john-roosa

Oleh:

JOHN ROOSA*

Sumber : Institut Sejarah Sosial Indonesia

Dalam sebuah adegan film dokumenter lintas-genre The Act of Killing (Jagal) (2012), seorang wartawan, Soaduon Siregar, ketika ia berdiri dalam studio film, mengaku tiba-tiba mendapat suatu pemahaman baru. Setelah ia menonton dua algojo memerankan kembali di depan kamera perbuatan mereka pada 1965-66, ia menyadari mengapa ia tidak pernah mengetahui bahwa mereka telah mencekik ratusan tahanan ketika ia bekerja dengan mereka di gedung yang sama.

Teman-teman lamanya begitu “smooth” (ia memakai kata bahasa Inggris ini), sehingga kegiatan menjagal manusia yang mereka lakukan di lantai atas lolos dari perhatiannya. Salah seorang algojo dengan rias kasar di wajahnya, Adi Zulkardy, tidak habis pikir dan bersikeras bahwa Siregar mestinya tahu karena bahkan para tetangga mendengar jeritan para korban. “Itu sudah rahasia umum.” Juga ketika sutradara film, Joshua Oppenheimer, menyela, dan mengatakan bahwa atasan lama Siregar di surat kabar lokal tempat ia bekerja sudah mengakui telah menjadi interogator yang menentukan tahanan mana yang harus dibunuh, Siregar tetap dan semakin bersikeras mengatakan bahwa ia tidak tahu apa-apa tentang pembunuhan itu.

Percakapan yang berakhir dengan rasa jengah pada diri Siregar ini memberi contoh yang tepat betapa membingungkannya dinamika sebuah rahasia umum. Algojo-algojo di Medan ini tahu pada saat itu bahwa pekerjaan mereka sebagian harus bersifat rahasia. Mereka menerima dari tentara tumpukan-tumpukan tawanan yang diikat-ikat, membunuh mereka di gedung bagian belakang, memasukkan mayat-mayat itu ke dalam kantong, membawa kantong-kantong ini dengan truk ke sebuah jembatan di dekat gedung, dan membuangnya ke sungai. Korban-korban ini hilang begitu saja.

Tidak ada tontonan eksekusi tengah hari bagi warga di alun-alun kota. Tidak ada informasi yang diberikan kepada keluarga korban tentang apa yang terjadi pada saudara mereka yang tercinta. Namun demikian, pelaku-pelaku kejahatan ini juga tidak seluruhnya menyembunyikan perbuatan mereka. Gedung mereka terletak di jalan yang ramai di tengah kota. Tetangga dan pejalan kaki dapat melihat para tahanan dibawa ke gedung tersebut, dapat mendengar jeritan mereka, dan sekilas melihat kantong-kantong dikeluarkan dari gedung. Para pelaku itu ingin bekerja diam-diam, tetapi tidak merasa perlu untuk sepenuhnya merahasiakan perbuatan mereka. Betapapun juga, mereka ingin menunjukkan kekuasaan mereka dan meneror warga. Sebagai anggota sayap pemuda dari partai politik tentara, mereka membanggakan diri sebagai preman (atau dalam bahasa Inggris “free men”), yang bisa bertindak semau mereka.

Namun, film ini juga menunjukkan terbatasnya kebebasan mereka dalam menceritakan pembunuhan-pembunuhan yang mereka lakukan. Siregar yang menyedihkan itu, dalam keteguhannya menjaga rahasia tentang pembunuhan, hanya melakukan yang dia pikir pantas dilakukan seorang yang terlibat dalam pembunuhan massal di depan seorang pembuat film, khususnya bila pembuat filmnya orang asing. Ia terperangah menyaksikan Zulkardy dan algojo seorang lagi, Anwar Congo, si bintang film yang flamboyan, melanggar kebiasaan umum untuk tutup mulut tentang peristiwa pembantaian tersebut. Di satu pihak film itu adalah narasi Anwar Congo, si preman, bos mafia kelas teri yang bercita-cita untuk meraih kejayaan abadi di dunia film, yang merasa berhak untuk dengan leluasa menceritakan kejadian-kejadian yang sebetulnya tidak pernah dimaksudkan untuk dibeberkan di depan kamera.  Ia akhirnya menyesal telah mencoba melakukan hal itu (Artikel asli dalam bahasa Inggris dengan judul “The State of Knowledge about an Open Secret: Indonesia’s Mass Disappearances of 1965–66” dimuat di The Journal of Asian Studies, April 2016). 

Sebagai sebuah rahasia umum, pembantaian 1965–66 merupakan kejadian yang sulit dimengerti. Banyak informasi tetap tersembunyi sehingga pertanyaan-pertanyaan dasar tidak berhasil dijawab dengan akurat dan teguh. Ambillah pertanyaan: siapakah pelakunya? Film The Act of Killing dengan jelas memperlihatkan bahwa, dalam kasus Medan, kelompok milisi sipillah pelakunya. Tetapi kata-kata pembukaan film tersebut menyebutkan bahwa tentaralah yang bertanggung jawab atas pembantaian antikomunis tersebut. Namun film itu, yang lebih berfokus kepada ingatan kelompok milisi sipil daripada kejadian itu sendiri, tidak menjelaskan apa tepatnya hubungan mereka dengan tentara.

Setelah menonton film itu, beberapa pemirsa mendapat kesan yang keliru bahwa tentara tidak bertanggung jawab. Sebaliknya, Oppenheimer berpikir bahwa rujukan-rujukan ke tentara dalam film tersebut sudah cukup untuk menyampaikan pesan bahwa tentara telah ‘mengkontrakkan’ kerja pembunuhan kepada kelompok milisi (Melvin 2013). Literatur ilmiah tentang masalah ini penuh dengan ketidakpastian tentang identitas para pelaku pembunuhan. Banyak pakar sejarah mengalami kesulitan untuk memahami peranan tentara dan organisasi sipil dalam kekerasan antikomunis. Apakah tentara memutuskan untuk meluncurkan aksi pembantaian dan kemudian mengatur-atur kelompok milisi ibarat pion ataukah tentara menyerah kepada tekanan dan desakan dari bawah?

Sebagaimana dikemukakan oleh Robert Cribb (2001, 235), “kesulitan yang paling sukar ditangani dalam memahami pembantaian itu adalah menentukan seberapa pentingnya inisiatif tentara dan seberapa pentingnya peran ketegangan lokal.” Jawaban atas pertanyaan ini penting karena akan menentukan apakah kejadian itu merupakan kasus kekerasan yang spontan dan horizontal, yakni “tetangga membunuh tetangga,” ataukah merupakan kasus kekerasan birokratik yang vertikal, yaitu, negara membantai warganya sendiri. Dengan kata lain, apakah pembunuhan itu merupakan kekerasan khaotis ketika rakyat mengamuk, ataukah sebuah kasus genosida politik yang terorganisir dengan baik, ataukah campuran keduanya?

Para pakar sejarah cenderung menyimpulkan bahwa kekerasan tersebut dilaksanakan oleh gabungan personalia tentara dengan milisi sipil, dengan peran yang berbeda-beda dari daerah ke daerah; di beberapa daerah nusantara, tentara yang memimpin; di daerah lain, milisi yang memimpin. Argumen seperti ini, yang bisa disebut tesis dualistik, tidak mengakui adanya sebuah pola nasional yang melingkupi pembunuhan itu dan menolak pemikiran bahwa pembunuhan yang terjadi adalah tanggung jawab seorang saja, atau sekelompok orang, atau sebuah lembaga. Sejak tumbangnya pemerintah diktator Suharto pada 1998 setelah tiga puluh dua tahun berkuasa, pembunuhan masal mulai lebih banyak dibahas secara luas. Juga lebih banyak rahasia yang terungkap.

Walaupun tidak ada persidangan para pelaku dan juga tidak terbentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi, terdapat banyak investigasi dan forum publik, seperti misalnya, peluncuran buku, film, konperensi akademik, kuliah umum, acara bincang di televisi, dan sejumlah penggalian dan identifikasi kuburan massal. Tambahan lagi, peneliti di berbagai propinsi berhasil memperoleh informasi baru. Begitu juga, wartawan menerbitkan banyak tulisan mengenai pembunuhan itu. Para editor Tempo, mingguan terkemuka di Indonesia, setelah menonton The Act of Killing, membentuk sebuah tim wartawan untuk mewawancarai sejumlah pelaku sipil mirip Anwar Congo, di seluruh negeri. Tempo edisi khusus yang terbit Oktober 2012 segera terjual habis, dan fotokopinya dijual dengan harga lebih tinggi dari harga pasar (Tempo 2012).

