Judge Zak Yacoob

 

PUTUSAN HAKIM TRIBUNAL RAKYAT INTERNASIONAL 1965 ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN PERISTIWA 1965

Laporan ini dibuat setelah Majelis Hakim mengikuti IPT 1965 di Nieuwe Kerk, Den Haag, Belanda, tanggal 10 -14 November 2015. Selama empat hari sidang, Majelis hakim mendengarkan pernyataan para jaksa, dan kesaksian lebih dari 20 orang saksi. Dan menerima ratusan dokumen sebagai bukti.

Jaksa mengajukan 9 dakwaan kejahatan terhadap kemanusiaan. Satu, pembunuhan. Dua, perbudakan. Tiga, pemenjaraan. Empat, penyiksaan. Lima, kekerasan seksual. Enam, pemburuan. Tujuh, penghilangan paksa. Delapan, propaganda kebencian. Sembilan, keterlibatan negara lain.

Pelbagai bukti dan bahan pendukung lain, yang diterima setelah IPT 1965 berlangsung, dipertimbangkan. Dan menjadi dasar bagi laporan ini, untuk memperkuat pernyataan akhir Majelis Hakim di akhir sidang 13 November 2015.

Laporan ini diawali dengan menjawab pertanyaan soal tanggung jawab pembunuhan massal dan kejahatan lain. Kemudian memusatkan perhatian pada dakwaan yang disampaikan jaksa, lalu melangkah pada kesimpulan, rangkaian bukti dan rekomendasi.

Patut disesalkan Negara Indonesia datang dalam sidang, tanpa penjelasan apapun. Begitu pula Pemerintah Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Namun demikian Majelis Hakim menyambut partisipasi pribadi anggota Komnas HAM dan Komnas Perempuan yang memberi pengarahan dalam IPT 1965.

Hal lain yang patut dicatat, adalah adanya langkah-langkah penting walau tidak lengkap yang telah dilakukan Indonesia, setelah penyelenggaraan IPT 1965.

Ucapan terima kasih (2:50)

Pertama-tama kami mengucapkan terima kasih kepada para saksi. Yang dengan berani bersaksi tentang kenyataan yang mengubah hidup mereka

secara menyeluruh dan selamanya. Mereka adalah wakil utama para korban yang jumlahnya tidak akan pernah diketahui secara persis, dan dengan penderitaan yang tidak akan pernah bisa diuraikan.

Kami berterima kasih atas sumbangan pihak lain, korban dan saksi mata yang mengambil resiko pribadi memberikan kesaksian kepada Komnas HAM maupun Komnas Perempuan, ataupun di forum terbuka. Mereka yang telah membantu menerangi kegelapan masa lampau. Kami juga berterima kasih kepada ilmuwan pengkaji Indonesia, pakar hukum, dan aktivis lain yang telah ikut serta pada sidang IPT 1965 pada bulan November 2015.

Kerangka hukum (3:57)

Peran IPT dan Majelis Hakim telah dijelaskan dalam Pernyataan Umum

IPT 1965, Oktober 2015 sebelum sidang berlangsung, yakni:

IPT 1965, memperoleh otoritas moral suara korban serta masyarakat sipil nasional dan internasional. Tribunal menganut pola pengadilan hak-hak asasi manusia formal, tetapi bukan pengadilan pidana.

IPT 1965 berwewenang mengadili, tapi tidak berwenang memaksakan keputusan. Watak esensial IPT 1965 adalah Tribunal Penyelidikan. Anggota individual IPT 1965 memiliki pengetahuan luas tentang undang-undang hak- hak asasi manusia nasional maupun internasioal, dan pengetahuan mendalam tentang Sejarah Indonesia.

Majelis Hakim IPT 1965 akan memeriksa bukti-bukti yang diajukan jaksa; membuat dokumentasi yang akurat, historis dan ilmiah dan menerapkan kaidah hukum kebiasaan internasional, hukum publik internasional, dan hukum Indonesia atas fakta yang diajukan, untuk menghasilkan keputusan yang beralasan.

Tanpa takut atau mementingkan kalangan tertentu, Majelis Hakim IPT 1965 berupaya menemukan kebenaran. Dan berharap memberikan sumbangan untuk keadilan, perdamaian, dan rekonsiliasi.

