Ketua YPKP 65 Bedjo Untung terpilih menjadi penerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation yang ke 7 dalam rangka memperingati Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Korban Kekerasan. Penganugerahan penghargaan tingkat Asia ini dilaksanakan di House of Literature, di kota Namsan, Seoul, South Korea, Senin (26/6) jam 19.00 waktu setempat atau 17.00 WIB.
Bedjo Untung menyampaikan pidato penerimaan dalam suatu upacara yang dihadiri wakil-wakil komunitas internasional yang concern pada perjuangan hak asasi manusia dan pendukungan terhadap korban kekerasan negara, terutama di Korea, Jepang, Burma dan negara-negara di kawasan Asia Timur lainnya; termasuk Indonesia untuk pertama kalinya aktivis korban kekerasan negara diundang sebagai penerima penghargaan.
Transkrip pidato penerima penghargaan ke 7 Human Right Award of The Truth Foundation [Klik Di Sini]
Lokasi House of Literature ini dipilih menjadi ajang penganugerahan award ini karena memiliki kaitan dengan sejarah kekerasan yang menimpa bangsa Korea. Dulunya di lokasi ini berdiri gedung yang menjadi markas pusat kegiatan spionase CIA (Central Intelegence Agency) South Korea; yakni Agency for National Security Planning.
The Truth Foundation sendiri menidentifikasi tempat ini sebagai tempat interogasi dan kamp penyiksaan tahanan perang pada masa Perang Korea (1950). Pada masa kediktatoran Park Chung-hee dan Chun Doo-hwan, lokasi ini pun dijadikan kamp penyiksaan dan sekapan interogasi bagi para tahanan politik yang dianggap musuh rezim militer Korea Selatan.
Menurut The Truth Foundation yang merilis keputusan tim seleksi, penganugerahan Human Right Award ini telah melalui riset kelaikan. Diantara pertimbangannya adalah bahwa sebagai korban pembantaian yang difasilitasi negara (Tragedi 1965-66_Red), Bedjo Untung tak putus menjalani hidup dengan mengalami dan menyaksikan sejarah pembantaian serta pelanggaran hak asasi manusia di negerinya. Bahwa selain menjadi korban dan menjadi aktivis sebagai Ketua YPKP 65, Bedjo dinilai mampu menjadi leadership bagi misi pencarian kebenaran yang konsisten, memberikan healing dan harapan kepada banyak korban kekerasan lainnya.
Dan bahwa sebagai orang yang selamat yang menderita siksaan dan kekerasan militer yang tak terkatakan, Bedjo Untung dengan YPKP 65 telah mewujudkan misi lapangan bagi kebenaran bahwa kehidupan manusia lebih kuat daripada kekerasan itu sendiri. Sebagaimana diketahui, YPKP 65 bersama relawan dan lembaga lain seperti Elsam juga telah melakukan penggalian kuburan massal (Mass-Graves Exhumation) dan pemakaman kembali (Reburial Ceremony) di Wonosobo dan Temanggung pada tahun 1999-2000 silam.
Meskipun langkah ini ditentang oleh kelompok tertentu dan bahkan mendapat serangan terbuka sebagaimana terjadi di Temanggung, Jawa Tengah; misi pengungkapan kebenaran tidak pernah surut dalam perjalanannya.
Para Penerima Human Right Award
Para penerima anugerah “Human Right Award” The Truth Foundation in South Korea ini adalah:
- Tahun 2011: Seo Seung, seorang Profesor Universitas Ritsumeikan, kelahiran 1943 yang dituduh terlibat ‘Spionase Siswa Jepang-Korea’ 1971 dan disiksa dengan parah oleh pasukan keamanan Korea Selatan. Seo Seung dijebloskan ke penjara selama 19 tahun, sebelum dibebaskan dan muncul sebagai aktivis perdamaian pada solidaritas masyarakat Asia Timur.
- Tahun 2012: Mendiang Kim Keun Tae (1947-2011) menjadi penerima penghargaan kedua. Kim adalah seorang aktivis pro-demokrasi melawan kediktatoran militer selama tahun 1980an, dan disiksa secara brutal oleh rezim Chun Doo Hwan. Dia selamat dari penyiksaan tersebut dan dengan berani mengungkapkan realitas pemberontakan di Korea ke seluruh dunia. Sebagai mantan anggota Majelis Nasional Korea, dia mengabdikan dirinya untuk memperbaiki situasi hak asasi manusia di Korea. Kim meninggal pada tahun 2011 setelah melawan penyakit karena efek penyiksaan yang masih ada.
- Tahun 2013: Hong Sung Woo (1938), seorang pengacara hak asasi manusia yang berdedikasi. Hong dengan berani berbicara atas nama tahanan politik, korban penyiksaan dan aktivis mahasiswa selama rezim militer di Korea Selatan. Karena aktivitasnya, dirinya sendiri dua kali dipenjara oleh rezim militer. Hong meletakkan landasan bagi dasar MINBYUN-Pengacara untuk Masyarakat Demokratis, yang telah bekerja tanpa kenal lelah untuk melindungi hak asasi manusia di Korea. Dia juga menyimpan banyak catatan kasus pengadilan hak asasi manusia di Korea Selatan, yang menyediakan bahan berharga untuk pelestarian sejarah perjuangan hak asasi manusia di Korea.