Ini untuk pertama kali cerita tentang para algojo muncul di majalah itu sejak terbit empatpuluh satu tahun yang lalu. Penelitian-penelitian baru ini hanya menyentuh permukaan dari serangkaian kejadian rumit yang berlangsung selama berbulan-bulan di seantero negeri kepulauan dengan penduduk sekitar 100 juta jiwa pada pertengahan 1960-an. Dibandingkan dengan literatur tentang kasuskasus genosida yang lain di abad ke duapuluh, literatur mengenai genosida politik di Indonesia masih jarang dan kurang berkembang (Cribb 2009). Namun demikian, penelitian-penelitian yang baru ini memungkinkan beberapa pola muncul dengan lebih jelas, misalnya, pola cara pelaku menyembunyikan jejak-jejak pembantaian. Sekarang juga diperoleh lebih banyak bukti yang menjelaskan mengapa hampir tidak ada bukti.

Banyak korban, dari Aceh di Indonesia bagian barat sampai Flores di Indonesia bagian timur dihilangkan dengan pola yang sungguh serupa. Penelitian-penelitian yang baru ini juga menyiratkan bahwa pandangan konvensional tesis dualistik perlu dipikirkan kembali. Mulai terungkap bahwa satu faksi komando tertinggi ABRI di Jakarta, Suharto bersama klik perwiranya, tampaknya jauh lebih banyak berperan dalam mengatur pembunuhan daripada yang diduga semula.

 

PERNYATAAN RESMI: KEKERASAN SPONTAN

Sumber primer mengenai pembunuhan itu sedikit sekali jumlahnya, dan peneliti-peneliti harus menyaring bukti-bukti dan petunjuk yang anekdotal, terpisah-pisah dan tidak dapat dipercaya, bahkan ada yang curang (Roosa 2013). Surat-surat kabar berbahasa Indonesia, sumber utama yang biasanya dipergunakan untuk membangun rancangan awal sejarah, tidak membuat laporan tentang eksekusi-eksekusi, walaupun terkuak dari kasus Medan bahwa beberapa wartawan, bertugas sebagai eksekutor dan memiliki informasi tangan pertama. Mestinya beribu-ribu pembantaian terjadi di seluruh negeri, namun tidak ada satupun foto tentang peristiwa itu (Strassler 2005).

Begitu pula jejak dokumentasi resmi sangat sedikit; hanya beberapa dokumen pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan pembantaian muncul ke permukaan (Indonesia 1986). Sebagian besar sumber-sumber primer adalah laporan wartawan asing dan diplomat asing yang pada saat itu berada di Indonesia (Schaefer and Wardaya 2013; Simpson 2008). Rezim Jenderal Suharto, dari 1966 sampai 1998, memilih tetap diam dan tidak membicarakan pembunuhan dengan semangat anti-komunis. Pemerintah tidak pernah menugaskan siapapun untuk menulis buku yang menjelaskan, membenarkan, atau mengingkari peristiwa itu; malah peristiwa itu diperlakukan sebagai bukan-peristiwa, seakan-akan tidak pernah terjadi atau tidak bermanfaat untuk dibicarakan.

Buku Sejarah Nasional Indonesia berjumlah 6 jilid, yang disponsori negara dan ditulis oleh pakar sejarah negeri ini pada 1970- 1980 hanya memuat satu kalimat tentang pembunuhan massal—sebuah kalimat yang tidak faktual dan sangat ambigu: “Hanya di daerah Jawa Timur dan Bali timbul kekacauan culikmenculik dan pembunuhan-pembunuhan, yang dalam waktu yang singkat berhasil ditertibkan kembali” (Poesponegoro dan Notosusanto 1990, 6:403–4).

Kalimat tersebut menghindari untuk menyebut para korban maupun para pelaku dan menyiratkan seakan-akan warga sipil dengan spontan saling menyerang sehingga negara akhirnya ikut campur dan menghentikan pertikaian mereka. Semua narasi sejarah yang dibuat rezim Suharto merayakan penumpasan Partai Komunis Indonesia atau PKI tetapi dengan hati-hati menghindari menyebut pertumpahan darah yang terjadi (Roosa 2012). Sampai hari ini buku-buku pelajaran sejarah yang digunakan di sekolah-sekolah, bahkan tidak menyebut terjadinya penculikan dan pembunuhan, apa lagi menyebut pembantaian yang dilakukan waktu menumpas PKI (Leksana 2009).

Sejak akhir 1965 propaganda negara memusatkan diri pada satu peristiwa tunggal: Gerakan 30 September. Menurut dugaan, PKI mendalangi gerakan militer yang menculik dan mengeksekusi enam jenderal Angkatan Darat di Jakarta di awal bulan Oktober 1965. Tentara Suharto menganggap setiap anggota PKI, dan setiap anggota organisai yang berafilisi dengan PKI, bertanggung jawab atas pemberontakan terhadap komando tertinggi ABRI yang singkat dan cepat dipadamkan itu (Roosa 2006). Satu pelajaran sejarah yang harus dikuasai setiap murid Indonesia ialah bahwa PKI harus ditumpas karena bertanggung jawab atas tindakan pengkhianatan yang mengerikan dan biadab. Gerakan 30 September (G30S) membunuh dua belas orang (empat di antaranya salah sasaran) dan hanya berlangsung selama dua puluh empat jam di Jakarta.

Namun, seni naratif gaib yang dimiliki ahli-ahli perang urat saraf telah berhasil mengubah G30S menjadi pemberontakan nasional yang masif dan menyebutnya sebagai kejahatan terburuk yang terjadi terhadap Indonesia. Alhasil, murid-murid sekolah telah belajar banyak tentang G30S, tetapi tidak belajar apa-apa tentang ratusan ribu orang yang dibunuh atas nama penumpasan gerakan itu. 4 Kalau melihat propaganda antikomunis yang diedarkan oleh tentara setiap hari melalui pers setelah 1 Oktober 1965, jelaslah bahwa tentara menghasut rakyat untuk mengambil tindakan terhadap PKI. Tentara mengendalikan surat kabar dan radio dan tetap menyebarkan cerita karangan tentang kekejaman dan pengkhianatan PKI. Tentara mendorong rakyat untuk bergabung dengan kampanye menumpas, mengganyang, membasmi PKI.

Tetapi propaganda itu tidak secara eksplisit menyuruh rakyat membunuh komunis. Jadi, propaganda itu sendiri tidak membuktikan bahwa tentara bertanggung jawab atas pembunuhan massal yang terjadi. Bisa diperdebatkan bahwa tentara Suharto hanya berniat untuk menangkap dan menahan sejumlah besar pendukung PKI, namun kehilangan kendali; warga sipil yang berada di luar kendali tentara, mengambil keuntungan dari masa krisis itu, dan membunuh orang-orang yang mengancam keselamatan harta kekayaan mereka dan menantang kewibawaan mereka. Pada saat terjadinya pembunuhan, para jenderal ABRI cenderung mengingkari tanggung jawab atas kejadian itu.

Bahkan ketika mereka memberikan laporan ke Presiden Sukarno, panglima tertinggi mereka, mereka mengatakan bahwa mereka telah berusaha keras untuk menghentikan pembunuhan, dan bukannya melakukan pembunuhan. Tentara memastikan bahwa Fact Finding Commission (FFC) yang dibentuk Sukarno pada akhir Desember 1965 untuk menginvestigasi pembunuhan, tidak bekerja dengan serius dan membuat permakluman atas perlunya pembunuhan. Duta besar Amerika Marshall Green melaporkan ke State Department bahwa tentara akan mengatur agar FFC “mati secara alamiah” (Green 1965). FFC tidak mati, tetapi bisa dikatakan mati juga: sedikit sekali fakta yang termuat dalam laporan singkat terakhir yang dibuatnya pada 10 Januari 1966.

Laporan tersebut menyajikan sebuah narasi besar sejarah yang dengan struktur tiga bagian: prolog-peristiwa-epilog. Menurut narasi ini, selama bertahuntahun kelompok komunis telah memusuhi warga Indonesia yang taqwa dan patriotik (prolog), dan kemudian dengan meluncurkan sebuah pemberontakan yang disebut Gerakan 30 September (peristiwa) telah memprovokasi kemarahan warga (epilog). Jadi, pembunuhan massal adalah respon alami terhadap pemberontakan PKI yang tidak bisa dihindarkan. Menurut FFC, tentara berusaha menghentikan pembunuhan tetapi tidak berhasil mengendalikan massa yang bertekad untuk melepaskan kemarahan mereka yang terpendam dan ingin membalas dendam.

Selain mempersalahkan warga sipil atas pembunuhan yang terjadi karena bereaksi terlalu emosional, laporan FFC sebetulnya juga memasukkan sebuah fakta yang signifikan. FFC mengaku, tanpa menyebut kasus-kasus yang spesifik, bahwa beberapa pejabat negara telah melakukan penghilangan paksa: “adanya execusi-execusi oleh instansi-instansi terhadap oknumoknum G.30.S. jang tidak diumumkan setjara resmi kepada keluarganja.” Laporan itu kemudian membenarkan taktik menghilangkan tahanan: “Execusi-execusi jang dianggap wadjar pada operasi-operasi keamanan dalam rangka penekanan pemberontakan.” Namun laporan itu menambahkan sebuah keberatan, yakni, dengan “tidak diumumkan setjara resmi kepada keluarganja,” tersirat seolah-olah eksekusi-eksekusi itu merupakan tindakan liar yang tidak di bawah kendali negara (Oei Tjoe Tat 1995, 355).

