Rabu, 14/12/2016 22:04 WIB | Oleh: Ninik Yuniati 

Jakarta- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu mandeg lantaran minimnya dukungan politik. Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat mengatakan, penyelesaian melalui jalur yudisial membutuhkan dukungan politik pemerintah dan DPR guna membentuk Peradilan Ad Hoc.

Kendati demikian, Komnas HAM tetap bertekad menyelesaikan 7 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Kasus-kasus tersebut di antaranya, kasus Talangsari, penembakan misterius 1982-1985, penghilangan orang secara paksa, kasus Petrus, peristiwa 1965, dan kasus Trisakti dan Semanggi.

“Bukan hanya dari Presiden, ini kan menyangkut soal nasional, itu DPR juga harus punya komitmen, DPD juga harus punya komitmen, parpol-parpol juga, di samping tentu pemerintah. Karena proses yudisial ini kan tanggung renteng, secara hukum acara itu tanggung renteng, Komnas HAM sebagai penyelidik, Kejagung sebagai penyidik, DPR yang mengeluarkan rekomendasi, Presiden mengeluarkan SK pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc,” kata Imdadun di Hotel Aryaduta, Rabu (14/12/2016).

Imdadun Rahmat mengakui terdapat perbedaan tafsir dengan DPR tentang penyelidikan kasus HAM masa lalu berdasarkan UU nomor 26 tahun 2000. Kata dia, menurut Komnas, penyelidikan dan penyidikan bisa dilakukan tanpa harus menunggu pengadilan HAM Ad Hoc terbentuk. Justru, penyelidikan dan penyidikan tersebut menjadi dasar bagi DPR untuk memberikan rekomendasi pembentukan peradilan HAM Ad Hoc.

“Karena argumennya kami (Komnas HAM) bertanggung jawab kepada siapa. Kami menggantungkan otoritas untuk mengambil bukti penyidikan, pemanggilan saksi, penyitaan itu kan atas izin pengadilan, pengadilan yang mereka (Kejaksaan Agung) maksud adalah pengadilan Ad Hoc,” ujar Imdadun.

Di sisi lain, Imdadun menyebut Komnas HAM juga mendorong upaya penyelesaian melalui jalur nonyudisial. Namun, ia membantah upaya ini dimaksudkan untuk mematikan jalur yudisial. Imdadun mengatakan sudah ada kesepahaman-kesepahaman tentang penyelesaian jalur nonyudisial antarkementerian/lembaga terkait.

“Itu kan sudah mulai jalan dengan komunikasi-komunikasi dan rapat-rapat intensif pimpinan 7 k/l, itu sudah 6 kali pertemuan, sudah ada semacam kesepahaman-kesepahaman, dasar-dasar penyelesaian,” jelasnya.

Namun, ia juga mengakui dukungan politik juga mulai menurun terhadap upaya jalur nonyudisial sejak polemik penyelenggaraan dua simposium tragedi 1965.

“Pasca-acara simposium sejarah 65 itu memang ada perlawanan, ada penolakan dan kelihatannya mulai agak kendor,”

Sementara untuk tiga kasus pelanggaran HAM berat Papua yakni Wasior, Wamena dan Paniai kata dia,  lebih maju lantaran dukungan politik yang kuat.

“Pelanggaran HAM berat setelah tahun 2000 malah udah jalan lebih lancar karena keputusan politik nasionalnya bilang selesaikan secara yudisial,” pungkas Imdadun.

Editor: Rony Sitanggang

Sumber: KBR.ID

This post is also available in: English