Dalam Pernyataan terbuka yang dibacakan menjelang pengadilan, Majelis hakim menyatakan, tak perlu diragukan Peristiwa 1965 di Indonesia adalah sesuatu yang sangat penting bagi Indonesia dan dunia.

Kami percaya bahwa laporan yang jujur dan paling handal, atas akar Peristiwa 1965 dan sesudahnya, harus diperhatikan. Dan hal ini menjadi penting, jika perdamaian dan keadilan sesungguhnya ingin dicapai di Indonesia. Dan itu tak bisa dilepaskan dari rekonsiliasi dan rehabilitasi.

Pada IPT 1965, Majelis hakim diminta untuk mempertimbangkan kebenaran dakwaan dan data yang diajukan, bahwa kejahatan terhadap kemanusian telah terjadi di Indonesia pada 1965 dan sesudahnya. Dan Negara Indonesia secara hukum bertanggung jawab untuk mengakui, menyelidiki dan

menghukum kejahatan-kejahatan ini berdasarkan Hukum Internasional, Hukum Kebiasaan Internasional, dan hukum yang berlaku di Indonesia sendiri.

Majelis hakim memeriksa semua pengajuan tersebut, dan penafsiran Mukadimah IPT 1965 dengan tepat menunjukkan bahwa pelanggaran hak-hak asasi manusia serius, memang telah terjadi di Indonesia pada periode tersebut.

Masalahnya adalah, apa penyebab pelanggaran ini, serta apakah peristiwa ini bisa disebut kejahatan terhadap kemanusiaan ? Dan karena itu Negara Indonesia wajib bertindak.

Kejahatan terhadap kemanusiaan (7:04)

Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan bagian penting dan pilar Hukum Kebiasaan Internasional. Kejahatan ini, pertamakali didakwakan pada Tribunal Militer di Nüremberg dan Tokyo, yang kemudian dikodifikasi dalam Pernyataan Umum Hak-hak Asasi Manusia, 10 Desember 1948, dan prinsip- prinsip Nüremberg dalam Majelis Umum PBB pada 1950. Keduanya telah diakui dan diterima sebagai bagian hukum domestik Indonesia, seperti kami uraikan berikut.

Kami mulai dengan Hukum Kebiasaan Internasional.
Seperti dengan tepat ditunjuk oleh jaksa, kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Hukum Kebiasaan Internasional secara mendasar adalah

  1. tindakan tidak manusiawi yang merupakan tindak pidana dalam pelbagai hukum pidana nasional
  2. dilakukan sebagai bagian serangan sistematis dan meluas terhadap kalangan sipil.

Jaksa mengajukan bahwa tindakan tidak manusiawi adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dalam hukum internasional. Jaksa, dengan menggunakan alasan ius cogen norm, menyatakan melarang kejahatan kemanusiaan adalah Hukum Kebiasaan Internasional. Pelanggaran norma ini tidak diizinkan dengan alasan apapun.

Karenanya negara-negara diwajibkan mengadili mereka yang bertanggung jawab pada pelanggaran norma ini, atau mengekstradisikan para pelanggar norma ke negara-negara yang bertekad mengadili orang-orang ini.

Dalam Hukum Kebiasaan Internasional, ada dua hal yang harus ditekankan untuk membuktikan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan, yakni harus terjadi penyerangan besar-besaran atau menyeluruh terhadap warga sipil. Dan penyerangan ini tidak perlu terhadap segenap warga sipil, tetapi juga sebagian warga sipil.

Dalam Peristiwa 1965 dan sesudahnya di Indonesia, telah terjadi penyerangan yang meluas dan sistematis dengan sasaran sebagian besar warga sipil, yang terdiri dari Partai Komunis Indonesia, PKI, atau organisasi- organisasi onderbouwnya, pemimpin, anggota, pendukung beserta keluarganya. Juga mereka yang dianggap bersimpati dengan kelompok tersebut

Pada awalnya sasaran instruksi tampaknya terbatas pada pemimpin Gerakan 30 September, namun kemudian segera terlihat bahwa kelompok sasarannya makin meluas. Hingga berlaku bagi siapa saja yang dianggap anggota atau pendukung atau bersimpati dengan PKI, langsung atau tidak.