Tampaknya keberatan ini tidak cukup serius untuk meyakinkan tentara agar menghentikan kegiatannya. Dengan tidak memecat panglima Angkatan Darat, Mayor Jenderal Suharto (yang kemudian menjadi Letnan Jenderal), yang jelas-jelas telah gagal dalam tugas memulihkan ketertiban, Sukarno secara implisit mendukung narasi Suharto – bahwa tentara telah melakukan yang terbaik untuk menghentikan gelombang besar kekerasan yang terjadi. Sukarno tidak mencela narasi itu, pun juga tidak mengutarakan narasi alternatifnya sendiri.

Sejak awal pemerintahan tunggal Sukarno, Demokrasi Terpimpin pada 1959, Sukarno merupakan sumber segala kebenaran dalam kancah politik Indonesia. Para politisi bersaing untuk membuktikan 1 Setelah 1966, fotokopi laporan FFC beredar antara peneliti. Sepanjang pengetahuan saya, laporan itu pertama kali diterbitkan pada 1995 sebagai lampiran pada otobiografi Oei Tjoe Tat, seorang menteri dalam kabinet Soekarno yang bertugas dalam komisi tersebut (Oei Tjoe Tat 1995, 348–66).  loyalitas mereka ke padanya. Sukarno adalah ”penyambung lidah rakjat”; pidato-pidatonya di Hari Kemerdekaan mengartikulasikan makna eksistensial bangsa Indonesia – dari mana asal bangsa Indonesia, di mana posisi bangsa Indonesia, dan ke mana arah langkah bangsa Indonesia.

Tetapi dalam menghadapi pembantaian yang terjadi, anehnya Sukarno bisu; ia tidak menawarkan cara kepada rakyat untuk dapat memahami teror yang terjadi di sekitar mereka. Sukarno tidak pernah mengumumkan laporan FFC kepada rakyat. Dalam pidatonya di depan kabinet dan di depan pers lima hari setelah menerima laporan FFC, ia hanya mengumumkan jumlah orang yang dibunuh menurut perkiraan FFC. Ia berpaling kepada korps wartawan dan mengatakan: “Hei wartawan, kalau sekarang kau tulis awas….yang diketahui oleh Fact Finding Commission saja 87,000 orang, ya laki, ya perempuan sudah dibunuh!” (Setiyono and Triyana 2003, 362). Inilah angka yang dilaporkan surat kabar di seluruh dunia (New York Times 1966).

Tidak menjadi soal bahwa Sukarno ceroboh dan salah membaca angkanya. Angka FFC yang sebenarnya, 78.500, sama sekali tidak dapat dipercaya karena tidak berdasarkan penghitungan yang rinci. Sukarno mungkin ceroboh dalam menyebut angka korban karena ia tahu angka itu tidak akurat; ia telah diberi tahu oleh salah seorang loyalisnya di FFC bahwa angka sebenarnya mungkin enam kali lebih tinggi (Oei Tjoe Tat 1995, 192). Di pertemuan yang sama pada 15 Januari 1966, Sukarno mengaku bahwa dalam mingguminggu terakhir ia sering menangis dan mengintrospeksi diri sambil bertanya apakah ia telah berbuat kesalahan. Ia mengajukan pertanyaan yang retoris: “Kita semuanya harus menebus pembunuhan ini dengan sekian puluh ribu, mungkin ratusan ribu daripada jiwanya bangsa kita sendiri?” (Setiyono and Triyana 2003, 362).

Satu-satunya cara ia dapat memahami pembunuhan massal adalah bila tindakan tersebut dilihat sebagai bagian dari rencana perang sipil yang diprovokasi oleh kekuasaan asing yang ingin menumbangkannya. Namun, ia tidak mengidentifikasi orang Indonesia yang berkolaborasi dengan kekuatan asing. Ia juga tidak menuduh Suharto atau jenderal-jenderal ABRI yang lain telah mengorganisir pembantaian itu. Dalam pidatonya yang terakhir pada Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1966, ia tidak menyebut peristiwa pembunuhan itu – agak aneh karena judul pidatonya adalah “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” (Sukarno 1966).

Pada saat itu Suharto sudah menjadikan Sukarno seorang presiden boneka setelah ia tidak dapat mengendalikan pengangkatan menteri-menteri kabinetnya. Pejabat-pejabat rezim baru Suharto tidak mengumumkan laporan FFC ataupun laporan yang lain tentang pembunuhan, namun mereka di tahun-tahun kemudian, sekali-sekali menyinggung peristiwa pembunuhan itu begitu saja tanpa persiapan. Meskipun tidak pernah diumumkan, informasi resmi mengenai pembunuhan yang terjadi adalah bahwa peristiwa itu merupakan kekerasan spontan untuk memadamkan pemberontakan PKI. Sejak 1998, organisasiorganisasi hak asasi dan organisasi-organisasi korban telah menuntut dibentuknya komisi kebenaran dan rekonsiliasi dan permintaan maaf yang resmi (Komnas Perempuan 2007).

Komisi Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang dibentuk pemerintah menuntut agar para pelaku diusut (Komnas HAM 2012). Sebagian besar pejabat negara menjawab tuntutan itu dengan kembali mengacu kepada cerita yang lama, dan bersikeras dengan pendirian bahwa kekerasan yang terjadi dapat dibenarkan, baik sebagai ungkapan kebencian yang tidak bisa dihentikan terhadap PKI, maupun sebagai kampanye militer yang perlu dilakukan untuk memadamkan pemberontakan PKI. PKI lah yang memulai dengan kekerasan, sehingga rakyat dan tentara perlu menggunakan kekerasan untuk menghentikan PKI. Para pejabat tidak mengakui bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang perlu disikapi dengan permintaan maaf oleh pemerintah dewasa ini. Sebagaimana dinyatakan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, “Jadi, yang pertama kali korban itu adalah jenderal kita. Mestinya, mereka [pembunuh jenderal] minta maaf karena sudah melakukan itu kepada negara.” (Kompas 2015).

 

TESIS DUALISTIK AHLI-AHLI SEJARAH

Sumber primer yang paling sering dikutip, Indonesian Upheaval, sebuah buku yang ditulis oleh wartawan Inggris-Amerika, John Hughes, yang membuat laporan dari Jakarta pada 1965–66, memulai gagasan tesis dualistik ini. Hughes berpendapat bahwa di beberapa daerah tentara yang bertanggung jawab atas pembunuhan yang terjadi sedangkan di daerah-daerah lain milisi sipil yang bertanggung jawab.

Tentara di Jawa Tengah “tampaknya memegang kendali besar atas pertumpahan darah yang terjadi, walaupun banyak warga sipil yang juga direkrut untuk membunuh komunis” (Hughes [1967] 2002, 165–66). Di Jawa Timur, perintah eksekusi diberi oleh tentara tetapi pelaksanaannya “sebagian besar diserahkan kepada warga sipil” (166). Di daerah sekitar Medan, Sumatra Utara, komandan Angkatan Darat, Brigjen Kemal Idris, mendapat perintah dari atasannya di Jakarta untuk “membersihkan” komunis: “Tidak seorang pun perlu diberi penjelasan apa artinya ‘membersihkan’” (154).

Bali merupakan pengecualian atas pola pengendalian oleh tentara terhadap kekerasan anti PKI. Hughes berpendapat bahwa di Bali, warga sipil memulai suatu luapan pembunuhan tanpa pandang bulu sehingga akhirnya tentara campur tangan dan memaksa mereka untuk lebih selektif dalam menentukan sasaran mereka. Tentara “terpaksa menghentikan rakyat” di Bali (197). Sejarahwan sering menggunakan bentuk pasif dan bentuk gabungan aktif-pasif untuk menghindari menetapkan si-pelaku. Merle Ricklefs (1993, 287) menulis dalam bukunya A History of Modern Indonesia Since c. 1300: “Dalam bulan Oktober 1965 pembunuhan mulai terjadi. Kekerasan terhadap warga yang diasosiasikan dengan PKI terjadi di seluruh negeri, tetapi pembantaian yang paling buruk terjadi di Jawa dan Bali.”

