Majelis Hakin Yang Mulia,
Perkenankan saya mengawali pernyataan ini dengan sebuah pertanyaan sederhana: Mengapa kami di sini? Sangat penting menjawab pertanyaan ini secara jujur, karena dengan demikian kami bisa mengetahui apa yang diharapkan, apa yang bisa dicapai dan bagaimana mengatasi semua tantangan yang mungkin akan kami hadapi.
Dari Jakarta yang jauh saya datang bersama tim jaksa penuntut. Kebanyakan saksi dan saksi ahli datang dari berbagai kota lain di Indonesia. Demikian pula para hakim terhormat datang dari berbagai negara. Penyelenggara kebanyakan datang dari Jakarta dan mempunyai sekretariat di Belanda.
Tak terhitung jumlah jam yang kami habiskan untuk mempersiapkan diri untuk tribunal ini. Dan saya kira demikian pula Anda telah menghabiskan banyak waktu untuk mendalami berkanberkas yang telah kami sertakan. Jelas, kami akan menghabiskan berhari-hari jika bukan berbulanbulan untuk mencerna dan memerika semua berkas, pernyataan dan bukti.
Tidak dapat saya banyangkan, betapa banyaknya tenaga dan emosi yang dibutuhkan untuk merampungkan tugas ini. Dan saya yakin semua ini tidak akan mudah. Kami harus berdamai dengan diri sendiri.
Limapuluh tahun lalu, pada 30 September, tengah malam mulailah pelbagai kekejaman. Sejumlah jendral dibawa ke Lubang Buaya dan dibunuh. Ini terjadi di Jakarta bagian Timur di markas pangkalan udara. Diduga para jendral ini dibunuh oleh anggota-anggota Partai Komunis Indonesia. Ini disebut sebagai usaha penggulingan kekuasaan pemerintahan Presiden Sukarno.
Menariknya, pembunuhan para jendral ini dipakai sebagai pembenaran memburu Partai Komunis Indonesia yang ketika itu dianggap partai militan terbesar. PKI dituduh mendalangi penggulingan kekuasaan yang gagal ini dan penggulingan itu harus dikutuk. Tidak ada satupun alasan membenarkan tuduhan partai ini berada di balik penggulingan kekuasaan, kecuali karena partai ini juga yang di tahun 1940-an berada di belakang gerakan menentang pemerintah yang lebih dikenal dengan Peristiwa Madiun. Walhasil, PKI dinyatakan sebagai musuh rakyat, musuh bangsa dan oleh karenanya harus dihancurkan. Dan tentu saja PKI dipandang sebagai pengkhianat bangsa. Sekali pengkhianat, selalu tetap pengkhianat.
Dalam iklim dan kondisi psikologis semacam inilah terjadi pembunuhan massal terhadap orang-orang yang diasosiasikan dengan PKI. Pembunuhan yang diperkirakan paling sedikit 500.000 jiwa. Menurut Amnesty International mencapai 1.000.000 orang.
Sejujurnya Hakim yang mulia, tidak ada yang tahu berapa jumlah korban yang dibunuh secara bengis oleh tentara dan milisia dari berbagai ormas. Mungkin ini adalah tragedi kemanusiaan dalam sejarah yang masih harus diinvestigasi lebih lanjut. 1965 bukan hanya tentang pembunuhan massal terhadap mereka yang dipandang sebagai komunis atau bersimpati terhadap PKI. Tidak ada yang bisa menyangkal bahwa tak terhitung jumlah orang tidak bersalah yang sama sekali tidak ada hubungan dengan PKI juga dibunuh. Mereka itu mungkin teman, saudara atau istri atau anak yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan PKI.
Mereka dibunuh hanya karena diasosiasikan dengan seorang anggota atau simpatisan PKI. Mereka itu bersalah atas dasar asosiasi. Tentara dan milisia yang terlibat pembunuhan massal menjalankan hukum sendiri tanpa melalui jalan konstitusional dan memutuskan: mereka yang langsung atau tidak langsung berhubungan dengan PKI harus dibunuh.
