Buku terbitan hasil investigasi Majalah Tempo berjudul: Pengakuan Algoju 1965 sudah beredar luas di ranah publik. Buku itu merupakan hasil investigasi Majalah Tempo yang terbit tahun 2012. Dalam buku itu diceriterakan bahwa para korban yang diduga merupakan anggota PKI itu dibantai tanpa melalui prosedur Pengadilan yang sah. Di pulau Jawa, pihak Nahdatul Ulama (NU) beserta organisasi kepemudaan Anshor dan Bansernya memiliki sejarah kelam keterlibatan dalam pembantaian orang-orang yang diduga terlibat PKI tanpa pengadilan.
Generasi HMI kini masih menyimpan sejarah kelam keterlibatan dalam pembantaian para terduga PKI, bersama tentu saja ABRI yang berasal dari unsur TNI dan Polisi. Sejarah kelam itu hingga kini tidak bisa terungkap secara jelas berapakah jumlah orang yang telah dibantai itu sesungguhnya. Namun mungkin puluhan juta orang-orang Indonesia tak bersalah telah dihukum mati tanpa pengadilan yang sah. Pembunuhan itu telah direstui oleh tokoh agama dan sesepuh masyarakat.
Sejarah memanglah tetaplah sejarah. Sejarah bersifat periodis. Norma yang dianut masyarakat pada tahun 1965pun berbeda dengan saat ini sesuai dengan konteks ekonomi, sosial, idiologi dan politik. Dari NTT, sebagaimana yang tertulis dalam buku itu muncul sejumlah kisah tentang pembantaian PKI di Sikka. Tulisan Yohanes Seo, kontributor Tempo untuk wilayah NTT mengisahkan tentang bapak Tengkorak dan kisah seorang pastor Katolik yang dipindahkan dari wilayah Sikka karena menolak pembantaian para terduga PKI.
“Tentara seperti Tuhan”, kata sang Pastor yang mengisahkan situasi pada saat itu (bdk. rizalflotim.wordpress.com). Pembantaian PKI tahun 1965 meninggalkan kisah kelam dalam sejarah bangsa kita. Bahkan terlalu kelam untuk dikeluarkan dari kedalaman luka bathin. Namun apapun kelamnya, terpaksa harus kita keluarkan agar tidak menjadi duri dalam daging. Itu semua demi masa depan kita bangsa Indonesia sendiri. Nah…bila saya berbicara tentang pembantaian terduga PKI, saya selalu teringat akan kisah Bei Laka.
Kisah ini sering saya dengar dari Bei Laka sendiri ketika dia masih hidup dan bersama kami di rumah adat besar suku asulaho Nurobo. Sosok Bei Laka ialah seorang kerabat jauh kakek dan nenek buyutku. Kami memanggil Bei Laka untuk menghormati ubanannya, meskipun mungkin tidak memiliki hubungan darah kandung dengan Bei Laka. Ketika saya masih kecil, saya bersama mama dan saudara-saudariku sering berkunjung ke rumah adat besar Asulaho di Nurobo. Rumah adat itu merupakan sebuah rumah panggung, di mana sering dilaksanakan acara-acara adat suku besar mamaku.
Di sana, waktu itu (sekitar tahun 1985 ke bawah), sosok Bei Laka dianggap sebagai penjaga rumah adat suku besar. Ia hanya menjaga rumah adat saja namun bukan pemimpin suku besar. Hal itu saya tahu kemudian setelah bertanya tentang silsilah sosok Bei Laka kepada mamaku. Namun ia telah dianggap penjaga tradisi suku yang sah sepeninggalnya kakek-kakek kandungku di suku besar Asulaho-Nurobo. Tampang Bei Laka sekitar tahun 1985 ke bawah itu nampaknya sudah beruban.
Semua orang-orang sesubsuku mengakui bahwa sosok Bei Laka dikenal sebagai sosok penjaga tradisi suku besar Asulaho Nurobo ketika itu. Hanya sayang beliau tidak memiliki anak kandung. Isterinya ialah Bei Hoar yang merupakan keturunan dari salah seorang adik dari Bei Bot. Bei Bot merupakan ibu Bei Stanis Mali, leluhur kandungku. Jadi dari segi hubungan kekerabatan, Bei Laka merupakan ‘orang luar’ yang menikah dengan orang dalam suku Asulaho. Dengan itu dia bukan seorang kepala suku besar dalam suku Asulaho namun “pangeran” luar yang menjaga rumah adat karena pernikahan dengan orang dalam yakni Bei Hoar.