Pembunuhan mulai, kekerasan terjadi, pembantaian terjadi. Ricklefs memang berusaha memakai dua kalimat dengan kata kerja aktif: di Jawa Tengah, tentara “membantu anak muda mencari komunis” tetapi di Bali tentara sekadar menonton saja ketika “tuan tanah kasta atas PNI memimpin mendesak agar anggota PKI dimusnahkan” (288). Perhatikan bahwa tidak ada kata kerja aktif yang mengungkapkan tindakan membunuh; tentara “memicu” dan “membantu” pembunuhan; warga sipil Bali sekadar “mendesak” agar PKI dibunuh. Pembaca mestinya bertanya-tanya siapa yang sebetulnya melakukan pembunuhan dan bagaimana mereka melakukannya. Korban-korban tampaknya mati dengan sendirinya: “Pendukung PKI gugur” (288).

Uraian Ricklefs memang mengidentifikasi peran tentara dan warga sipil, namun ia menggambarkan tentara sebagai sekadar memprovokasi dan membantu warga sipil yang antikomunis untuk melakukan pembunuhan yang sudah lama ingin mereka lakukan. Di Jawa pada umumnya, pembunuhan diduga merupakan akibat dari sebuah konflik lama antara santri dan abangan. Tentara “mendukung dan mendorong santri Jawa yang fanatik untuk mencari sasaran PKI di antara saudara abangan mereka” (288).

Pemikiran bahwa di beberapa daerah, tentara yang memimpin pembunuhan dan di daerah lain, warga sipil yang memimpin diterima oleh berbagai ilmuwan. Analisis awal di akhir 1970- an oleh Harold Crouch, seorang ahli dalam menganalisis naiknya tentara Indonesia ke jenjang kekuasaan, mengatakan pembunuhan di Jawa Tengah “tetap di bawah kendali tentara” (Crouch [1978] 1988, 151). Tetapi di Jawa Timur, Crouch, berlawanan dengan Hughes, berpendapat bahwa bukan tentara tetapi warga sipil, “yang memimpin serangan ke PKI” (147). Juga di Bali, “perwira ABRI paling tidak secara diam-diam menyetujui rencana warga sipil yang anti-PKI, tetapi pembantaian itu cepat lepas kendali” (152). Di Aceh, warga sipil yang antikomunis, dan sepertinya disemangati oleh gairah religius anti-atheisme, bergerak melawan PKI sebelum tentara mulai mengambil tindakan (142–43). Tambahan lagi, dari beberapa kajian lokal yang ditulis pada 1990-an Robert Cribb menyimpulkan bahwa kejadiannya sangat bervariasi: di beberapa daerah, “militer yang paling banyak melakukan pembunuhan,” sedangkan di daerahdaerah lain “warga lokal yang ganas yang melakukannya”(Cribb 2001, 237).

Ia berpendapat bahwa di beberapa distrik, partisipasi warga sipil begitu ekstensif sehingga “pembunuhan betulbetul kolektif” (Cribb 2010, 452–53). Ahli anthropologi yang melaksanakan kerja lapangan di tempat-tempat tertentu agaknya menemukan kasus-kasus pembantaian dan penghilangan paksa yang diorganisir oleh tentara (Beatty 2009, 50–53; Bowen 1991, 119–22; Hefner 1990, 209–15) 7 tetapi studi-studi kasus seperti itu mudah dijelaskan oleh tesis dualistik. Adrian Vickers, dalam bukunya yang sangat bagus mengenai sejarah Indonesia, telah menyimpulkan pandangan umum berikut: “Di banyak daerah tentara membimbing kelompok-kelompok sipil dalam memilih siapa yang harus menjadi sasaran, atau mendukung milisi lokal, Tetapi di tempat lain tindakan main hakim sendiri mendahului tindakan tentara” (Vickers 2005, 157–58).

Sebuah kajian baru oleh seorang yang bukan ahli sejarah Indonesia yang sangat mendalami literatur dalam bahasa Eropa, sampai pada simpulan yang sama: pembunuhan massal dilakukan oleh “koalisi” personalia tentara dan sipil; pentingnya peran kedua pihak bervariasi menurut daerah. Christian Gerlach, seorang peneliti Jerman, menulis sebuah analisis penuh dengan catatan kaki; ia berpendapat peran tentara sangat dibutuhkan tetapi terbatas. Ia menekankan pada “ciri partisipatoris” yang ada pada kekerasan yang terjadi, sambil menyebut Aceh, Jawa Timur, dan Bali sebagai daerah yang warga sipilnya yang antikomunis maju sendiri menyerang warga sipil yang komunis. Tesisnya yang utama ialah bahwa kekerasan itu sebagian besar timbul dari konflik yang ada di dalam masyarakat Indonesia, dan bukan sesuatu yang dipaksakan dari atas oleh tentara (Gerlach 2010, 30–31).

Sejalan dengan judul buku Gerlach, masyarakat Indonesia adalah salah satu dari sejumlah “masyarakat yang sangat ganas.” Para sejarahwan Indonesia yang terkemuka membenarkan tesis dualistik ini. Taufik Abdullah, misalnya, dengan dana dari Kementerian Pendidikan di 2005, melaksanakan proyek penelitian yang besar tentang peristiwa-peristiwa 1965–66 dan menerbitkan tiga jilid buku tebal yang memuat kontribusi berbagai pakar sejarah. Abdullah dan rekan editornya berpendapat bahwa pembunuhan yang terjadi tidak menunjukkan adanya pola nasional; waktu dan intensitas kekerasan beragam dari propinsi ke propinsi. Satu-satunya konflik yang mereka anggap layak dikaji adalah “konflik lokal,” dan konflik-konflik itu sebagian besar didorong oleh pergumulan antara kelompok-kelompok sipil memperebutkan kekuasaan dan sumber kekayaan.

Peran tentara hanya sekunder: tentara memberikan dukungan logistik kepada kelompok sipil anti-PKI dan memberikan ijin untuk membunuh; jarang sekali tentara mengorganisir dan melaksanakan pembunuhan itu sendiri (Abdullah, Abdurrachman, and Gunawan 2012, xii–xxix). Di tahun-tahun kemudian, milisi sipil cenderung bingung menentukan seberapa besar tanggung jawab yang harus mereka pikul untuk eksekusi-eksekusi itu.

Pimpinan Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi Islam yang sangat terlibat dalam pembantaian di Jawa Timur, secara bergantian membawakan dirinya sebagai abdi negara yang setia, mengikuti dengan patuh perintah tentara, dan sebagai pejuang yang heroik dan seorang diri mengalahkan PKI yang jahat itu. Salah satu narasi NU mengenai perannya, dan yang untuk pertama kali di dalam isi buku, bermaksud untuk membuktikan bahwa kelompok milisinya, Banser, telah menempatkan dirinya sebagai abdi tentara: “aksi-aksi penumpasan yang melibatkan Banser selalu berada pada garis komando alias perintah dari pihak tentara” (Sunyoto 1996, i). Itu terjadi pada 1996 ketika partai sayap kiri yang baru dibentuk, Partai Rakyat Demokratik (PRD), menyalahkan rezim Suharto atas pembantaian 1965–66.

Pemimpin-pemimpin NU lalu menjadi cemas kalau para perwira militer akan cuci tangan dan meletakkan kesalahannya kepada NU. Informasi resmi NU berubah pada 2013, ketika film The Act of Killing dan edisi khusus Tempo dibahas secara luas. Kemudian para pemimpin NU khawatir kalau cerita yang diungkapkan oleh mereka yang melakukan atau menyaksikan eksekusi di Jawa Timur akan menggambarkan anggota Banser sebagai preman yang tidak berperasaan dan yang siap diperintah tentara. Pada 2013, pimpinan NU ingin menekankan bahwa NU bertindak sendiri dan tidak diperalat tentara: “tanpa disuruh TNI pun, NU dengan sendirinya berhadapan dan berbenturan dengan PKI, karena PKI merupakan musuh yang sudah berkonflik selama beberapa dasawarasa” (Mun’im DZ 2013, 20).

Dari dua buku NU ini, 1996 dan 2013, sulit untuk menggambarkan hubungan antara NU dan tentara. Tidak seperti buku kedua, buku yang pertama paling tidak berusaha untuk memberikan informasi faktual tentang kekerasan yang terjadi, lengkap dengan tanggal, nama tempat dan nama individu yang memberikan informasi. Buku tersebut mengakui bahwa anggota kelompok militer NU, Banser, menyerang kantor-kantor dan rumah-rumah PKI dan membunuh anggota PKI yang berada di dalamnya (Sunyoto 1996, 110–36). Buku itu juga mendeskripsikan bagaimana anggota Banser menerima kumpulan-kumpulan tahanan dari tentara untuk dieksekusi.

Misalnya, satu anggota Banser dari sebuah distrik dekat Kediri, menyatakan bahwa kelompoknya terlibat dalam penangkapan kurang lebih 6.000 orang (angka ini sepertinya berlebihan), menggiring mereka ke suatu lapangan terbuka dan menyuruh mereka membuat perkemahan sementara, mengambil kumpulan tiga puluh sampai empat puluh tahanan setiap malam dan membawanya ke hutan, kemudian mengeksekusi mereka serta mengubur mayatmayatnya di sebuah kuburan massal (155–56). Ke lima anggota Banser yang ceritanya tentang eksekusi muncul dalam buku, menyebutkan bahwa perintah untuk mengeksekusi tahanan datang dari perwira tentara (153–60).

