Mereka betiga tampil dalam dialog penyintas, salah satu acara dalam peluncuran website International People’s Tribunal 1965, 17 Desember 2014 di IISG Amsterdam. Mereka mewakili generasi masing-masing, Sarmadji 83 tahun, Ibaruri Aidit, 64 tahun dan Yusuf Sudrajat 34 tahun. Pengalaman tiga penyintas ini lintas generasi, beban mereka turun temurun tak berhenti pada satu generasi. Yang jelas mereka sudah di Eropa. Inilah langkah awal untuk segera ditindaklanjuti dengan pengalaman para penyintas di tanah air, di “wilayah bencana”.

September 1964 Sarmadji bertolak ke Tiongkok untuk melanjutkan pendidikan. Karena itu, tatkala setahun kemudian G30S meletus, dia tidak berada di Indonesia. Dia mengaku bisa lama tinggal di Tiongkok, tapi, “Karena tak bisa berbuat apa-apa, sementara ingin meneruskan perjuangan, maka saya pindah ke Nederland”. Di Belanda dia bisa berhubungan dengan banyak teman, terutama Prof. Wertheim dan Slamet Faiman, salah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Mereka berdua membantu Sarmadji memperoleh advokat.

Kalau ke Belanda dengan alasan cari kerja, demikian advokat, maka Sarmadji tidak bakal diterima. Dia dianjurkan untuk mengemukakan alasan politik. Lalu pengacara itu bertanya: Apakah tuan mengerti tentang Sukarno? Dengan tegas Sarmadji menjawab: Ya! Bisakah tuan menjelaskan sedikit tentang Sukarno dan apakah tuan mengerti perkara Sukarno? Kembali Sarmadji memperdengarkan jawaban tegas: Ya. Pengacara mengatakan, Sukarno dimusuhi pemerintah Belanda. Tapi Sarmadji tidak memberi kesempatan pengacara untuk melanjutkan ucapannya, “Waktu saya berangkatpun harus belajar Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, disingkat Tubapi yang sampai sekarang tetap saya simpan.”

Sarmaji, penyintas

Sarmaji, penyintas

Atas penegasan ini, advokat bertanya, “Apakah tuan pengikut Sukarno?” Sarmadji menjadi berapi-api, “Saya jawab tegas, ya!”. Waktu itu untuk pertama kalinya dia mendengar kata Belanda aanhanger yang artinya pengikut. Ketika tak lama kemudian harus menghadap justitie, kehakiman Belanda, dia diminta menceritakan pengalamannya sejak kecil sampai tiba di Belanda. Riwayat hidupnya diterima dan kehakiman menyatakan Sarmadji bisa tinggal di Nederland selamanya, asal dia bekerja.

Ia juga diminta datang ke kantor polisi orang asing (vreemdelingen politie) dan menunjukkan paspor. Waktu itu, paspor Sarmadji sesungguhnya sudah tidak berlaku lagi, karena dicabut oleh pemerintah Orde Baru. “Yang mencabut bernama kolonel Slamet,” Sarmadji masih ingat benar nama “oknumnya”. Melihat paspor yang sudah kadaluwarsa itu, polisi, dalam penuturan Sarmadji, berkata, “Paspor tuan bisa saja tidak berlaku untuk Republik Indonesia, tapi berlaku untuk polisi Nederland!”

Setelah urusan tinggalnya beres, tugas Sarmadji berikutnya adalah mencari pekerjaan. “Apa saja yang bisa saya kerjakan,” tandasnya. Dia akhirnya memperoleh pekerjaan di glashandel yaitu perusahaan pemotongan kaca. Dari bekerja dia memperoleh penghasilan, tapi mengaku bingung, “Untuk apa uang ini?” Lalu ia ingat pada tujuannya datang ke Belanda. Ia teringat pada keinginannya untuk meneruskan perjuangan. Maka uang itu digunakannya untuk membeli buku di pelbagai toko buku antiquariaat, istilah mentereng bahasa Belanda untuk menyebut toko buku loakan. “Saya mengumpulkan buku, terutama buku peristiwa 30 September 1965”.

Dari buku itu Sarmadji berkenalan dengan banyak orang, juga para mahasiswa Indonesia. Di Belanda mereka bertanya-tanya tentang peristiwa 65. Dengan jalan ini maka pegangan hidup Sarmadji adalah mengubah kesedihan menjadi kekuatan.