Siapa tidak menyangka bahwa dari mulut dan kedalaman bathin seorang penjaga rumah adat besar dari suku mamaku, ternyata menyimpan dan mengalirkan kisah kesaksian pribadi yang membuatnya begitu terkesan dan telah membekas dalam sanubarinya seumur hidup sebelum meninggal tahun 1985. Kisah itu bermula ketika pada tahun 1964, Bei Laka diperkenalkan oleh seorang guru SR tentang pentingnya berkoperasi. Sebagai seorang penjaga tradisi, diapun ikut saja menjadi anggota Koperasi yang dimaksudkan oleh orang tersebut.
Perkumpulan Koperasi itu berpusat di Betun, dipimpin oleh seorang tokoh Koperasi yang dikemudian hari dianggap oleh pihak intelijen dan tentara di Belu sebagai salah seorang tokoh pemimpin PKI di wilayah Belu, namanya Nahak Au Bot. Singkatnya, Bei Laka masuk anggota Koperasi pimpinan Nahak Au Bot di Betun. Beberapa kali, Nahak Au Bot mengundang semua anggota Koperasi untuk menonton Film hiburan layar tancap. Ternyata Film-Film itu kemudian diceriterakan kembali oleh para pemimpin Koperasi kepada masyarakat bahwa Film layar tancap itu sama dengan arwah-arwah nenek moyang yang telah hidup kembali. Seluruh adegan dalam Film itu dijelaskan bahwa merupakan arwah leluhur yang hidup kembali. Itulah sebab Nahak Au Bot memiliki pengikut banyak yang berasal dari orang kampung di tanah Malaka.
Pada tahun 1965, Koperasi pimpinan Nahak Au Bot di Belu dianggap merupakan organisasi massa binaan PKI. Pemimpin Koperasi itu, Nahak Au Bot akhirnya ditangkap oleh tentara lalu dipotong lehernya karena disangka merupakan pemimpin PKI di Belu. Sejak pemimpin Koperasi Nahak Au Bot itu dibunuh, para anggota Koperasipun diciduk untuk dibunuh tanpa pengadilan. Bei Lakapun ikut ditangkap dan di bawa ke lokasi pembantaian untuk siap dibantai tanpa pengadilan sah. Namun rupanya tangan Tuhan masih menyertai Bei Laka sebab dia karena hal-hal ‘ajaib’ tidak ikut dibunuh. Bertahun-tahun kemudian, setelah bebas dari hukuman, Bei Laka menceriterakan bahwa tempat pembantaian para terduga anggota PKI di Belu ialah, areal tengah hutan jati Nenuk. Para terduga PKI ditangkap, diborgol dan di bawa menuju hutan Jati Nenuk untuk dipenggal lehernya. Sebelum dipenggal mereka diberi kesempatan untuk berdoa sambil berlutut menghadap lubang. Setelah berdoa, mereka dipancung lehernya.
Bei Lakapun ikut panggil dan berlutut di hadapan lubang. Namun setiap kali akan dipenggal lehernya, tiba-tiba para algoju tidak melihat Bei Laka. Bei Laka seperti tidak terlihat, ia seperti menghilang sehingga algoju-algoju itu tidak melihat Bei Laka. Padahal Bei Laka sedang berada di muka lubang pembantaian. Ketika semua rombongan terduga PKI dibantai dan dikuburkan di lubang-lubang di dalam hutan Jati, Bei Laka ternyata masih hidup dan tidak ikut dibunuh padahal ia dipanggil 3 kali. Para algoju dan komandan algoju kemudian memintanya pulang kembali ke Nurobo. Bei Laka dibebaskan karena para algoju tidak melihatnya ketika akan dibantai. Menurut Bei Laka, ini sebuah mukjizat yang Tuhan nyatakan bagi Bei Laka.
Mukjizat itu nyata. Setelah pulang ke Nurobo, dia menceriterakannya kembali peristiwa itu kepada mamaku dan diteruskan kepada kami bahwa ia selamat dari pembantaian karena para algoju tidak melihatnya ketika akan dibantai. Ia pun berkeyakinan bahwa Tuhan telah menyelamatnya dari pembantai PKI. Tuhan telah menutup mata para algoju itu secara ajaib, sehingga mereka tidak melihat Bei Laka ketika hendak memancungnya di depan lubang pembantaian. Rupanya orang seperti sosok Bei Laka, yang mengalami mukzizat Tuhan di tengah-tengah ceritera tentang pembantaian korban terduga PKI telah dikirim pulang oleh Tuhan bagi seluruh anggota keluarga untuk memuji kebesaran Tuhan sendiri. Bahwa Tuhan sungguh Maha Baik.
