Dengan dalih tuduhan pembunuhan para jendral dan satu kolonel, Pemerintah tak perlu minta maaf atas kepada keluarga korban Peristiwa G 30S, demikian Menpan. Padahal juru kamera TVRI yang merekam peristiwa pengangkatan jenazah dari Lubang Buaya, mengatakan yang ada adalah luka tembak. Hasil liputannya dimanipulasi sebagai bahan propaganda Orde Baru.
Masa lalu yang tak bisa diselesaikan
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan pemerintah tak perlu meminta maaf kepada keluarga korban Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurutnya, PKI sudah membunuh tujuh jenderal (maksudnya 6 jendral, dan satu kolenel, red.) dan melakukan pemberontakan di Indonesia, demikian katanya kepada Harian Merdeka (19/8/15).
“Maaf, kita pakai logika saja. Jangan nyalah-nyalahin orang, pakai logika. Yang memberontak siapa, yang membunuh duluan siapa, yang membunuh jenderal-jenderal TNI itu siapa. Masak yang dibunuh dan diberontakin minta maaf,” kata Ryamizard saat acara silaturahmi dengan media massa di kantornya.
“Sama saja saya, saya digebukin, babak belur, lalu saya minta maaf. Yang benar saja,” cetus mantan Kasad ini.
Menurutnya, pemerintah tak akan maju jika selalu mengurusi masa lalu yang tak akan bisa diselesaikan. Oleh sebab itu, sejarah lebih baik dijadikan pelajaran untuk bangsa.
Lebih jauh, dia akan menyampaikan ide gagasan pemerintah tak perlu minta maaf kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Padahal pemerintah tak pernah menaruh dendam kepada korban-korban PKI.
Bukan penyiksaan tapi luka tembak
Selama ini, jika mengatakan Peristiwa Lubang Buaya, tidak bisa tidak bayangan yang datang adalah film propaganda Pengkhianatan G-30 S/PKI, karya sutradara Arifin C.Noer. Dalamnya digambarkan betapa tubuh 6 jendral dan satu letnan, dalam lusuh dengan luka sayat dan penyiksaan. Juga keterlibatan anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang demikian sadis.
Seorang saksi sejarah, alm. Hendro Subroto, seorang wartawan perang kawakan yang kala pengangkatan jenazah di Lubang Buaya, 4 Oktober 1965; menjadi juru kamera TVRI; mengatakan tidak melihat adanya bekas siksaan ataupun luka sayatan pada jenazah-jenazah tersebut.
Dalam wawancara yang dimuat di majalah Tempo edisi 11 Maret 2001, Hendro –meninggal 14/10/10, mengungkapkan beberapa detail yang menyimpang dari apa yang kemudian dipublikasikan dalam sekian buku sejarah dan film-film versi Orde Baru.
“Tubuh para jenderal itu tidak disayat-sayat,” ujarnya kepada wartawan Tempo, Edy Budiyarso dan Hermien Y. Kleden, Maret 2001. Menurut almarhum Hendro, jenazah itu diambil empat hari setelah mereka dibunuh. Jarak antara ia dan jenazah hanya sekitar tiga sampai empat meter.
Sempat tak kuat mencium aroma busuk jenazah, Hendro melipir. Namun, ia balik lagi ke lokasi. Ia melihat jenazah-jenazah itu dikeluarkan dari Lubang Buaya lalu langsung dipindahkan ke dalam peti. Selama sekitar tiga menit ia merekam semua peristiwa itu.
“Dari jarak itu, saya tidak melihat adanya bekas-bekas penyiksaan,” ujarnya. Hendro menyimpulkan, para jenderal itu tidak disiksa sebagaimana digambarkan di film-film dan cerita buku sejarah. Ia melihat hanya luka tembak, tidak ada bekas luka aniaya atau disayat-sayat. “Orang mati karena penganiayaan dan penembakan akan menghasilkan kondisi jenazah yang berbeda. Paling tidak, kan terlihat bekas-bekasnya,” ujarnya.
Alat kelamin utuh
Kata Hendro, kulit seseorang yang ditusuk puntung rokok akan segera menggelembung karena reaksi tubuh pada kulit. Orang yang meninggal karena dipukul dan dianiaya juga akan terlihat bekas-bekasnya pada jenazah. Begitupun dengan publikasi yang menyebutkan bahwa alat kelamin para jenderal itu disayat-sayat, Hendro membantahnya.
Kala diwawancara, Hendro lalu masuk ke kamarnya dan keluar membawa setumpuk foto hitam-putih. Ia memperlihatkan salah satu foto.
”Alat kelamin jenderal ini tidak dipotong dan disayat-sayat. Coba Anda lihat. Masih utuh, kan? Tujuh jenazah itu memang telanjang saat diangkat,” ujarnya.
Hasil yang pasti, Hendro melanjutkan, orang bisa melakukan otopsi untuk menentukan sebab-sebab kematian yang lebih tepat.
Hasil Liputan dimanipulasi
Sayangnya, hasil liputan Hendro pun “dibumbui”. Liputan itu disiarkan TVRI selama tiga hari berturut-turut, disertai narasi yang mengungkapkan betapa keji cara PKI membunuh mereka. Pembunuhan berlangsung ketika pesta Gerwani (lihat artikel Pelecehan Seksual terhadap Gerwani: Kisah Atikah- Djamilah dan Djemilah). Begitupun dengan kelamin serta anggota tubuh para korban disayat-sayat.
Liputan itu membakar amarah rakyat, yang kemudian menjadi dalih pembantaian dan prosekusi puluhan tahun kepada orang-orang PKI serta mereka yang dituduh komunis. Film Pengkhianatan G-30-S/PKI yang dibuat pada 1984 tak jauh beda dengan laporan tersebut.
Sinema ini kemudian wajib diputar dan ditonton di televisi tiap 30 September, sepanjang pemerintahan Orde Baru. Film ini menjadi upaya pembelokan sejarah demi kekuasaan dan hegemoni massal melalui media. Peristiwa pembunuhan para jenderal dan petinggi Angkatan Darat secara sadis dan tidak berperikemanusiaan direkam dalam film Pengkhianatan G-30 S/PKI.
Runtuhnya pemerintahan rezim Soeharto membuat banyak pihak mempertanyakan kebenaran sejarah, termasuk yang digambarkan dalam film ini. Lantaran dianggap sebagai propaganda Orde Baru, Yunus Yosfiah, Menteri Penerangan pada 1998, kemudian melarang pemutarannya.
This post is also available in: English