Lebih dari itu, beberapa perintah secara eksplisit memberikan wewenang kepada komandan tentara untuk bertindak diluar hukum. Banyak orang yang tidak memiliki kaitan, atau pun bersimpati dengan PKI, ikut menderita. Hal ini terus berlanjut, dan makin meluas. Hingga membangun restrukturisasi yang mendasar dan menyeluruh dalam masyarakat dengan tindakan pembersihan kalangan kiri dalam birokrasi dan tentara. Termasuk pemburuan para pendukung Presiden Sukarno dan anggota progresif Partai Nasional Indonesia, PNI.

Penekanan kedua, Hukum Kebiasaan Internasional untuk membuktikan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan adalah penyerangan tidak harus sekaligus meluas dan sistematis. Serangan luas yang tidak sistematis, dan serangan sistematis yang tidak meluas; secara terpisah memenuhi kriteria Kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam Hukum Kebiasaan Internasional.
Hal lain yang harus ditekankan, adalah bentuk tindakan yang merupakan bagian serangan ini –yang dibanyak negara dianggap tindak pidana; dianggap sebagai tindakan negara.

Jaksa menyatakan bahwa semua tindakan dalam Peristiwa 1965 yang merupakan tindak pidana di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Pada tahun 2000, Majelis Permusyawaratan Rakyat, MPR, meloloskan UU nomor 26/2000 tentang Pengadilan Hak-hak Asasi Manusia dalam rangka menyelesaikan Pelanggaran Hak-hak Asasi manusia berat. Hal tersebut tertera pada pasal 7 UU tahun 2000 sebagai pelanggaran besar hak-hak asasi manusia, termasuk Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan.

Hal ini mengikuti Pasal 7 Statuta Roma tahun 2000 yang menjadi dasar Mahkamah Pidana Internasional. Pasal 43 UU 26/2000 secara khusus menyebut bahwa pelanggaran hak-hak asasi manusia bahkan yang terjadi di masa lampau harus diputuskan oleh pengadilan ad hoc hak-hak asasi manusia. Pasal ini menggunakan kata “akan”, itu memungkinkan pendirian pengadilan yang akan menyelidiki kejahatan-kejahatan ini.

Definisi kejahatan terhadap kemanusiaan secara umum, baik dalam Hukum Kebiasaan Internasional maupun Hukum Indonesia, sama. Titik perbedaan yang ada, adalah pertama, dalam Hukum Kebiasaan Internasional, bentuk serangan, harus meluas dan sistematis, sementara dalam UU nomer 26, harus luas, sistematis dan langsung. Kedua, UU Indonesia menyebut tindakan spesifik sebagai bagian serangan, sedangkan dalam Hukum Kebiasaan

Internasional menyebut tindakan tak manusiawi sudah merupakan pidana, seperti yang dianut di sebagian besar negara. Tetapi perbedaan ini menjadi tidak penting.

Laporan ini bertujuan untuk menunjukkan:

  1. telah terjadi penyerangan terhadap warga sipil. Yang kesemuanya merupakan bagian integral dari serangan yang luas dan sistematis terhadap Partai Komunis Indonesia, PKI, organisasi onderbouwnya, pemimpin, anggota, pendukung dan keluarga mereka, termasuk mereka yang bersimpati pada tujuannya, dan para pendukung Presiden Sukarno. Dan secara meluas, terhadap orang-orang yang tidak berkaitan dengan PKI. Yang akhirnya menjadi tindak pembersihan menyeluruh terhadap para pendukung Presiden Sukarno dan anggota progresif Partai Nasional Indonesia.
  2. unsur-unsur serangan, seperti yang telah dikatakan oleh jaksa yakni pembunuhan massal, pemenjaraan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, dan pemburuan melalui pengasingan. Semuanya merupakan pidana yang melanggar jurisdiksi internasional, dan UU nomor 26/2000.

Jaksa pun mengajukan pasal-pasal UU pidana internasional tentang tanggung jawab negara untuk tindakan bersalah (ARSAWA), khususnya Pasal 22 yang tentang pelanggaran serius. Karena Negara secara sistematis gagal memenuhi tanggung jawabnya.

Laporan ini juga menyangkut dakwaan-dakwaan yang diajukan dalam IPT 1965. Dengan singkat saya membacakan setiap bagian, sebelum berlanjut pada rekomendasi. Bagian-bagian tersebut adalah tanggung jawab rantai komando, pembunuhan massal, pemenjaraan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, pengasingan, kampanye propaganda, keterlibatan negara lain, dan akhirnya genosida.