***

Ibaruri, penyintas

Ibaruri, penyintas

Tatkala G30S meletus, Ibaruri, putri Aidit ketua umum PKI, masih remaja 15 tahun. Waktu itu dia berada di Uni Soviet, baru saja kembali dari Indonesia menjalani liburan selama tiga bulan. Sebelum berangkat, Ibaruri sempat menghadiri peringatan 45 tahun PKI pada bulan Mei 1965 di tanah air. Suasana peringatan begitu gegap gempita, tuturnya, dan perasaan seperti inilah yang dibawanya kembali ke Uni Soviet pada tanggal 6 September. Tiga minggu kemudian pecah peristiwa 30 September. Ibaruri mengaku benar-benar menerima pukulan hebat. Kadang-kadang omongpun dia sampai tidak bisa.

“Saya merasa kehilangan semua: tanah air, orang tua, kawan,” tandasnya, “organisasi juga hancur”. Akibatnya kadang-kadang selama berjam-jam Ibaruri hanya bersandar pada pemanas ruangan, tak bisa berbuat apa-apa, dia dihinggapi perasaan tidak berdaya. Kemudian pecah perselisihan antara PKI dan Partai Komunis Uni Soviet. Sebanyak enam orang kawan-kawan Ibraruri, para anggota PKI, diusir dari Uni Soviet. Akibatnya banyak teman pindah dari Uni Soviet ke Tiongkok. “Saya juga ikut ke Tiongkok”.

Dari Tiongkok, mungkin karena terasa sudah dekat rumah, Ibaruri merasa ingin pulang, “Ingin berjuang di tanah air”, katanya. Tapi ternyata jalan itu macet, Ibaruri tidak bisa pulang dari Tiongkok, demikian pula ketika sudah berada di Macao. Akhirnya dia memutuskan ke Prancis saja. Orang Indonesia di Tiongkok waktu itu menghadapi dua pilihan: ke Belanda atau ke Prancis. Kalangan yang lebih senior memilih Belanda. Tapi yang muda-muda, yang masih bisa belajar dan bekerja, disarankan pergi ke Prancis, dan itulah pilihan Ibaruri.

Kebetulan pada awal 1980an itu kaum kiri menang di Prancis. François Mitterand terpilih sebagai presiden. Jadi proses permohonan suaka Ibraruri dan teman-temannya hanya berlangsung selama empat bulan.

***

Sarmadji tidak enggan menyatakan bahwa keluarganya di Indonesia menghadapi stigmatisasi yang selalu dialami oleh kalangan kiri. Ia punya satu contoh yang tak akan pernah dilupakannya. Anak adiknya yang sudah tamat perguruan tinggi ingin bekerja. Sudah melamar pelbagai lowongan, tetapi tidak juga diterima, karena dia harus menjalani litsus, penelitian khusus. Waktu itu masih berlaku bersih diri, bersih lingkungan, bebas keterpengaruhan dan sebagainya.

“Kemudian saya juga dikabarkan sudah meninggal,” kata Sarmadji. Setelah Orde Baru tersingkir dia pulang, suatu ketika dia berjalan dengan adiknya. Ada penjual makanan di pinggir jalan yang berkata, “Bukankah itu Sarmadji?” Ia membenarkannya. “Padahal kabarnya Sarmadji sudah mati,” katanya lagi menirukan si penjual makanan. Sarmadji cuma menjawab, “Cakil itu tiap jam sembilan malam hidup!” Tokoh wayang Cakil memang tampil setiap jam sembilan malam, padahal malam sebelumnya dia sudah dibunuh oleh satria.

***

Di kalangan masyarakat Prancis latar belakang Ibaruri sebagai putri D.N. Aidit, pemimpin PKI, bukan merupakan masalah. Latar belakang itu baru merupakan masalah kalau dia bertemu anak-anak muda Indonesia. Kadang-kadang ada yang melihatnya penuh keheranan. Ketika Ibaruri bertanya mengapa dirinya dilihat seperti itu, maka jawaban yang didengarnya adalah, “Katanya PKI itu jahat, PKI itu teroris, ternyata anda dan teman-teman kok baik-baik saja.”

