Majelis hakim internasional dari International People’s Tribunal tentang Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Indonesia 1965 telah menyatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan telah dilakukan oleh Negara Indonesia setelah terbunuhnya jendral-jendral pada tanggal 1 Oktober 1965 dan bahwa Amerika Serikat, Inggris dan Australia juga terlibat dalam kejahatan-kejahatan ini.
Mereka menyatakan bahwa pembunuhan massal yang bermaksud untuk memusnahkan PKI dan anggota-anggota PNI yang progresif, yang merupakan pembela setia Presiden Sukarno, bisa dikategorikan dalam Konvensi Genosida tahun 1948. Ini berarti bahwa genosida di Indonesia harus dimasukkan dalam genosida2 utama di dunia pada abad ke 20.
Kesimpulan ini didasarkan atas bukti yang dipresentasikan oleh tim prosekutor yang dipimpin oleh ahli hukum hak asasi ternama, Todung Mulya Lubis dan menjadi kesimpulan akhir setelah siding IPT bulan November 2015.
Yayasan IPT 1965 (International People’s Tribunal) secara resmi didirikan pada tahun 2014 untuk mengakhiri impunitas kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan pada dan setelah 1 Oktober 1965 di Indonesia. Tanggal ini menandai penculikan dan pembunuhan 6 Jendral dan 1 Letnan di Jakarta. Para pelaku pembunuhan adalah perwira-perwira tingkat menengah dan beberapa pimpinan dari PKI. Mereka ditangkap dan diadili. Namun, tentara dan preman yang dilatih oleh tentara memulai kampanye pembunuhan massal dan terror diseluruh negeri, yang tak pernah terjadi sebelumnya, dengan menargetkan anggota PKI dan/atau organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan Partai tersebut, maupun dengan anggota PNI yang progresif serta golongan etnis Cina. Pembenaran untuk pembunuhan-pembunuhan ini maupun hasutan untuk membunuh dan untuk menangkap secara massal dilandaskan pada kampanye propaganda hitam, dimana korban digambarkan sebagai mereka yang hiperseks, anti-Islam dan merupakan musuh Negara. Jenderal Suharto, yang mengorganisir kampanye ini menggantikan Presiden Sukarno pada tahun-tahun berikutnya dan mendirikan rezim militer yang tidak memberi tempat pada isu hak asasi maupun keadilan sosial.
Jatuhnya Suharto pada tahun 1998 membawa periode ‘Reformasi’ yang memberi harapan bagi berlangsungnya keadilan transisional (transitional justice), rekonsiliasi, dan rehabilitasi dari jutaan korban, penyintas dan keluarga mereka
Namun mereka yang setia pada Suharto tetap mengendalikan kekuasaan. Pada tahun 2007, Komnas Perempuan menghasilkan sebuah laporan tentang kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan korban 1965. Pada tahun 2012 laporan Komnasham tentang kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia yang dilakukan setelah 1 Oktober diserahkan ke Jaksa Penuntut Umum.
Sejak saat itu tidak ada follow up lagi dari laporan-laporan ini. Dalam kampanye pemilihan presiden, bapak Joko Widodo saat itu menjanjikan akan menangani pelanggaran hak asasi yang berkaitan dengan ‘isu 1965’. Ia menyatakan janji ini lagi setelah ia dipilih menjadi Presiden.
Dengan tiadanya suatu proses keadilan transisional dalam negeri yang didasarkan atas pencarian kebenaran, IPT 1965, yang terdiri atas aktivis hak asasi Indonesia maupun internasional, anggota organisasi korban, eksil Indonesia maupun para peneliti, bersama-sama mengorganisir International People’s Tribunal tentang Kejahatan Terhadap Kemanusiaan yang terjadi pada tahun 1965 di Indonesia.
Sidang diadakan pada tanggal 10-13 November 2015 di Den Haag, yang merupakan international city of justice. Selama empat hari, 7 hakim mendengarkan kesaksian faktual dari para korban dan jugakesaksian para saksi ahli dan mempertimbangkan tuntutan yang diangkat oleh tim penuntut, berdasarkan laporan ekstensif yang dikumpulkan oleh lebih dari 40 peneliti baik dari Indonesia maupun luar negeri.
Setelah mempertimbangkan dengan seksama bahan yang ditunjukkan kepada para hakim, Hakim Ketua, Zak Jacoob mempresentasikan keputusan Tribunal dalam video yang di tayangkan hari ini, 20 Juli 2016.
Keputusan ini adalah:
- Negara Indonesia bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan melalui rantai komandonya. Kejahatan tak berkemanusiaan ini adalah:
- Pembunuhan brutal atas manusia yang jumlahnya tidak diketahui persis, tapi secara umum diperkirakan antara 400.000-500.000 orang.
- Penahanan dalam kondisi tak manusiawi, dimana jumlah orangnya tidak diketahui persis, tapi secara umum diasumsikan sekitar 600.000 orang
- Perbudakan orang-orang di kamp-kamp tahanan seperti di P. Buru
- Penyiksaan
- Penghilangan paksa
- Kekerasan seksual
2.Ratusan atau ribuan orang direnggut hak kewarganegaraannya. Ini bisa dikategorikan sebagai kekerasan terhadap kemanusiaan
3. Propaganda palsu yang disebarkan untuk menyiapkan dilangsungkannya kekerasan. Hal ini merupakan bagian integral dari perbuatan kekerasan itu sendiri.
4. Amerika Serikat, Inggris dan Australia, kesemuanya juga terlibat dalam derajat yang berbeda-beda dalam menginstigasi kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan ini
5. Fakta yang dibawa ke Tribunal termasuk pula tindakan-tindakan yang masuk dalam Konvensi Genosida tahun 1948. Tindakan-tindakan ini dilakukan terhadap kelompok masyarakat Indonesia dengan maksud memusnahkan atau menghancurkan kelompok masyarakat tersebut.
Panel hakim merekomendasikan agar pemerintah Indonesia minta maaf kepada para korban, penyintas dan keluarga mereka; melakukan penyelidikan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana disebut di atas; dan mengikuti tuntutan Komnas Perempuan maupun Komnasham dalam laporan mereka, agar kebenaran bisa ditemukan dan impunitas atas kejahatan-kejahatan ini bisa diakhiri.
Atas nama Yayasan IPT 1965
Tanggal 20 Juli 2016 14.00 pm Jakarta
Koordinator
Nursyahbani Katjasungkana
This post is also available in: English