Saiful Munir | Rabu,  30 Desember 2015  −  22:07 WIB

JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) mendorong pendekatan non-judicial berupa rekonsiliasi nasional terhadap penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, pendekatan tersebut diusulkan lantaran penyidik merasa kesulitan menemukan alat bukti. Sebab, pelanggaran HAM tersebut terjadi puluhan tahun lalu.

“Rata-rata perkara sudah terjadi lama, seperti kasus 65. Penyidik akan kesulitan menemukan bukti. Tidak mungkin dipaksakan dalam penyidikan. Jika dipaksakan, kita juga akan menemui kesulitan saat persidangan,” kata Prasetyo di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Rabu (30/12/2015).

Menurut Prasetyo, pihaknya pernah melakukan konsolidasi dengan seluruh stakeholder terkait seperti Komnas HAM, Menko Polhukam, Menkumham, TNI, Polri, dan BIN guna melakukan percepatan penyelesaian dosa masa lalu tersebut.

Namun, upaya tersebut tak berbuah manis lantaran sejumlah pihak menanyakan apa kewenangan Kejagung dalam mengumpulkan pihak-pihak terkait.

“Bangsa ini harus segera sembuh dari lukanya. Rekonsiliasi akan membebaskan sandera bangsa kita dari perkara masa lalu,” kata Prasetyo.

Sementara itu, terkait Indonesian People Tribunal atau pengadilan rakyat atas tragedi 1965 yang dilakukan di Den Haag, Belanda, beberapa waktu lalu, Prasetyo mengatakan hal tersebut tidak berpengaruh pada proses penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia.

“Bahwa kemarin ada pengadilan tribunal itu silakan saja. Tapi sebaiknya kita menyelesaikannya dengan cara kita sendiri,” kata Prasetyo.

(zik)

Sumber: Sindonews.Com

This post is also available in: English