Pertama saya akan membahas tanggungjawab negara (16:27)

Tindakan pembunuhan massal, dan semua tindak pidana tidak bermoral pada Peristiwa 1965 dan sesudahnya, dan kegagalan untuk mencegahnya atau menindak pelakunya, berlangsung di bawah tanggung jawab sepenuhnya Negara Indonesia. Pejabat Pemerintah Indonesia sebelumnya, telah mengakui hal ini. Beberapa yang lain bermaksud menyidiknya atau meminta maaf. Kendati Rezim militer Soeharto langsung menindasnya, tetap muncul upaya untuk mengakui bahwa sebuah tindakan pidana terjadi.

Dari hasil penelitian para peneliti terungkap adanya komando dan petunjuk yang mengaitkan tindakan itu dengan tindak kriminal di wilayah Indonesia lain, dan menunjukkan adanya rantai komando koheren dari Jakarta ke jajaran yang lebih rendah.

Padahal jika ada tindak pidana yang dilakukan mandiri dari pihak berwajib, atau pun tindakan pidana lain –yang biasa disebut aksi spontan; ini bukanlah berarti membebaskan Negara dari kewajiban mencegah dan menghukum pelaku.

Semua kejahatan terhadap kemanusiaan, yang sekarang kita bahas bersama ini, dilakukan kepada warga masyarakat Indonesia yang diam tapi meluas, kalangan komunis Indonesia dan siapa saja yang berkait, termasuk pendukung Presiden Sukarno dan anggota serta pendukung PNI. Yang sama sekali tidak berkaitan dengan PKI.

Sekarang saya membahas pembunuhan massal (18:33)

Dokumen-dokumen yang ada menyebut, paling sedikit setengah juta orang dibunuh menyusul Peristiwa G30S. Hal ini jelas merupakan Kejahatan terhadap Kemanusiaan berdasarkan Hukum Kebiasaan Internasional. Untuk ini, dengan tepat jaksa mengajukannya sebagai dakwaan pertama kepada IPT 1965. Mempertimbangkan skala dan cakupannya, pembunuhan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan dapat digolongkan sebagai Pemusnahan. Dengan ciri-cirinya sebagai berikut :

Ciri pertama adalah Tindakan dan rangkaian tindakan yang menyebabkan pembunuhan sejumlah besar orang. Tanggung jawab tindak pidana Pemusnahan, hanya bisa dikaitkan pada orang per orang yang bertanggung jawab bagi sejumlah besar kematian, walaupun perannya sangat jauh atau tidak langsung.

Sebaliknya, tanggung jawab pembunuhan seseorang atau orang-orang dalam jumlah terbatas, secara prinsip tidak cukup untuk disebut sebagai tindak Pemusnahan. Pemusnahan, harus bersifat kolektif dan tidak diarahkan kepada pribadi/orang tertentu. Sebuah tindakan atau kombinasi tindakan, bisa digolongkan pada Pemusnahan, jika mengakibatkan, langsung/tidak, menjadi pemusnahan fisik manusia dalam jumlah besar, di luar hukum.

Saya sekarang beralih pada pemenjaraan (20:18)

Mempertimbangkan pelarangan umum terhadap pemenjaraan semena- mena dan diluar hukum dalam Hukum Kebiasaan Internasional, Jaksa menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran pasal 9E UU26/2000. Pemenjaraan dan hukuman berat terhadap kebebasan fisik merupakan pelanggaran kaidah dasar Hukum Internasional, dianggap Kejahatan terhadap Kemanusiaan.

Negara Indonesia, secara individual atau bersama organisasi lain, dengan semena-mena menahan atau memenjarakan banyak anggota, pengikut dan simpatisan PKI, organisasi onderbouwnya, termasuk pendukung Presiden Sukarno dan anggota serta pendukung PNI. Mereka ditahan tanpa diadili, dan sebagian besar ditahan tanpa surat penahanan. Karena itu melanggar Hukum Internasional.

Tidak adanya surat perintah penangkapan menyebabkan penahanan tersebut sudah melanggar hukum. Terlebih para tahanan tidak pernah diberitahu alasan penahanan mereka, juga tidak pernah didakwa atau diberitahu hak-hak mereka. Sekitar sejuta orang ditahan berdasarkan penggolongan yang diciptakan oleh ahli ilmu jiwa, dan berdasar pada penilaian kesetiaan mereka kepada komunisme. Para pakar ilmu jiwa seketika mengambil peran sebagai hakim de facto.