Tidak pernah ada proses peradilan, tidak pernah ada pengakuan dugaan tidak bersalah. Hanya karena mereka diasosiasikan dengan PKI sudah cukup untuk menghukum mereka sebagai komunis dan oleh karenanya layak dibunuh. Tidak perlu proses peradilan.
Dapatkah Anda bayangkan betapa dalamnya kegelapan itu? Itulah tahun-tahun tergelap dalam sejarah Indonesia, tata hukum, hak asasi manusia dan peradaban. Setelah Perang Dunia II, setelah Hitler dan Nazi, pembunuhan massal menyusul peristiwa 1965 di Indonesia, mungkin sekali adalah kekejaman paling dahsyat dalam sejarah manusia. 1965 lebih dari hanya pembunuhan massal. 1965 adalah juga perbudakan, pemenjaraan/ perampasan kebebasan, penganiayaan, kekerasan seksual, penyiksaan, penghilangan paksa, penyiksaan melalui propaganda dan keterlibatan negara-negara lain terutama Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Kata-kata tidak menjelaskan besarnya penderitaan jiwa maupun raga yang dialami orang-orang, dan penderitaan itu masih terus berlanjut.
50 Tahun cukup lama. Namun luka dan kepedihan masih segar dalam tubuh para korban, keluarga mereka, anak-anak mereka, cucu mereka bahkan seluruh bangsa. Kebenaran harus disampaikan. Kebenaran harus disampaikan seutuhnya, secara jujur dan murni. Tanpa kebenaran luka tidak akan sembuh.
Sejarah tidak lengkap tanpa mengungkap kebenaran. Sejarah tidak bisa dicuci bersih. Beban ini ada di pundak kita. Beban akan senantiasa berada di pundak kita jika gagal mengungkap kebenaran. Karena dengan mengetahui kebenaran kita bisa mulai memulihkan luka luka dan penderitaan.
Mungkin berlebihan untuk mengatakan bahwa itu adalah prasyarat, bahwa kebenaran harus disampaikan sebelum melangkah mencari keadilan, rekonsiliasi dan memaafkan. Tentu saja tidak ada yang akan melupakan tragedi besar yang menimpa mereka, namun saya percaya mereka akan bisa berdamai dengan masa lalu.
Majelis Hakim Yang Mulia
Seperti saya katakan sebelumnya ada sembilan butir kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh Negara Indonesia, terutama tentara dan aparat negara yang bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain. Lebih dari itu dapat dikatakan negara Indonesia melalaikan kewajibannya sebagaimana ditetapkan dalam tatacara hukum internasional. Tiap butir akan dijelaskan dengan pembuktian yang didukung oleh para saksi dan saksi ahli jika diperlukan.
Kami akan menyampaikan tiap butir satu persatu pada majelis hakim yang mulia. Dengan tulus kami berharap hakim-hakim terhormat menerima penjelasan lengkap dan bukti untuk memahami kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan negara Indonesia sejak 1965.
Yang mulia, kejahatan belum berakhir. Beberapa kejahatan masih berlanjut, mereka masih melakukan kejahatan. Stigma pada saudara, istri, anak-anak para korban masih melekat. Stigma menurunkan martabat mereka.
Kami setulusnya berharap para hakim yang mulia dapat memperoleh semua berkas dan bukti untuk bisa mengerti betapa besar dan sistematis kekejaman terhadap kemanusiaan yang terjadi. Hanya dengan demikian para hakim yang terhormat bisa memahami mengapa kami mendakwa Negara Indonesia melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kini, mungkin pertanyaan pada awal tadi terjawab. Mengapa kami di sini. Kami mencari kebenaran. Bangsa kami mencari kebenaran. Kami telah menunggu lebih dari 50 tahun. Semua usaha mengajak pemerintah memulai investigasi dan tindakan legal tidak membuahkan hasil. Ironisnya kami tidak melihat niat jujur Pemerintah menyelesaikan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia secara sitematis sejak 1965.