Buku itu tidak sepenuhnya dapat dipercaya karena pernyataannya banyak yang tidak masuk akal, antara lain: pembantaian-pembantaian ini baru terjadi sesudah Maret 1966 ketika Suharto melarang dan membubarkan PKI, seolah-olah pelarangan PKI memberi pembenaran legal kepada pembunuhan di luar hukum. Dua ilmiawan Australia yang berusaha menentukan peran NU menyimpulkan bahwa NU tidak memainkan peran yang serba patuh dan sekunder dalam peristiwa pembunuhan itu (Fealy dan McGregor 2012, 129).

Namun pola pembunuhan yang mereka deskripsikan adalah pola yang digunakan tentara untuk menentukan apakah tahanan perlu dibantai atau tidak (120, 124– 25). Walaupun anggota NU dengan semangat mendukung tindakan represif terhadap PKI (penangkapan besar-besaran, serangan terhadap kantor-kantor dan rumah-rumah, pemukulan dan pembunuhan), belum jelas apakah mereka yang memulai dan mengorganisir penghilangan paksa para tahanan.

Peran tentara dan milisi sipil masing-masing dibahas dalam film Joshua Oppenheimer kedua tentang ingatan sosial mengenai pembantaian di Sumatra Utara, The Look of Silence (Senyap) (2014). Dalam satu adegan, penonton melihat dua warga sipil dalam sebuah perkebunan sekitar Medan memerankan kembali pembunuhan kejam yang mereka lakukan di pinggir sungai. Seorang dari mereka, Amir Hasan, adalah guru dan seniman amatir. Dia dan temannya, Inong, menggambarkan bagaimana tentara menyerahkan satu truk tahanan yang diikat dan ditutup matanya dan menyuruh mereka mencincangnya dengan golok dan membuangnya ke dalam Sungai Ular. Mereka mengerti bahwa mereka digunakan oleh tentara sebagai alat untuk menutup kesalahan tentara: “kalau nanti dikatakan perjuangan pemerintah, ini dunia jadi marah, ya kan … kalau pemerintah membasmi PKI,” begitu mereka jelaskan ke pada Oppenheimer.

Mereka mengakui peran mereka ialah untuk membuat narasi tentara masuk akal, yakni bahwa terjadi kekerasan yang dilakukan secara spontan oleh massa yang bergerak dengan sigap. Tetapi mereka juga tetap tampak bangga atas perbuatan mereka, seakan-akan melalui kekerasan itu mereka telah membuktikan kejantanan mereka dan menambah kekuasaan mereka di masyarakat lokal. Film itu berakhir dengan perjumpaan janda dan putra-putra Hasan dengan kerabat salah seorang korban Hasan; mereka mati-matian menyangkal bahwa mereka mengetahui pekerjaan Hasan sebagai algojo, meskipun mereka sebelumnya sudah membahasnya dengan Oppenheimer. Di suatu saat dan tempat itu lah, mereka memahami bahwa sebuah rahasia umum harus tetap dirahasiakan, walaupun mereka tahu bahwa semua orang sudah tahu.

 

STUDI-STUDI KASUS: ACEH DAN BALI

Dalam literatur mengenai peristiwa pembunuhan 1965–66, tercapai konsensus atas tesis dualistik: di beberapa daerah tentara yang memimpin, di daerah lain milisi sipil yang memimpin. Konsensus ini bukan berarti tesis dualistik itu benar. Konsensus itu mungkin tercapai sematamata karena bukti-bukti peristiwa itu masih terlalu sedikit dan tak meyakinkan sehingga tidak memungkinkan adanya analisis yang lebih baik dan lebih akurat. Satu cara untuk menguji validitas tesis itu ialah dengan memeriksa peristiwa pembunuhan itu di dua propinsi yang, menurut hampir semua penulis, pembunuhannya sebagian besar dilakukan oleh warga sipil, yaitu: Aceh dan Bali.

Kaum Muslim di Aceh dan kaum Hindu di Bali dikatakan begitu marah atas kurangnya rasa hormat PKI terhadap tradisi agama yang dianggap sakral, dan tidak bisa 9 mengendalikan kemarahan mereka. Kajian-kajian yang lebih baru tentang Aceh and Bali memperlihatkan bahwa karakterisasi ini tentang pembunuhan sama sekali tidak tepat. Penelitian Jessica Melvin di Aceh menunjukkan dengan meyakinkan bahwa komandan tentara untuk Aceh Brigjen Ishak Djuarsa, memulai pembunuhan dengan berkeliling propinsi di awal Oktober 1965 dan memberi perintah kepada bawahannya untuk mengatur pembunuhan orang-orang yang berafiliasi dengan PKI.

Melvin menemukan dokumen-dokumen militer yang disimpan dalam arsip pemerintahan propinsi dan mewawancarai lebih dari tujuh puluh orang. Dokumen-dokumen tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa komandan-komandan militer menekan organisasi-organisasi nonkomunis di propinsi untuk bergabung dengan kampanye untuk membunuh mereka yang diduga komunis (Melvin 2015). Djuarsa mungkin tidak menerima perintah langsung dari atasannya di Jakarta untuk mengadakan kampanye ini, tetapi ia dengan jelas berkolaborasi dengan atasan langsungnya, Letnan Jenderal Ahmad Mokoginta, yang merupakan komandan seluruh pulau Sumatra dan sering berkomunikasi dengan temantemannya, jendral-jendral senior di Jakarta. Satu kontribusi penting penelitian Melvin adalah fokusnya kepada apa yang dia sebut “mekanisme pembunuhan massal”— yakni, bentuk-bentuk kekerasan.

Dia membedakan dua fase pembunuhan. Fase pertama ialah ketika milisi sipil, setelah dimobilisasi tentara, merangsek, melintasi kota dan desa, membunuh mereka yang dikaitkan dengan PKI dan meninggalkan mayat-mayat di jalan-jalan.Tentara di Aceh melacak dan merekam jumlah orang yang meninggal dalam apa yang disebut “pembunuhan di muka umum”; angka terakhir yang tercatat ialah 1,941. Namun fase ke dua, menghasilkan jumlah korban tewas yang lebih besar: tentara memerintahkan agar tahanan dibantai. Dalam fase ini, bertruk-truk kelompok tahanan diambil dari penjara dan kamp tahanan dan dieksekusi di daerah terpencil yang tidak ada atau sedikit sekali saksinya. Korban-korban hilang tanpa jejak.

Pembunuhan semacam inilah yang didramatisasi dalam film Garin Nugroho, Puisi tak Terkuburkan, 2000, tentang seorang penyair Aceh yang ditahan, Ibrahim Kadir; ia menyaksikan teman-temannya sesama tahanan pada malam hari dibawa untuk dieksekusi. Seperti di Aceh, pembunuhan di Bali juga merupakan sebuah operasi militer. Dari penelitian Geoffrey Robinson pada 1990an terungkap peran krusial Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) dalam memulai pembantaian di Bali pada awal Desember 1965 (Robinson 1995, 273–303). Ia menunjukkan bagaimana gubernur Bali, A.A.B. Sutedja, dan komandan militer di Bali, Brigjen Sjafiuddin, yang keduanya setia kepada Presiden Sukarno, mencegah kampanye pembunuhan oleh kelompok antikomunis di bulan Oktober dan November.

Mereka sementara melarang PKI dan memerintahkan anggota PKI untuk melapor secara teratur kepada penguasa setempat. Tetapi mereka tidak mengijinkan jenis pembunuhan massal yang sudah terjadi di propinsi lain, seperti di Aceh, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Mereka melakukan yang juga dilakukan komandan Jawa Barat, seorang Sukarnois, Mayor Jenderal Ibrahim Adjie, pada saat itu (Herlina 2012).

Namun, berbeda dengan Adjie, mereka tidak berhasil menangkis intervensi dari Jakarta. Setelah terjadi pembunuhan seorang perwira polisi dan dua orang milisi di sebuah desa, Tegalbadeng, pada 30 November, pasukan antikomunis lokal, termasuk mereka di dalam korps perwira yang ditempatkan di Bali, menyatakan bahwa PKI memulai sebuah serangan dan perlu ditindas lebih tuntas. Komando militer pusat di Jakarta mengirim pasukan RPKAD ke Bali pada 7-9 Desember untuk menopang pasukan di Bali dan menyerukan agar tindakan lebih keras dilancarkan terhadap PKI (Kammen and Jenkins 2012).