Saya sekarang beralih ke perbudakan yang merupakan dakwaan ketiga. (22:34)

Dengan melakukan pekerjaan yang begitu ekstrim, kondisi kerja yang tidak manusiawi, dan kontrol total tentara serta pegawai sipil negara, jelas bahwa para tahanan telah menjadi budak. Ini merupakan Kejahatan terhadap Kemanusiaan dan Kejahatan menurut UU nomer 26/2000 Indonesia, pasal 9 C.

Lebih dari itu ini telah melanggar Konvensi 1930 tentang kerja wajib dan paksa yang sudah diratifikasi oleh Indonesia pada 12 Juni 1950. Konvensi ini menerapkan pembatasan ketat kapasitas kerja, dan kondisi orang yang melakukannya.

Saya sekarang membacakan bagian penyiksaan. (23:44)

Pelarangan mutlak terhadap penyiksaan sesuai Hukum Internasional dan Hukum Kebiasaan Internasional, larangan-larangan penyiksaan juga terdapat dalam hukum Indonesia. UUD 45, Pasal 28 ayat 2. Yang menegaskan setiap orang berhak bebas dari penyiksaan, atau hukuman tidak manusiawi yang merendahkan, dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.

UU no 39/1999 tentang hak-hak asasi manusia, pasal 33 ayat 1 menegaskan setiap orang berhak bebas dari penyiksaan, atau bebas dari tindakan kejam tidak manusiawi, atau hukuman yang tidak manusiawi atau yang merendahkan. UU no. 26/2000, pasal 9 F secara eksplisit menyebut penyiksaan sebagai kejahatan yang harus berlaku surut sesuai pasal 33 UU pengadilan Hak-Hak Asasi Manusia.

Saya sekarang membacakan bagian laporan yang berjudul penghilangan paksa. (24:56)

Jelas bukti-bukti yang diajukan kepada IPT 1965 menegaskan, telah terjadi penghilangan paksa seperti yang didefinisikan dalam Preambul Deklarasi 1992. Penghilangan paksa muncul tatkala orang ditahan, dipenjara atau diculik, atau dicabut kebebasannya dengan cara apapun, oleh aparat pemerintah, atau kelompok terorganisi atau pribadi yang bertindak atas nama atau didukung langsung atau tidak, bertanggung jawab dan kenal dengan Pemerintah.

Bukti-bukti yang diajukan telah menegaskan terjadinya penghilangan paksa. Banyak orang hilang. Dan kita tidak perlu memerincinya lagi.

Saya sekarang membacakan kekerasan seksual. (26:16)

Bukti-bukti lisan dan tulisan yang diajukan kepada IPT 1965 dalam masalah kekerasan seksual di Indonesia selama 1965/1966 dan sesudah itu, adalah lengkap dan tak terbantahkan. Pernyataan para saksi dari pelbagai wilayah Indonesia, memaparkan informasi spesifik dan jelas tentang kejahatan ini. Perincian yang disampaikan saling menguatkan saat menggambarkan kekerasan seksual yang dilakukan dalam skala luas dan waktu panjang atas para perempuan, yang konon berkaitan atau bersimpati dengan PKI, dengan Pemerintahan Presiden Sukarno, atau dengan PNI.

Kejahatan ini menyangkut perkosaan, kekerasan seksual dalam bentuk penyiksaan, perbudakan seksual serta bentuk kekerasan seksual lain yang merupakan Kejahatan terhadap Kemanusiaan dan melanggar Hukum Kebiasaan Internasional dan Hukum Indonesia sendiri.

Tampaknya harus lebih banyak perhatian khusus diberikan pada aspek- aspek dalam Peristiwa 1965-1966 dan sesudahnya. Seruan Komnas Perempuan agar Pemerintah Indonesia melakukan penelitian sepenuhnya dan santunan sepenuhnya bagi para penyintas kekerasan seksual dan keluarga mereka, sampai hari ini tetap berlaku. Kendati telah berusia hampir 10 tahun.

Saya sekarang akan membacakan bagian pengasingan (28:05)

Mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan kepada IPT 1965, dapat disusun sejumlah fakta, bahwa banyak orang Indonesia harus mengalami Pengasingan Paksa. Ini berarti melanggar Hak Kebebasan Bergerak, hak untuk pulang, dan hak penuh sebagai warga negara. Hal ini bisa disamakan bobotnya dengan bentuk pemburuan, yang adalah Kejahatan terhadap Kemanusiaan.