“Saya juga punya sahabat yang akrab sekali”, tutur Ibaruri mengenai kasus lain. Dia tanya banyak hal, termasuk umurnya. Ibaruri menunjukkan kartu identitasnya. Di situ hanya tertera usia tetapi juga nama lengkapnya, termasuk nama ayahnya. Teman ini kaget sekali, dia lari menjauh. Beberapa saat kemudian ketika bertemu dia lagi, Ibaruri bertanya mengapa teman itu menjauh. Seraya membenarkan dugaan bahwa karena alasan ayahnya, Ibaruri mendengar pelbagai alasan yang selalu didengarnya dari orang Indonesia. Misalnya dia atau ayahnya adalah pegawai negeri, bahwa ada larangan untuk bergaul dengan kalangan PKI, dan seterunys. “Pendek kata, semua dalih klasik Orde Baru,” kata Ibaruri. Ini membuatnya terheran-heran, perjumpaan itu berlangsung di Prancis, “bagaimana mereka bisa tetap takut, membawa-bawa ketakutan itu dari tanah air?”

“Masih ada lagi seorang teman mahasiswa sesama kuliah”, tutur Ibaruri sambil tertawa nakal. Teman ini menerapkan cara yang aneh untuk berbicara dengannya. Setelah tahu latar belakangnya, si teman meminta seorang teman lain yang tinggal di Berlin untuk memperingatkan Ibaruri supaya di depan umum tidak berdekat-dekatan padanya. Kepadanya Ibaruri berkata, “Gila benar, kenapa harus liwat Berlin? Kenapa tidak langsung bicara sama saya saja?”

Dari pelbagai pengalaman itu Ibaruri menerapkan taktik baru kalau berkenalan dengan orang Indonesia. Dia memilih berterus terang tentang latar belakangnya yaitu bahwa dia ini anak D.N. Aidit, pemimpin PKI. “Saya katakan, mau bergaul saya untung kamu juga untung. Tidak mau bergaul saya juga tidak rugi, bahkan kau akan selamat!” Dia juga mempersilahkan mereka yang mau bergaul secara diam-diam, dalam arti tertutup dari dunia luar. Dengan kalangan yang memilih cara seperti ini, Ibaruri tidak akan bicara di depan orang. Dari sini bisa disimpulkan Ibaruri punya tiga kategori teman: mereka yang terbuka, mereka yang setengah tertutup dan mereka yang tertutup sama sekali.

Ketika berkunjung ke Jepang, Ibaruri bertemu seorang Indonesia yang sangat tergila-gila pada budaya Jepang. Setiap kali dia bercerita tentang Jepang di hadapan teman-teman lain, Ibaruri berkata dia sudah tahu itu. Setiap kali dia mengatakan Jepang begini atau Jepang begitu, Ibaruri selalu berkata dia sudah tahu. Ini membuat teman itu penasaran dan meminta berbicara sendiri dengannya. Terhadap pertanyaannya siapa dirinya, Ibaruri berterus terang dia anak Aidit. Teman itu kaget sekali, dia sampai meloncat mundur. Ibaruri berkata, terserah saja, mau bergaul lebih lanjut juga boleh, tidak mau dia juga tidak rugi.

Untuk bisa kembali berhubungan dengan keluarga, Ibaruri menempuh pengalaman unik. Ketika jurnalis harian Moskow Pravda mewawancarai ibunya, istri Aidit, pada tahun 1967, artikel itu dibaca oleh adiknya yang sementara itu sudah dipungut anak oleh Djoko Muljono. Ibaruri mendatangi wartawan itu dan dari situ dia tahu serta bisa berhubungan lagi dengan adiknya. Tentu saja mereka tidak mungkin bisa langsung saling berkirim surat ke alamat masing-masing. Ibaruri memanfaatkan jasa teman-teman Jepangnya. “Saya menulis surat ke Jepang dan dari sana surat itu dikirim ke Indonesia,” katanya. Ini dilakukan supaya adiknya aman dan surat itu bisa sampai ke alamat tujuan.

