menjadi tamu kehormatan pada Frankfurt Book Fair, dan tiga novelis yang paling menyedot perhatian semuanya menempatkan 1965 sebagai pusat fiksi mereka. Pada hari ketika pesta buku ini dibuka, kelompok-kelompok Islam garis keras melakukan protes di Jakarta dan menyatakan bahwa pengarang-pengarang ini secara aktif memperomosikan komunisme. Bahkan acara sastra tahunan yang digelar di Indonesia, Ubud Writers & Readers Festival, yang dimulai tanggal 28 Oktober, dipaksa untuk membatalkan tiga sesi tentang 1965, termasuk pertunjukkan film karya kedua sutradara Oppenheimer dan sebuah panel diskusi dengan novelis Eka Kurniawan, salah seorang pengarang yang tampi di Frankfurt. Polisi mengatakan jika sesi-sesi tersebut tidak dibatalkan, seluruh festival akan ditutup. “Semangat festival adalah tidak mendiskusikan hal-hal yang akan membuka luka lama,” demikian katanya.

Akan tetapi, banyaknya detail-detail baru yang muncul dari pembukaan arsip-arsip baik di Indonesia maupun di Washington mungkin akan membuat sejarah masa lalu yang kelam itu semakin sulit untuk dihindari. Misalnya, Jess Melvin, seorang mahasiswa doktoral dari Australia, baru-baru ini menemukan, dalam arsip-arsip pemerintahan di Aceh, dokumen-dokumen TNI Angkatan Darat, yang mengkonfirmasikan bahwa pembantaian-pembantaian tersebut diorganisir oleh pihak militer lewat sebuah operasi yang sistematis. Menurut Melvin, catatan-catatan tersebut memperlihatkan rantai komando dan perintah militer yang mendorong pembantaian dan pemberian bantuan yang menjelaskan partisipasi orang-orang sipil dalam pembantaian tersebut. “Dokumen-dokumen ini,” tulisnya, “memperlihatkan bahwa kepemimpinan militer mengerti dan menerapkan apa yang mereka namakan ‘pemusnahan PKI’ sebagai sebuah operasi nasional yang disengaja dan terpusat.”

Duta besar Amerika di Indonesia pada waktu itu, Marshall Green, di dalam berbagai wawancara dan memoarnya menyatakan bahwa dukungan rahasia AS kepada tentara Indonesia pada waktu itu hanyalah beberapa walkie talkie dan obat-obatan. Namun dari arsip tahun 2001 dan dari laporan-laporan pers, kita tahu bahwa kedutaan besar Amerika di Jakarta juga memberikan daftar nama-nama anggota-anggota PKI kepada TNI Angkatan Darat–mungkin ada ribuan nama. Dan brifing harian (kepada presiden) juga mengisyaratkan adanya keterlibatan AS yang lebih besar (dalam pembantaian itu). Akan tetapi, cerita yang lebih lengkap hanya mungkin didapat jika ada lebih banyak dokumen AS dan catatan-catatan TNI-Angkatan Darat dibuka untuk umum.

Amerika Serikat telah berbuat banyak untuk membuka rahasia-rahasia Perang Dingin, namun dia bisa berbuat lebih banyak lagi. Perjuangan Indonesia menjadi sebuah negara demokratik dan terhindar dari kembalinya pemerintahan oleh satu orang kuat, sebagian tergantung dari pengetahuan akan sejarah masa lalunya. Obama tahu persis akan hal ini dan, sebagai presiden, dia memiliki kekuasaan untuk membantu mengisi catatan sejarah ini.

Margaret Scott adalah wartawan Amerika yang menulis tentang Indonesia dan adjunct professor di New York University’s Wagner School of Public Service.

*Diterjemahkan dari judul asli “The Indonesian Massacre: What Did the US Know?”, November 2, 2015 oleh Made Supriatma. From The New York Review of Books Daily. Copyright © 2015 by Margaret Scott. Dikutip dari Harian Indoprogress. Dimuat ulang di sini dengan tujuan Pendidikan.

This post is also available in: English