Saya sekarang akan membacakan dakwaan propaganda palsu (28:43)

Dakwaan Jaksa yang diajukan kepada Majelis Hakim, menyebut Kejahatan Pemburuan melalui propaganda sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Menurut Jaksa, Negara Indonesia bertanggung jawab karena menggunakan propaganda dan pidato kebencian sebagai bagian serangan luas dan/atau sistematis terhadap anggota PKI, organisasi onderbouwnya, dan/atau pendukung Presiden Sukarno dan/atau anggota serta pendukung PNI.

Kampanye propaganda palsu ini penting bagi serangan meluas dan sistematis terhadap semua orang yang baru saya sebut sebelumnya. Propaganda palsu ini merupakan langkah penting pertama dari rangkaian serangan, dan karena itu merupakan Pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia.

Versi propaganda peristiwa 30 September – 1 Oktober 1965 membawa dampak tidak manusiawi yang penting, membenarkan pengejaran di luar hukum, penahanan dan pembunuhan mereka yang dicurigai sebagai terdakwa, khususnya melegitimasikan kekerasan seksual terhadap perempuan.

Selama lebih dari tiga dekade, hal ini tidak pernah dipertanyakan— dan propaganda ini menyebabkan penyangkalan hak-hak sipil para penyintas dan tidak adanya upaya keadilan bagi mereka.

Saya sekarang sampai pada keterlibatan negara lain (30:32)

Bukti-bukti menumpuk disampaikan kepada IPT 1965. Bahwa beberapa pekan setelah 30 September, Pemerintah Amerika, Inggris dan Australia melalui para diplomat mereka di Jakarta, media luar negeri dan beberapa pengamat non-pemerintah; mengetahui bahwa kalangan komunis dan banyak kalangan lain yang dikait-kaitkan dengan sebagai kaum kiri, dibantai dalam skala besar.

Pada awal 1966 jumlah korban terbesar seperti dilaporkan ke Washington, London dan Canberra berkisar paling sedikitnya 100 ribu atau sampai empat kali jumlah tersebut. April 1966 Kepala Koresponden Asing Harian The New York Times, C. L. Schilberger menggambarkan pembunuhan di Indonesia sebagai, “salah satu pembunuhan paling ganas dalam sejarah”, dengan skala dan keganasan menyaingi “pembunuhan orang Armenia di Turki, kelaparan dalam gulag oleh Stalin, genosida Yahudi oleh Hitler, pembunuhan Hindu Muslim menyusul pemisahan Pakistan dari India, pembersihan besar- besaran menyusul tegaknya Komunisme di Tiongkok”.

Wartawan Amerika, Seymour Topping melaporkan penemuannya secara panjang lebar dalam koran sama, Agustus 1966. Dia mengamati bahwa pembunuhan di Jawa Tengah biasanya dilakukan oleh tentara, sementara Jawa Timur dan Bali, rakyat dibujuk oleh tentara dan polisi untuk membunuh.

Kami mencatat bahwa sikap ketakperdulian masyarakat internasional atas penderitaan sesama manusia di Indonesia, berkait dengan konteks luas Perang Dingin, yang kemudian di Asia, memuncak lewat Perang Vietnam.

Sekarang kita membicarakan genosida (32:53)

Seperti yang diajukan oleh Jaksa sebelumnya, dikemukakan bahwa sejumlah tindakan telah dilakukan terhadap para pemimpin PKI, dan yang diduga anggota atau simpatisannya, dengan cakupan yang lebih luas termasuk mereka yang setia kepada Sukarno, serikat buruh, serikat guru, dan khususnya kalangan Tionghoa atau yang berdarah campuran, dan anggota PNI.

Tindakan ini diarahkan pada kelompok-kelompok tertentu , dengan tujuan khusus untuk menghancurkan sekelompok, sebagian atau seluruhnya. Hal ini menyangkut sejumlah tindakan yang tertera dalam Konvensi Genosida.

Karenanya harus dipastikan apakah tindakan ini diarahkan terhadap kelompok-kelompok tertentu seperti disebut dalam Konvensi Genosida, atau bahwa tindakan ini dilakukan dengan tujuan khusus untuk menghancurkan sekelompok, sebagian atau seluruhnya.