Tapi diakuinya, berhubungan dengan keluarga liwat surat tidaklah mudah. “Saya sempat kehilangan kontak dengan mereka,” kata Ibaruri, “apalagi karena saya pindah-pindah dalam upaya kembali ke tanah air”. Pada tahun 1978 di Macao Ibaruri membaca harian South China Morning Star yang melaporkan bahwa ibunya dibebaskan. Dia berupaya menghubungi ibunda, kali ini liwat keluarga suaminya. “Saya mendapat banyak bantuan dari banyak pihak untuk bisa berhubungan dengan keluarga”, papar Ibaruri, “Termasuk dari sebuah asosiasi katolik yang membawa surat saya untuk bertemu ibu di Indonesia”.

Karena kontak dengan keluarga tetap sulit, akhirnya suami Ibaruri berupaya mencari hubungan dengan keluarganya. Waktu tiba di Prancis, selain belajar bahasa dan berusaha hidup dengan mencari kerja, Ibaruri dan suaminya juga ingin sekali mendatangkan ibu suaminya ke Paris. Akhirnya impian ini bisa menjadi kenyataan, ibu mertuanya bisa datang ke Paris. Selain itu kedua pasangan suami istri ini juga ingin mendatangkan adik Ibaruri. Mendatangkan ibunya jelas tidak mungkin, karena, sebagai istri Aidit, dia tahanan kota.

Pada awal 1990an, berturut-turut Ibaruri mengundang adik, adik yang lain dan akhirnya ibu mertua, ibu suaminya. Pertemuan dengan ibunya membawa pengaruh yang betul-betul luar biasa terhadap suami Ibaruri yang merupakan anak kedua, tetapi anak laki-laki pertama. Dia merasa bersalah sekali, karena ketika peristiwa G30S meletus dia tidak ada, begitu pula tidak bersama keluarga ketika ayahnya meninggal, adik-adiknya tidak bisa bersekolah. Apalagi tidak melindungi ibunya ketika rumah hampir dibakar. Selain rasa bersalah, dia juga merasa sangat tidak berdaya.

Ibaruri pernah melihat suaminya menyembah-nyembah ibu yang sedang tiduran. Berkali-kali dia mengucapkan kata maaf dalam bahasa Jawa. Ibunya bilang tidak apa-apa, “Bukan salahmu”. Menariknya, karena bertemu ibu, suami Ibaruri menjadi sehat. Kalau sebelum itu dia harus terus minum obat untuk menjaga supaya tekanan darahnya tidak meningkat, maka selama sebulan setelah kedatangan ibu, dia tidak perlu minum obat lagi. Bahkan, walaupun mereka berdua sering berbicara sampai larut malam, ternyata suami Ibaruri tetap sehat.

Ibu suaminya juga begitu. Begitu bertemu anaknya di Paris dia selalu ingin jalan-jalan keluar, seolahtidak pernah letih. Selain untuk bertemu anak-anaknya yang lain, di Paris dia ternyata juga suka melancong. Selepas perjalanan jauh, Ibaruri dan suaminya sering mendesaknya supaya beristirahat sejenak. Tapi, tak lama kemudian dia bangun lagi dan bertanya akan ke mana lagi. Setelah seharian berjalan-jalan, Ibaruri dan suaminya sering meminta supaya ibu beristirahat saja pada hari berikutnya. Untuk itu sang ibu diajak kembali ke rumah dan tidak ke mana-mana. Setelah istirahat yang bagi Ibaruri sebenarnya cuma sejenak, dia tanya lagi akan ke mana kita. Jelas terlihat betapa ibu mertua ini tidak pernah capai.

Ketika pulang di tanah air, perubahan besar itu juga diamati oleh saudara-saudara. Mereka menyatakan ibu sekarang banyak bicara. Rupanya dulu tertekan, sehingga lebih banyak tutup mulut. Tekanan ini hilang setelah bertemu dengan anak-anaknya.

***

Yusuf, penyintas

Yusuf, penyintas

Yusuf Sudrajat mengawali pernjelasannya dengan penuturan mengenai kakeknya. Dia bernama Suparna dan merupakan salah satu pimpinan PKI yang ketika G30S meletus tengah berada di Rusia untuk kunjungan kerja. Bisa dikatakan Suparna sedikit beruntung karena berada di luar negeri. Untuk menyingkat cerita, setelah sekian lama berpisah, kakek ingin kembali menjalin hubungan dengan keluarga. Ia mengirim surat kepada nenek Yusuf yang sebenernya sudah beranggapan sang kakek telah meninggal dunia karena tidak pernah berhubungan lagi.