Orang-orang yang diasosiasikan dengan 1965 menanggung stigma dan didiskriminasi. Mereka diperlakukan sebagai paria, tidak punya hak. Tidak ada perubahan semenjak kami memasuki Era Reformasi yang konon lebih menghargai demokrasi, penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia. Sadar atau tidak sadar sikap: lupakan masa lalu, pandanglah masa depan. Yang sudah, ya sudah. Jangan menengok ke belakang, jangan membuka luka lama. Tapi luka itu belum sembuh. Masih sakit. Harus disembuhkan dan untuk itu membutuhkan kebenaran. Tidak lelah-lelahnya para korban bersama para aktivis HAM melanjutkan perjuangan untuk mencari kebenaran.
Kami percaya kebenaran tidak bisa disembunyikan. Suatu hari kebenaran akan muncul kepermukaan. Dalam hal ini kami sangat menghargai kesimpulan dalam laporan Komnas HAM tentang kejadian 1965 bahwa telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan. Ada cahaya di ujung sana. Dan itu menguatkan kami mencari kebenaran dan keadilan melalui jalan kami. Jalan yang lebih singkat. Inilah yang mengantar kami ke hadapan Majelis Hakim yang mulia.
Kami datang ke sini bukan tanpa menanggung akibat. Sebagai manusia kami gugup dan khawatir. Kami khawatir karena di negara kami yang tercinta semua yang berhubungan dengan kekejaman 1965 masih merupakan tabu, tidak boleh dibicarakan, tidak bisa dipertimbangkan.
Pemerintah menolak membuka diskusi seputar peristiwa ini. Sebagai contoh adalah kejadian di Festival Penulis dan Pembaca di Ubud, Bali. Joshua Oppenheimer tidak diperbolehkan menayangkan filmnya, Jagal dan Senyap. Tentu saja ada usaha untuk berdiskusi dan mempertujukan film-film itu namun mereka berhadapan dengan polisi dan mungkin dengan kelompok-kelompok anti komunis yang menamakan diri Front Pembela Islam.
Yang Mulia, kami tidak tahu apa yang akan terjadi dengan kami sepulangnya dari sini. Sangat mungkin kami dituduh menjelek-jelekkan negara, memamerkan keburukan negara dan bangsa, dan oleh karena itu kami dianggap penghianat. Bukan mustahil kami akan diinterogasi dan lebih parah lagi adalah dipenjara.
Kenyataan Presiden Joko Widodo menolak minta maaf mendorong kami menyimpulkan pemerintah tidak mau tahu tentang kekejaman yang terjadi sejak 1965. Demikianlah adanya.
Saya menggarisbawahi kenyataan bahwa waktu mendesak. Kebenaran harus dibuka. Apapun akibatnya. Tolong dipertimbangkan, kebanyakan korban sudah meninggal, mereka yang masih hidup sudah lanjut usia. Waktu mereka terbatas. Oleh karena itu atas nama kebenaran dan keadilan kami harus maju ke tribunal ini dengan harapan menemukannya. Ada cahaya di ujung terowongan.
Akhirnya kami mengharapkan Pemerintah akan mendengarkan dan berupaya setulusnya mencapai rekonsiliasi sejati dengan segala penyelesaiannya. Pada akhirnya kemanusiaan harus dikembalikan, kesalahan harus diperbaiki dan keadilan harus dilaksanakan.
Seperti saya katakan sebelumnya ini bukan tribunal dalam pengertian hukum dan anda bukan hakim yang memiliki segenap wewenang. Kami, tim jaksa juga bukan jaksa dalam arti yang sebenarnya. Namun kami berfungsi dan berjuang bersama untuk menemukan kebenaran serta keadilan.
Harapan kami, keberanian dan kearifan Anda akan menghantar kami ke pelabuhan tempat kami bisa berlayar pulang membawa kebenaran dan keadilan.
This post is also available in: English