Menyangkut pertanyaan tersebut, Majelis Hakim pada akhir sidang tanggal 11 November 2015 menegaskan, bahwa telah dipastikan, dalam periode tersebut Negara Indonesia –melalui tentara dan polisi, telah terlibat dan mendorong terjadinya pelbagai pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia berat ini secara sistematis dan menyeluruh.

Majelis Hakim yakin bahwa semua ini dilakukan demi tujuan politik untuk membasmi PKI, dan mereka yang didakwa anggota atau simpatisannya, dan lebih luas lagi pendukung Sukarno, serikat buruh, dan serikat guru.

Pertimbangan Jaksa tentang tindakan ini pun menggambarkan bagaimana masyarakat Indonesia, dengan sadar dan mau dan telah dibentuk kembali oleh teror dan pembasmian.

Sebuah laporan penelitian menegaskan, “di Indonesia sebagian besar oranrg Tionghoa dibunuh karena mereka anggota BAPERKI, perhimpunan Tionghoa Indonesia yang berkaitan dengan PKI. Tetapi motif etnik juga berperan dalam pembunuhan massal orang Tionghoa Indonesia, khususnya di Aceh, Medan, Makassar, dan Lombok. Sejauh pembunuhan mereka berkaitan dengan identitas Tionghoa, masuk akal untuk menggolongkan pembunuhan itu sebagai genosida seperti tertera dalam Konvensi Genosida”.

Penemuan dan Rekomendasi (35:43)

Satu penemuan. Negara Indonesia bertanggung jawab dan bersalah melakukan Kejahatan terhadap Kemanusiaan karena memerintahkan dan melakukan, khususnya tentara, melalui rantai komando, tindakan tidak manusiawi yang diperincikan berikut:

Semua tindakan ini merupakan bagian integral serangan yang menyeluruh, meluas dan sistematis terhadap Partai Komunis Indonesia, PKI, organisasi-organisasi onderbouwnya, para pemimpinnya, anggotanya, pendukungnya dan keluarga mereka, termasuk mereka yang bersimpati pada tujuannya, dan secara lebih luas terhadap orang yang tak berkaitan dengan PKI.

Termasuk didalamnya, serangan menyeluruh pada para pendukung Presiden Sukarno, dan anggota progresif Partai Nasional Indonesia, PNI. Setiap tindakan tidak manusiawi tersebut, merupakan tindak pidana di Indonesia, dan di negara-negara beradab lain.

Serangan tadi diawali dengan propaganda palsu yang akan dibahas kemudian, dan melakukan tindakan tidak manusiawi yang pada gilirannya menjadi bagian dari sebuah serangan yang lebih luas.

Negara Indonesia gagal mencegah terjadinya tindakan tidak manusiawi ini, ataupun menghukum mereka yang terlibat/melakukannya. Sebab jika terjadi perbuatan pidana yang dilakukan terpisah dari pemerintah, atau tindakan yang biasa disebut aksi lokal spontan, bukanlah berarti negara dibebaskan dari tanggung jawab. Negara wajib menghalangi kembali

berulangnya kejadian, dan menghukum mereka yang bertanggung jawab. Tindakan-tindakan ini diperinci sebagai berikut:

  1. Pembunuhan 

Paling tidak sekitar 400 ribu orang dibunuh dalam Peristiwa 1965 dan sesudahnya. Pembunuhan keji ini cukup meluas untuk digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagai Pembunuhan massal dan/atau Pemusnahan serta pelanggaran Hukum Indonesia sendiri, termasuk pasal 138 dan pasal 140 KUHP, khususnya UU 26/2000.

Pembunuhan ini pun adalah serangan meluas dan sistematis terhadap PKI dan semua yang dianggap berkaitan dengannya, termasuk didalamya terhadap pendukung Presiden Sukarno, dan anggota serta pendukung PNI.

  1. Pemenjaraan (33:43)

Tidak ada statistik tentang jumlah orang yang disekap dengan pelbagai bentuk penahanan, termasuk kerja paksa dan perbudakan; tetapi paling sedikit menimpa lebih dari 600 ribu orang. Pemenjaraan diluar hukum merupakan kejahatan di Indonesia, dan di sebagian besar dunia pada saat itu. Tetapi kejahatan ini di Indonesia, cukup meluas dan sistematis sehingga bisa digolongkan sebagai Kejahatan terhadap Kemanusiaan Serius, dan melanggar UU 26/2000.