Surat itu dikirim dari Belanda, karena memang saat itu Suparna sudah menetap di Belanda. Masalahnya adalah semua yang berkaitan dengan kakeknya tidak pernah dibuka-buka lagi, seperti layaknya tabu. Menurut Yusuf ‘tutup-tutup’ tentang kakeknya ini juga akibat indoktrinasi Orde Baru Soeharto yang berdampak tegas pada siapa saja, tak kecuali Yusuf dan keluarganya.

Ketika masih kecil dia pernah melihat foto kakek bersama nenek. Satu-satunya yang dikatakan nenek tentang kakeknya adalah bahwa dia sudah tutup usia ketika Yusuf masih kecil. Jadi dia tidak tahu bahwa kakeknja masih hidup. Kakek sendiri baru tutup usia tahun 1998, tatkala Yusuf sudah berada di Belanda.

Waktu itu, di Indonesia, Yusuf tidak diberi tahu bahwa sebenarnya kakek masih hidup. Dia juga tidak tahu ketika bertolak ke Belanda, ayahnya sebenarnya bertemu kakeknya. Ayah Yusuf berangkat ke Belanda ketika dia masih kecil, karena itu dia tidak banyak bertemu ayahnya. Yang diketahuinya ayahnya ke Belanda untuk studi lanjut, dan juga bekerja di sana. Kadang-kadang dia kembali ke Indonesia, tapi Yusuf tidak diberitahu bahwa kakeknya yang anggota PKI itu sebenarnya masih hidup.

Yusuf Sudrajat bertutur bahwa pengetahuannya tentang PKI persis sama dengan pengetahuan khalayak ramai Indonesia. Pengetahuan itu terbentuk sebagai hasil menonton film yang sama pada setiap malam hari tanggal 30 September. Film itu menggambarkan PKI sebagai pembunuh para jenderal. Sudah sejak kanak-kanak dia punya gambaran PKI adalah orang-orang kejam. Di sekolah guru menjelaskan bahwa PKI adalah orang-orang jahat.
Pada sekitar usia 13 atau 14 tahun, Yusuf pergi ke Belanda untuk berlibur. Sebagai anak sulung dia masih punya dua adik yang sudah mendahuluinya bertolak ke Belanda. Suatu ketika, ikut hadir pada pertemuan keluarga di Belanda, Yusuf berbincang-bincang dengan seorang saudara sepupunya. Dia bertanya bagaimana perasaannya ketika akhirnya bisa bertemu kakek. Yusuf tidak mengerti, lalu saudara sepupu itu bertanya, “Jadi kau tak diberi tahu tentang kakekmu?” Yusuf terpana dan balik bertanya, “Apa?” Baru dia diberitahu bahwa sebenarnya ayahnya berangkat ke Belanda untuk tinggal bersama kakeknya. Jadi bukan saja kakeknya, Suparna, yang masih hidup, tetapi juga bahwa kakek itu adalah anggota PKI, bahkan salah satu pemimpinnya. Kebenaran akhirnya terungkap pula.

Yusuf berterus terang dirinya telah mengalami shock. Dia merasa tidak siap menghadapi kenyataan yang sebenarnya ini. Dia berterus terang tidak pernah dekat dengan ayahnya, karena rasa takut yang terus mencekamnya. Tatkala sudah dewasa, Yusuf mulai berniat mencari tahu siapa kakek yang sebenarnya. Selain itu dia juga ingin tahu apa sebenarnya komunisme itu, apa yang ingin diperjuangkannya. Ia mengakui penyesalan datang setelah kakeknya tiada. Tapi dia percaya Suparna adalah orang baik yang selalu sibuk sekitar hal-hal yang intelektual. Karena terkena stroke, Suparna tidak bisa menulis dengan tangan kanan, tetapi dia tetap berusaha menulis dengan tangan kiri. Dia selalu sibuk dan baik hati dengan orang lain serta memperhatikan mereka.

Pelan-pelan Yusuf mengubah pemahamannya tentang PKI, PKI baginya bukan lagi jahat dan kejam seperti disebarluaskan oleh Soeharto. Walau begitu dia tetap mengkhawatirkan pemahaman sebagian besar rakyat Indonesia yang masih tetap kokoh pada pemahaman lama hasil rekayasa Orde Baru. Bahkan orang Indonesia tidak ingin bicara tentang PKI atau mencari tahu apa itu komunisme sebenarnya, karena sudah jelas bagi mereka PKI itu jahat dan PKI itu anti Tuhan. Keyakinan yang begitu dalam serta susah diganti.