- Almarhum U Win Tin (1930-2014) dari Hanthawaddy U Win Tin Foundation. Selama pemberontakan 88 di Burma pada tahun 1988, dia menyatakan tentangannya yang kuat terhadap kediktatoran militer sebagai wakil ketua Gerakan Aliansi Pers. Pada bulan September 1988, dia mendirikan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) bersama dengan Aung San Suu Kyi, dan mengadakan sebuah kampanye melawan rezim militer. Setelah ditangkap, pada tahun 1989, dan kemudian mengalami penyiksaan berat, dia berkomitmen selama 19 tahun ke penjara Insein, yang terkenal karena kondisi tidak manusiawi dan program penyiksaan mental dan fisik yang brutal. Namun pemenjaraan tersebut tidak mengurangi keinginannya untuk menyebarkan perkataannya atau lebih jauh lagi penyebab demokrasi di Burma. Dia terus-menerus mengeluarkan suaranya di Burma dan di komunitas internasional seperti Pelapor Khusus PBB mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan di penjara dan situasi di Burma. Setelah dibebaskan dari penjara pada bulan September 2008, U Win Tin segera melanjutkan aktivitas NLD-nya meskipun dia kesehatan yang lemah disebabkan oleh pemenjaraan dan penyiksaannya yang panjang. Pada tahun 2012, ia mendirikan Hanthawaddy U Win Tin Foundation untuk membantu rehabilitasi dan penyembuhan tahanan politik dan korban penyiksaan Birma yang tak terhitung jumlahnya, serta keluarga mereka. Dia meninggal pada tahun 2014, namun jiwanya tetap bersama generasi muda di Burma yang terus mencari demokrasi dan perdamaian.
- Tahun 2015: Kang Ki-hoon (1964). Dia dituduh melakukan kejahatan membantu bunuh diri dengan catatan bunuh diri sebuah catatan bunuh diri untuk Kim Ki-sul, yang membakar dirinya sendiri dengan kematian yang mengecam presiden dan pemerintah tersebut, dan dijatuhi hukuman tiga tahun penjara pada tahun 1991. Pada tahun 2015, 24 Beberapa tahun setelah tuduhan mengerikan tersebut, Kang akhirnya dibebaskan oleh Mahkamah Agung. Kang mengalami tahun-tahun rasa sakit dan perjuangan, membuktikan dan mengungkapkan jurang gelap dari otoritas. Keberadaannya adalah motivasi bagi orang-orang yang percaya akan nilai dan penghormatan manusia. Kami juga mengungkapkan rasa terima kasih kami kepada keluarga dan teman-temannya dan daya tahan mereka yang membuat 24 tahun Kang berjuang melawan pembebasan tersebut.
- Tahun 2016: Chae Eui-jin dan Chung Hee-sang. Chae selamat dari pembantaian di mana 86 dari 127 warga kota dibunuh secara brutal oleh sekelompok tentara Angkatan Darat Korea pada tanggal 24 Desember 1948. Sejak saat itu, dia tanpa lelah mengabdikan hidupnya untuk mengungkapkan kebenaran dan mencari keadilan karena tidak hanya para korban dari Pembantaian ini tapi tak terhitung banyaknya orang lain yang entah bagaimana bisa bertemu dengan nasib yang sama. Sementara jumlah korban tidak pernah ditentukan secara akurat, perkiraan berkisar antara 300.000 dan satu juta. Karena keadaan politik junta Korea Selatan yang memerintah sampai akhir 1980an, Chae tidak pernah bisa mencapai tujuan mulia dengan memuaskan. Namun, pada tahun 1989, Chung, yang saat itu menjadi seorang jurnalis di Majalah Mal, memulai sebuah laporan investigasi mendalam mengenai pembantaian yang dilakukan oleh pasukan pemerintah sekitar masa Perang Korea. Selama masa ini, Tuan Chung pasti mengenal Chae, dan mereka dengan cepat mengembangkan ikatan kekaguman dan kerjasama. Berkat upaya bersama mereka, banyak korban datang dan mulai mengekspos berbagai kekejaman. Sementara masih banyak yang harus dilakukan dalam hal mencapai keadilan penuh dan lengkap bagi para korban, melalui usaha Chae dan Chung bahwa proses yang sangat penting untuk mengungkapkan kebenaran meletakkan dasar yang kokoh untuk jalan menuju penyembuhan.
- Tahun 2017: Bedjo Untung, mantan aktivis IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) pada tahun 1965an. IPPI adalah sebuah organisasi pelajar independent untuk kegiatan seni, olah raga; di luar sekolah. IPPI mendukung Bung Karno yang anti-imperialisme, anti neo-kolonialisme demi terciptanya masyarakat Sosialis di Indonesia. Bedjo Untung ditangkap pihak militer pada 20 Oktober 1970 melalui “Operasi Kalong” di Jakarta menyusul krisis politik awal Oktober 1965 di Indonesia. Operasi militer besar-besaran yang memakan korban jutaan orang terbunuh, dibuang, disiksa dan dipenjara tanpa proses pengadilan. Bedjo Untung sendiri dijebloskan ke penjara Tangerang dan RTC Salemba, Jakarta; setelah 5 tahun menjadi buronan politik Orba. Sebagai bagian langsung dari korban tragedi 1965 Bedjo menjalani hidup dengan menyaksikan sejarah pembantaian dan pelanggaran HAM di negerinya; dan terus berjuang tanpa lelah bersama korban lainnya. Paska pembebasan dirinya sebagai tapol pada 1979, Bedjo menjadi aktivis dan kemudian menjadi Ketua YPKP 65, sebuah Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-66 yang didirikan oleh Sulami, Pramoedya Ananta Toer, Hasan Raid, Suharno, Kusalah Soebagyo Toer, Sumini dan lain-lainnya… [ap]
This post is also available in: English