Buku Melvin, Mechanics of Mass Murder: How the Indonesian Military Initiated and Implemented the Indonesian Genocide, the Case of Aceh, berdasarkan disertasi PhD di Melbourne University, akan terbit. 10 Penelitian saya sendiri mengenai Bali bertumpu pada penelitian Robinson dengan menginvestigasi pembantaian-pembantaian tertentu.3 Pembantaian yang paling terkenal adalah yang dilakukan terhadap pimpinan tertinggi komite PKI di propinsi dan tokoh Bali terkemuka yang telah mendukung PKI. Pembantaian itu terjadi di Kapal, sebuah desa kira-kira 12 kilometer dari Denpasar.

Saya belum bisa menemukan satu pun dokumen tentang peristiwa ini. Sedikit sedikit saya kumpulkan fakta-fakta dari wawancara dengan tujuh saksi mata (lima di antaranya dulu merupakan anggota milisi antikomunis) dan lima orang kerabat korban. Korban-korban pembantaian Kapal merupakan beberapa di antara tokoh publik yang paling terkemuka, karena itu berita tentang pembantaian ini beredar di seluruh Bali, sampai-sampai menjadi bahan rumor dan legenda. Setelah saya mengambil sari dari berbagai cerita yang berbeda, saya akhirnya menentukan bahwa pembantaian itu terjadi pada malam 16 Desember dan menghilangkan jiwa tiga puluh lima orang. Ini berarti di pertengahan Desember pemimpin-pemimpin PKI masih hidup.

Banyak dari tokoh-tokoh yang dibunuh di Kapal sebelumnya berada di bawah perlindungan polisi Denpasar. Namun, pasukan RPKAD merebut mereka dari tempat penahanan mereka, mengikat dan menutup mata mereka dan membawa mereka dengan truk ke lapangan kremasi (setra) di Kapal, dan kemudian merobohkan mereka dengan senapan mesin. Dalam aksi ini, atas desakan RPKAD, peran milisi antikomunis lokal di Kapal ialah menyiapkan tempat eksekusi, menggali kuburan massal, dan membunuh seorang korban, orang yang dianggap sebagai pemimpin PKI di Bali.

Tidak satu pun keluarga para korban menerima pemberitahuan resmi mengenai kematian mereka. Keluarga hanya mendengar desas-desus. Salah seorang di Kapal yang menggali kuburan massal di siang hari dan pada malam harinya menyekop kembali tanah galian untuk menutup tubuh para korban, ingat bahwa perwira militer yang mengawasi operasi tersebut mengatakan kepada mereka setelah pekerjaan yang melelahkan itu selesai, “Bila ada yang ke sini menanyakan kejadian di sini, bilang saja ‘saya tidak tahu.’”

Di Bali tidak ada pemilahan fase yang jelas tentang “pembunuhan di muka umum” seperti di Aceh. Hampir semua pembunuhan merupakan pembantaian tahanan. Kelompok antikomunis memang membunuh beberapa orang dalam minggu antara insiden Tegalbadeng dan saat tibanya RPKAD, namun sebagian besar pembantaian terjadi setelah RPKAD datang. Satu dokumen yang saya temukan adalah laporan tentang pertemuan antara partai politik antikomunis yang utama di Bali, Partai Nasional Indonesia (PNI), dengan tentara di Desember 1965.5 Laporan itu disusun oleh notulis PNI. Menurut catatan itu, seorang komandan Kodim mengumpulkan pimpinan PNI dan dua partai antikomunis yang lain di Kodim daerah Denpasar pada tanggal 10 Desember, segera setelah pasukan RPKAD tiba, untuk membahas bagaimana “menumpas Gerakan 30 September.”

Dalam rapat itu mereka sepakat agar pembunuhan berlangsung meluas – setiap anggota PKI merupakan sasaran – tetapi harus dilakukan dengan hati-hati. “Djangan demonstratif. Tidak dilihat oleh anak, perempuan dan orang2 jang tidak perlu tahu.” Pembantaian di Bali adalah hasil sebuah operasi militer, yang dimulai oleh seorang perwira RPKAD, Mayor Djasmin; dia yang menciptakan dan mengendalikan sebuah jaringan warga sipil yang anti-PKI, yakni Badan Koordinasi Kesatuan Aksi Pengganjangan Kontrev Gestapu, yang oleh anggota-anggotanya dikenal sebagai KOKAP, yang dibentuk pada tanggal 9.

Hasil pertama penelitian ini akan diterbitkan pada akhir 2016 dalam sebuah biografi berbahasa Indonesia tentang seorang pengusaha, anggota parlemen dan veteran dalam perjuangan antipenjajahan, yaitu I Gede Puger. Ia salah satu orang yang dieksekusi dalam pembantaian di Kapal. 4 Komunikasi pribadi dengan Wayan (pseudonym), Kapal, 2 Agustus, 2013.

Dokumen tersebut berjudul “Catatan dari Rapat Dewan Daerah, PNI” tertanggal 22December, 1965. Direproduksi dalam Hidayat (1999, 115–18). 11 December atas perintahnya. Pasukan RPKAD di bawah pimpinan Djasmin bukan dikirim karena Bali kekurangan personil militer; jumlah prajurit yang ditempatkan di Bali lebih dari cukup untuk melaksanakan operasi pembunuhan warga sipil yang tidak bersenjata. Tujuan RPKAD adalah untuk menimbulkan rasa takut di kalangan perwira militer, polisi, dan pejabat negara di Bali yang tidak setuju dengan operasi yang demikian. Tidak mengherankan bahwa di tahun-tahun kemudian, Djasmin menolak memikul tanggung jawab atas pembantaian yang terjadi. Ia mengatakan kepada salah seorang peneliti bahwa perannya di Bali ialah untuk menghentikan pembunuhan yang dilakukan oleh warga sipil Bali (Conboy 2003, 149).

 

SIMPULAN

Bahwa pembunuhan di Aceh dan Bali dicatat dalam buku-buku sejarah sebagai pekerjaan massa yang mengamuk dan haus darah menggambarkan keberhasilan militer dalam menyembunyikan dan mengaburkan peran mereka yang sebenarnya. Militer waktu itu tidak ingin berada di garis terdepan dan dianggap berjasa melakukan pembantaian. Masuk akal – mereka yang bertanggung jawab atas perbuatan kejam dan keji jarang ingin tindakan dan perbuatan mereka didokumentasi dengan rinci dan diterbitkan secara luas.

Di Aceh dan Bali dapat diamati pola pembunuhan yang sama yang juga menjadi pola pembunuhan di tempat lain di Indonesia. Peneliti-peneliti yang mengkaji pembantaian di Sumatra Utara, Jawa Tengah, dan Flores menemukan bahwa tentara memimpin operasi-operasi untuk menghilangkan sejumlah besar warga yang dituduh komunis (Elsam 2012, 2013; McGregor 2012 Oppenheimer and Uwemedimo 2009; Prior 2011; Tri Hasworo 2004; van Klinken 2013). Wawancara Tempo dengan pelaku-pelaku sipil dari Jawa Timur, Palembang, dan Palu juga mengungkapkan pola penghilangan paksa yang sama (Tempo 2012, 56–72, 100, 106–7).

Tesis dualistik tidak menangkap keseragaman yang mencolok yang ada dalam deskripsi kejadian di daerah-daerah yang demikian terpencar. Walaupun terdapat perbedaan dalam aksi kekerasan oleh antikomunis, namun, lintas propinsi, tampak cara menghilangkan orang-orang yang sudah ditahan berlangsung dengan sangat ajeg. Teramati bahwa personalia militer mengorganisir warga sipil, mengelola kamp-kamp tahanan, dan mengatur truk-truk untuk mengangkut para tahanan ke tempat eksekusi. Sulit dipercaya bahwa di daerah-daerah yang tersebar luas ini, personalia militer dan kelompok milisi secara sendiri-sendiri/independen menggunakan metode yang sama dalam menghilangkan tahanan.

Pasti ada instruksi dari Suharto dan jenderal-jenderal sekutunya di Jakarta ke bawahan mereka untuk mengorganisir pembunuhan dengan cara khas seperti itu. Berdasarkan kajian-kajian lokal yang telah dilakukan sampai saat ini, peneliti-peneliti sekarang sanggup menelusuri kembali rantai komando dan memeriksa pembuatan keputusan sampai ke komando tertinggi di Jakarta.

Seandainya dokumen militer internal dapat dibuka ke publik, sebagaimana dokumen pemerintah Amerika tentang Indonesia pada 1965-66 juga telah tersingkap, dapat diharapkan peneliti dapat memperoleh bukti lebih banyak untuk mematahkan pendekatan dualistik. Sebetulnya represi PKI dapat dicapai, seperti di Jawa Barat, tanpa pembantaian besarbesaran.

Pertanyaan-pertanyaan kita sekarang: kapan dan mengapa komando tertinggi tentara di bawah Suharto memutuskan untuk melaksanakan penghilangan paksa secara massal? Bagaimana mereka mengatasi perlawanan dari dalam militer, polisi, dan pemerintahan sipil untuk memastikan rencana mereka dapat dijalankan?