Semua ini, demikian Yusuf, sangat penting bagi Indonesia, karena mereka tidak tahu kebenaran seputar G30S. Di Indonesia sendiri juga masih banyak korban, misalnya kalangan PKI maupun kalangan kiri lain serta anggota keluarga mereka. Padahal mereka sebenarnya tidak boleh mengalami penderitaan itu. Bagi Yusuf upaya membentuk International People’s Tribunal merupakan satu hal yang penting. Dia sangat berharap khalayak ramai siap menghadapi hal ini, karena ini adalah ketidakadilan yang sangat besar, paling sedikit kebenaran harus terungkap, khususnya bagi para korban.

***

Terhadap upaya pengungkapan kebenaran seputar peristiwa G30S, Sarmadji hanya punya sedikit harapan. Ia bersemboyan pekerjaan ini harus dilanjutkan, misalnya mengumpulkan dokumen tentang peristiwa 1965. Pemerintah tidak akan mau mengungkap itu. Untuk ini Sarmadji mengutip ucapan Asmu, ketua Barisan Tani Indonesia, BTI, yang berafiliasi dengan PKI. Menurut Asmu “Sing kuwoso ora karep, sing karep ora kuwoso,” artinya yang berkuasa tidak berminat, yang berminat tidak berkuasa.

Sarmadji menambahkan, perhimpunan dokumentasi Indonesia yang dimilikinya adalah nama resmi yang disampaikannya kepada pemerintah Belanda, liwat notaris. Ternyata Sarmadji juga menyimpan nama tidak resmi yang berbeda dari sebutan resminya. “Sejak berdiri saya ingin membangun monumen peringatan bagi mereka yang dicabut paspornya secara paksa oleh rezim Suharto dan meninggal di luar negeri. Inilah monumennya,” kata Sarmadji disambut tepukan tangan meriah hadirin.

***

Publik dalam dialog penyintas

Publik dalam dialog penyintas

Di Prancis hanya sedikit organisasi yang berkaitan dengan Indonesia. Menurut Ibaruri hanya ada dua organisasi: Solidaritas Indonesia dan Réseau Indonésie. Solidaritas Indonesia terutama bertujuan membantu keluarga-keluarga korban dengan cara kredit mikro. Sedangkan Réseau Indonésie membantu mewujudkan kerjasama antara pelbagai tokoh, LSM, dan partai politik Prancis dan Indonesia. Kalau kerjasama itu sudah terjalin, maka diharapkan bisa berjalan lebih baik lagi. Tetapi Ibaruri mengeluh karena pekerjaan yang harus dilakukan itu besar sekali. Mengapa? Karena orang Prancis itu pertama-tama tidak tahu di mana letak Indonesia. Bagi mereka Indonesia itu Bali, jadi Bali lebih terkenal ketimbang Indonesia.

Ketika The Act of Killing diputar, orang Prancis terkaget-kaget, demikian Ibaruri. Orang-orang kiri Prancis bahkan menyatakan tidak pernah mendengar peristiwa seperti itu di Indonesia.

Jadi penyelenggaraan IPT ini bagi Ibaruri akan ada alasan dan sasaran untuk lebih memprogandakan sesuatu tentang Indonesia di Paris. Ia tetap ingin berlanjut mengangkat problim 1965 ataupun mengangkat keadaan ex-Tapol, sekarang. Kembali hadirin bertepuk tangan meriah menyambut penjelasan Ibaruri.

Yusuf Sudrajat kembali menekankan betapa khalayak ramai Indonesia tidak tahu menahu atas peristiwa G30S. Ia juga menyesalkan orang-orang yang tidak hanya tidak tahu, tapi juga tidak berupaya mencari tahu. Walau begitu, Yusuf berharap mereka yang tidak tahu ini tetap bisa menerima apa yang dilakukannya mengenai peristiwa G30S. Yusuf menekankan kebenaran harus diungkap, dan sangat diharapkannya orang bisa menerima upaya pengungkapan itu.

This post is also available in: English