Tuhan sungguh menyertai hambanya dalam kesulitan. Korban terduga PKI yang hilang tak tentu rimbanya setelah diciduk oleh tentara dari rumah di Nurobo ialah Markus Berek. Markus Berek merupakan suami dari Maria Salan. Maria Salan seorang suku Ne’ ne’e-Mamulak. Mereka (Maria Salam dan Markus Berek) baru saja menikah. Markus Berek ialah seorang guru Sekolah Rakyat (SR). Ketika Markus Bereka diciduk dari rumah di Nurobo oleh tentara, Maria Salan sementara mengandung seorang anak yang ternyata wanita. Anak keturnan dari Markus Berek-Maria Salan bernama Anna Ulu yang menikah dengan seorang pegawai peternakan (PNS) dan telah melahirkan beberapa putera dan puteri.
Markus Berek, guru SR itu ternyata tidak kembali lagi ke rumah setelah ia diciduk. Dugaan besar dan memang pasti bahwa guru Markus Berek, suami dari Maria Salan telah menjadi korban pembantaian oleh para algoju karena keterlibatannya di Koperasi pimpinan Nahak Au Bot di Betun. Ia telah dikuburkan massal di tengah hutan jati Nenuk bersama para korban lainnya di hutan Jati Nenuk sebagai Ladang pembantaian PKI 1965 di Belu-NTT. Ia dipancung lehernya bersama para terduga PKI lainnya dari seluruh wilayah Belu.
Maria Salan kemudian menikah lagi dengan guru SDK Nurobo yang bernama Andreas Fatin dan menghasilkan seorang putera dan 2 orang puteri. Markus Berek tidak memiliki hubungan darah dengan kami, namun ia ikut menjadi keluarga Nurobo karena pernikahannya dengan Maria Salan dari Ne’e-ne’e, Malaka. Inilah rekaman ceritera tentang tragedi besar yang bernama pembantaian PKI di hutan Jati Belu-NTT-Indonesia. Selain ceritera tentang pembantaian PKI 1965, juga ceritera tentang musim kelaparan pada tahun 1965. Pada tahun 1965, kaka sulungku Vero Meko, baru saja lahir.
Namun Bapak dan Mama telah membawa juga Ignasius Nana dalam keluarga kami. Ignasius Nana ialah saudara Mama yang terkecil. Ia telah dianggap sebagai anak pertama keluarga kami. Orang-orang menceriterakan bahwa tahun 1965, merupakan tahun musim kelaparan yang hebat. Musim kelaparan itu diperparah dengan laju Inflasi yang amat tinggi. Gaji Bapakku sebagai tenaga pembangun Ambachschool di misi Atambua (SSpS Halilulik) memang besar untuk ukuran para karyawan misi ketika itu namun barang-barang yang dibeli juga sangat mahal, jarang bahkan tidak ada. Ini membuat bapakku harus berjalan berkilo-kilo meter ke wilayah Mena-TTU hanya untuk membeli ikan dan ubi kayu.
Pada saat itu hampir semua orang mengalami nasib yang sama. Orang memang kelimpahan uang namun kelangkaan barang-barang. Bahkan Jagung dan ubi buruk misi untuk makanan babi di kandang babi misi malahan telah menjadi makanan paling bagus selama musim kelaparan tahun 1965. Inflasi dan kelaparan membuat keluarga terpaka harus mengkonsumsi tepung kanji dan sejumlah besar daging sapi untuk mempertahankan hidup.
Tahun 1965 merupakan tahun tragedi, yakni tahun pembantaian PKI, tahun inflasi tertinggi, tahun awal berakhirnya kekuasaan Orla (Presiden Soekarno). Tahun 1965 adalah tahun yang aneh dan penuh korban, darah dan air mati itu, semoga tragedi tahun 1965 ikut pergi untuk seterusnya dan jangan pernah kembali lagi menimpah sejarah bangsaku, bangsa Indonesia. Bagi mereka yang kelurganya menjadi korban pembantaian sebagai terduga PKI tahun 1965, tentunya tahun 1965 menjadi tahun terkelam. Yah..namun kita patut mengakui kekelaman itu demi masa depan yang cerah….!!
Sumber : Kompasiana, 8 Januari 2014
This post is also available in: English