Banyak cerita saat itu, yang tidak tertulis, mengatakan bahwa kelompok nonkomunis, dari tingkat desa sampai istana, berusaha mencegah militer melakukan pembantaian. Mungkin sekali perlawanan inilah yang menyebabkan adanya keragaman dalam pola nasional. Di propinsi-propinsi yang pimpinan militer dan pemerintahan sipilnya bersatu mendukung kebijakan Suharto, seperti di Aceh, pembantaian terjadi lebih awal; daerah-daerah yang pimpinan militer dan sipilnya tidak bersatu untuk mendukung rencana pembantaian, seperti di Bali, pembantaian baru terjadi setelah perlawanan militer dan sipil teratasi.

Presiden Sukarno tidak memecat Suharto atau mengungkap rencana pembantaiannya; ia mengimbau semua pihak tetap tenang dan mendesak semua pejabat negara untuk mencegah pembunuhan. Pada akhir Oktober 1965, semua Pangdam memahami bahwa mereka menghadapi dua perintah berbeda: satu dari komandan tentara, Suharto, yang mengatakan bahwa mereka harus membunuh, dan satu dari presiden, Sukarno, yang memerintahkan bahwa mereka tidak boleh membunuh.

Dalam situasi demikian mereka harus menebak pemimpin yang mana yang lebih kuat dan akan bertahan. Beberapa pembantaian, seperti yang terjadi antara Februari dan April 1966 di Flores, yang jumlah anggota PKInya kecil dan tidak merupakan ancaman (Prior 2011; van Klinken 2013), tampaknya diorganisir oleh perwira militer untuk memajukan karir mereka sendiri. Mereka ingin membuktikan kepada atasan mereka bahwa mereka pejuang yang heroik dalam usaha pemberantasan PKI, dan tidak menaruh simpati kepada Sukarno.

Dengan menganalisis bentuk-bentuk kekerasan yang telah membunuh begitu banyak orang, penelitian-penelitian baru mulai menyingkap betapa mengerikan pembantaianpembantaian itu. Juga, sekarang bisa diungkapkan cerita-cerita pelaku yang berupa pembenaran diri, seperti “PKI yang menyerang”, “PKI menciptakan situasi ‘membunuh atau dibunuh,’” “saat itu keadaan perang,” dan sebagainya. Namun, eksekusi diam-diam, dan berdarah dingin terhadap sejumlah besar tahanan yang diikat, tidak mungkin bisa dibenarkan.

Bila para pelaku bersikeras menyatakan bahwa saat itu memang keadaan perang, maka mereka harus mengakui bahwa tindakan mereka harus digolongkan sebagai kejahatan perang, sama dengan pembunuhan tawanan perang. Dengan mendokumentasikan penghilangan paksa, peneliti-peneliti sekarang bisa menulis tentang penderitaan sunyi keluarga korban yang dibiarkan bertanya-tanya apakah manusia yang mereka cintai masih hidup; di antara mereka ada yang bertahun-tahun sia-sia mencari (Wiludiharto 2004).

Saat ini lebih banyak orang Indonesia yang menganut perspektif kemanusiaan mengenai pembunuhan massal 1965–66, dan mengakui bahwa apapun yang telah dilakukan korban sebelum 1965, jenis kekerasan yang mereka terima sama sekali tidak dapat dibenarkan. Kekerasan semacam itu harus ditolak, tidak hanya karena sering dilakukan tanpa pandang bulu, tetapi karena yang menjadi sasaran adalah orang-orang tidak bersenjata yang sudah ditahan. Ilmiawan Jesuit di Jakarta yang tersohor, Franz Magnis-Suseno, yang mengambil bagian dalam kegiatan kelompok pemuda Katolik yang sangat antikomunis di Jawa Tengah pada 1965–66, telah menyokong perspektif ini: “Bahwa PKI merupakan musuh yang dibenci dan ditakuti tidak dapat membenarkan pembunuhan dan penghancuran berjuta-juta orang yang tertarik kepada PKI” (Magnis-Suseno 2015).

Beberapa anggota NU yang lebih muda, seperti mereka yang tergabung dalam Syarikat Indonesia, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), juga menyetujui pendapat ini (Budiawan 2004). Akan terjadi revolusi di wacana publik Indonesia bila lebih banyak warga negara membagi keberangan moral yang dirasakan almarhum Firman Lubis, seorang dokter yang menulis otobiografinya sebanyak tiga jilid mengenai kehidupan sehariharinya dari 1950an sampai 1970an.

Karena ia hidup di Jakarta, ia tidak mendengar tentang pembantaian yang terjadi. Ia baru mendengarnya ketika ia berkunjung ke Jawa Tengah pada 1966: “Meskipun saya tidak senang dengan faham komunis, tindakan semena-mena di luar hukum yang direstui oleh penguasa militer waktu itu sangat memuakkan saya. Barangkali naluri doktrin perang mereka ‘kill or be killed’ [membunuh atau dibunuh] turut berpengaruh.

Meski Konvensi Internasional tentang Perlindungan terhadap Semua Orang dari Tindakan Penghilangan secara Paksa tahun 2010, yang telah ditanda tangani pemerintah Indonesia tetapi belum diratifikasi, meniadakan segala alasan untuk melakukan tindakan kekerasan: “Tidak ada pengecualian apapun, apakah dalam keadaan perang atau ancaman perang, situasi politik dalam negeri yang tidak stabil, atau situasi darurat lain, yang dapat diterima sebagai alasan pembenar terhadap tindakan penghilangan secara paksa.” demikian, tindakan mereka tetap tidak bisa dibenarkan.

PKI yang mereka lawan itu bukanlah satuan kekuatan militer, hanya sebuah partai politik sipil yang sah. Jadi tidak bisa disamakan seperti dalam keadaan perang” (Lubis 2008). Penghilangan paksa di Indonesia terjadi dalam skala yang lebih besar daripada yang di Chile. Peristiwa Chile terjadi lebih kemudian dan memakan korban penghilangan paksa sekitar 2000 orang di bawah pemerintahan Pinochet, 1973–89 (Stern 2006, 392–94); juga di Argentina, sekitar 10,000 orang dihilangkan oleh junta militer di tahun-tahun 1976–83 (Robben 2005, 323).

Dapat dikatakan bahwa penelitian tentang kasus Chile dan Argentina dilakukan dengan lebih seksama. Suharto berhasil berkuasa untuk waktu yang lebih lama daripada Pinochet dan jenderal-jenderal Argentina. Ia meninggalkan lembaga-lembaga yang merasa berkewajiban untuk memaksa agar kejahatan-kejahatan 1965–66 tetap didiamkan. Para peneliti masih harus menghadapi pelecehan dan intimidasi dari lembaga-lembaga negara dan organisasi masyarakat sipil yang bersikeras agar genosida politik itu diperlakukan sebagai peritiwa yang tidak terjadi.

Misalnya, seorang eksil Indonesia yang sudah berumur, pulang ke Indonesia pada 2015, sesudah berpuluh tahun hidup sebagai eksil di Swedia. Setelah mengambil foto-foto kuburan massal yang dia duga tempat ayahnya dikubur, ia segera dideportasi. Orang-orang di desa yang terlibat dalam pembantaian itu melaporkan bapak itu kepada petugas militer setempat (Tempo 2015). Sudah jelas dalam upaya seperti yang dideskripsikan dalam esai ini, yaitu upaya membuka sebuah rahasia umum, para peneliti harus berhadapan dengan jaringan rapat para pelaku yang berafiliasi dengan institusi-institusi negara, kuasi-negara, dan bukan-negara yang ingin sejarah 1965–66 menjadi siluman, seperti korban-korban yang dipendam di dalam kuburan massal tak bernisan.

 

 

DAFTAR RUJUKAN

ABDULLAH, TAUFIK, SUKRI ABDURRACHMAN, dan RESTU GUNAWAN, peny. 2012. Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional, bagian II: Konflik Lokal. Jakarta: Obor. BEATTY, ANDREW. 2009. A Shadow Falls in the Heart of Java. London: Faber and Faber. BOWEN, JOHN. 1991. Sumatran Politics and Poetics: Gayo History, 1900–1989. New Haven, Conn.: Yale University Press. BUDIAWAN. 2004. Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Suharto. Jakarta: Elsam. CONBOY, KEN. 2003. Kopassus: Inside Indonesia’s Special Forces. Jakarta: Equinox Publishing. CRIBB, ROBERT. 2001. “Genocide in Indonesia, 1965–66.” Journal of Genocide Research 3 (2):219–39. ——. 2009. “The Indonesian Massacres.” In Century of Genocide: Critical Essays and Eyewitness Accounts, eds. Samuel Totten dan William Parsons. New York: Routledge. ——. 2010. “Political Genocides in Postcolonial Asia.” In The Oxford Handbook of Genocide Studies, eds. Donald Bloxham dan A. Dirk Moses. Oxford: Oxford University Press. CROUCH, HAROLD. [1978] 1988. The Army and Politics in Indonesia. Rev. ed. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press. 14 ELSAM. 2012. Pulangkan Mereka! Merangkai Ingatan Penghilangan Paksa di Indonesia. Jakarta: Elsam. ——. 2013. Jembatan Bacem. Jakarta: Elsam. Film on DVD. FEALY, GREG, dan KATHERINE MCGREGOR. 2012. “East Java and the Role of the Nahdlatul Ulama in the 1965–66 Anti-Communist Violence.” In The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965–68, eds. Douglas Kammen dan Katherine McGregor. Singapore: NUS Press. GERLACH, CHRISTIAN. 2010. Extremely Violent Societies: Mass Violence in the Twentieth – Century World. Cambridge: Cambridge University Press. GREEN, MARSHALL. 1965. Telegram from US Embassy in Jakarta to Secretary of State, “Joint Sitep no. 70,” December 29. National Security Archive, Indonesia and EastTimor Documentation Project, File 16, p. 16 HEFNER, ROBERT. 1990. The Political Economy of Mountain Java: An Interpretative History. Berkeley: University of California Press. HERLINA, NINA. 2012. “‘Tatar Sunda’ Digoncang Konflik Sosial Politik.” Dalam Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional, bagian II: Konflik Lokal., peny. Taufik Abdullah, Sukri Abdurrachman, dan Restu Gunawan. Jakarta: Obor. HIDAYAT, MANSUR. 1999. “Biografi Politik I Gusti Putu Merta (1913–1992).” Tesis Sarjana, Universitas Udayana, Fakultas Sastra. HUGHES, JOHN. [1967] 2002. The End of Sukarno: A Coup that Misfired: A Purge that Ran Wild. Singapore: Archipelago Press. Pertama kali diterbitkan dengan judul Indonesian Upheaval. INDONESIA. 1986. “Report from East Java.” Diterjemahkan oleh Benedict Anderson. 41. KAMMEN, DOUGLAS, dan DAVID JENKINS. 2012. “The Army Para-commando Regiment and the Reign of Terror in Central Java and Bali.” In The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965–68, peny. Douglas Kammen dan Katherine McGregor. Singapore: NUS Press. KOMNAS HAM. 2012. “Pernyataan Komnas HAM tentang Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa 1965–1966.” Jakarta: Komnas HAM. KOMNAS PEREMPUAN. 2007. Mendengarkan Suara Korban Perempuan Peristiwa 1965. Jakarta: Komnas Perempuan. KOMPAS. 2015. “Kalla: Pemerintah tidak akan minta maaf untuk kasus HAM 1965.” November 11. http://nasional.kompas.com/read/2015/11/11/19201271/Kalla.Pemerintah.Tidak Akan.Minta.Maaf.untuk.Kasus.HAM.1965 (diakses 12 Maret 12, 2016). LEKSANA, GRACE. 2009. “Reconciliation through History Education: Reconstructing the Social Memory of the 1965–66 Violence in Indonesia.” In Reconciling Indonesia: Grassroots Agency for Peace, ed. Birgit Bräuchler. New York: Routledge. LUBIS, FIRMAN. 2008. Jakarta 1960an: Kenangan Semasa Mahasiswa. Jakarta: Musup Jakarta. MAGNIS-SUSENO, FRANZ. 2015. “Membersihkan dosa kolektif G30S” Kompas. September 29. http://nasional.kompas.com/read/2015/09/29/16000001/Membersihkan.Dosa.Kolektif.G3 0S? page=all (diakses 12 Maret, 2016). MCGREGOR, KATE. 2012. “Mass Graves dan the Memories of the 1965 Indonesian Killings.” In The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965–68, peny. Douglas Kammen dan Katherine McGregor. Singapore: NUS Press. MELVIN, JESSICA. 2013. “Interview with Joshua Oppenheimer.” Inside Indonesia 112. http://www.insideindonesia.org/an-interview-with-joshua-oppenheimer (diakses 13 Maret, 2016). 15 ——. 2015. “Documenting Genocide.” Inside Indonesia 122. http://www.insideindonesia.org/documenting-genocide (diakses 13 Maret, 2016). ——. Akan terbit. Mechanics of Mass Murder: How the Indonesian Military Initiated and Implemented the Indonesian Genocide, the Case of Aceh. Honolulu: University of Hawai‘i Press. MUN’IM DZ, H. ABDUL. 2013. Benturan NU-PKI, 1948–1965. Depok: Langgar Swadaya Nusantara. NEW YORK TIMES. 1966. “Sukarno Reports Killing of 87,000.” January 16. OEI TJOE TAT. 1995. Memoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno. Jakarta: Hasta Mitra. OPPENHEIMER, JOSHUA, dan MICHAEL UWEMEDIMO. 2009. “Show of Force: A Cinema-Séance of Power dan Violence in Sumatra’s Plantation Belt.” Critical Quarterly 51(1):84–110. POESPONEGORO, MARWATI DJOENED, dan NUGROHO NOTOSUSANTO. 1990. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid ke-6. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Pustaka. PRIOR, JOHN MANSFORD. 2011. “The Silent Scream of a Silenced History: Part One: The Maumere Massacre of 1966.” Exchange 40:117–43. RICKLEFS, MERLE. 1993. A History of Modern Indonesia since c. 1300. Edisi ke-2. Stanford: Stanford University Press. ROBBEN, ANTONIUS C. G. M. 2005. Political Violence and Trauma in Argentina. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. ROBINSON, GEOFFREY. 1995. The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali. Ithaca,N.Y.: Cornell University Press. ROOSA, JOHN. 2006. Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia. Madison: University of Wisconsin Press. ——. 2012. “The September 30th Movement: The Aporias of the Official Narratives.” Dalam The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965–68, peny. Douglas Kammen dan Katherine McGregor. Singapore: NUS Press. ——. 2013. “Who Knows? Oral History Methods in the Study of the Massacres of 1965–66 in Indonesia.” Oral History Forum d’histoire orale 33:1–29. SCHAEFER, BERND, dan BASKARA T. WARDAYA, peny. 2013. 1965: Indonesia and the World. Jakarta: Gramedia. SETIYONO, BUDI, dan BONNIE TRIYANA, peny. 2003. Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965—Pelengkap Nawaksara. Semarang: Mesiass. SIMPSON, BRADLEY. 2008. Economists with Guns: Authoritarian Development and USIndonesian Relations, 1960–1968. Stanford, Calif.: Stanford University Press. STERN, STEVE. 2006. Battling for Hearts and Minds: Memory Struggles in Pinochet’s Chile, 1973–1988. Durham, N.C.: Duke University Press. STRASSLER, KAREN. 2005. “Material Witnesses: Photographs and the Making of Reformasi Memory.” Dalam Beginning to Remember: The Past in the Indonesian Present, peny. Mary Zurbuchen. Singapore: NUS Press. SUARA INDONESIA (Denpasar, Bali). 1965. “Badan Koordinasi Kesatuan Aksi Pengganjangan Kontrev Gestapu.” December 10. SUKARNO. 1966. Djangan Sekali-Kali Meninggalkan Sedjarah. Jakarta: Prapantja. SUNYOTO, AGUS dkk. 1996. Banser Berjihad Menumpas PKI. Tulungagung: Pesulukan Thoriqoh Agung. TEMPO. 2012. “Liputan Khusus: Pengakuan Algojo” October 1–7, 50–125. ——. 2015. “Kisah Tom Iljas, diusir dari Indonesia karena ziarah ke makam orang tua” 18 October. http://nasional.tempo.co/read/news/2015/10/18/ 078710584/kisah-tom-iljasdiusir-dari-indonesia-karena-ziarah-ke-makam-orang-tua (diakses 13 Maret,2016). 16 TRI HASWORO, RINTO. 2004. “Penangkapan dan Pembunuhan di Jawa Tengah Setelah G-30- S.” Dalam Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban ‘65: Esai-Esai Sejarah Lisan, peny. John Roosa, Ayu Ratih, dan Hilmar Farid. Jakarta: Elsam. VAN KLINKEN, GERRY. 2013. Murder in Maumere: Postcolonial Citizenship. Inaugural lecture 477. Amsterdam: University of Amsterdam. VICKERS, ADRIAN. 2005. A History of Modern Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press. WILUDIHAR
TO, YAYAN. 2004. “Penantian Panjang di Jalan Penuh Batas.” Dalam Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban ‘65: Esai-Esai Sejarah Lisan, peny. John Roosa, Ayu Ratih, dan Hilmar Farid. Jakarta: Elsam.

  • John Roosa, Associate Professor di Departemen Sejarah di University of British Columbia, Vancouver, Kanada)

This post is also available in: English