Pemenjaraan ini juga merupakan bagian serangan meluas dan sistematis terhadap PKI dan semua yang dianggap berkaitan dengannya dan organisasi lain yang tadi sudah disebut.

  1. Perbudakan 

Ada banyak bukti bahwa mereka yang ditahan, dipaksa bekerja dibawah kondisi, merupakan Kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam bentuk Perbudakan. Hal ini melanggar Konvensi 1930 tentang wajib atau kerja paksa, dan melanggar UU Indonesia sendiri, khususnya UU26/2000.

Tindak perbudakan ini pun adalah bagian serangan meluas dan sistematis terhadap PKI dan semua yang dicurigai dan bukan dibuktikan berkaitan dengannya, termasuk pendukung dan organisasi yang mendukungnya.

  1. Penyiksaan 

Telah cukup bukti bahwa telah terjadi penyiksaan secara meluas terhadap orang yang dipenjarakan dan tahanan lain, selama terjadinya pembunuhan massal dan pemenjaraan. Kejadian tersebut banyak diperoleh dalam Laporan Komnas HAM dan Komnas Perempuan, serta kasus pribadi dalam kesaksian. Hukum Indonesia secara eksplisit melarang penyiksaan dan Hukum Kebiasaan Internasional secara mutlak melarang penyiksaan.

Tindakan kekerasan ini, merupakan bagian serangan meluas dan sistematis terhadap PKI dan semua yang dianggap atau dicurigai berkaitan dengannya, termasuk pendukung Presiden Sukarno, dan anggota PNI.

  1. Penghilangan paksa 

Banyak bukti tersedia tentang terjadinya penghilangan paksa. Yang kadang-kadang menjadi awal pemenjaraan atau eksekusi, sementara pada kasus lain, nasib korban tidak pernah ditetapkan. Bukti mengenai ini tersedia dalam laporan Komnas HAM, melalui saksi mata, dan studi kasus yang diajukan kepada Tribunal.

Penghilangan paksa dilarang oleh Hukum Kebiasaan Internasional. Tindakan penghilangan paksa ini merupakan bagian serangan meluas dan sistematis terhadap PKI dan mereka yang dianggap atau dicurigai berkaitan dengannya.

  1. Kekerasan seksual 

Bukti-bukti adanya kekerasan seksual seperti tertera dalam laporan Komnas Perempuan, ajuan dalam bentuk lisan dan tulisan; lengkap dan tak terbantahkan. Rinciannya saling memperkuat dan menggambarkan meluas dan sistematisnya kekerasan seksual terhadap para perempuan yang dianggap berkaitan dengan PKI dalam bentuk apapun.

Tindakan ini termasuk perkosaan, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, dan bentuk kekerasan seksual lain. Tindakan-tindakan ini selalu merupakan pelanggaran di Indonesia, khususnya menurut UU26/2000 yang merupakan Kejahatan terhadap Kemanusiaan sebagai bagian serangan meluas dan sistematis terhadap PKI dan semua yang dianggap berkaitan dengannya.

  1. Pengasingan 

Orang-orang Indonesia yang paspornya disita di luar negeri, sama artinya dengan pencabutan hak mereka sepenuhnya dan tanpa syarat sebagai warga negara. Kebijakan pengasingan paksa atau tidak bebas, selain merupakan tidakan tidak manusiawi, juga merupakan serangan negara yang meluas terarah pada warga sipil yang penting dan substansial. Dan hal ini dapat merupakan Kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam bentuk Pengejaran.

  1. Propaganda 

Versi resmi tentang apa yang terjadi terhadap para tahanan di Lubang Buaya benar-benar palsu sepenuhnya. Sejak awal, fakta tersebut telah diketahui para pemimpin tentara dibawah Jenderal Soeharto. Dan dengan sengaja dipalsukan untuk tujuan propaganda.

Kampanye terus-menerus terhadap mereka yang didakwa berkaitan dengan PKI, melegitimasikan pengejaran diluar hukum, penahanan dan pembunuhan mereka yang dianggap sebagai terdakwa. Ini pun dijadikan

legitimasi untuk melakukan kekerasan seksual dan semua tindakan tidak manusiawi yang sudah diuraikan.

Hal ini selama lebih dari 30 tahun, tidak pernah dipertanyakan. Propaganda palsu tidak hanya menyebabkan tidak diakuinya hak-hak sipil para penyintas, tetapi juga membuat berlanjutnya pengejaran atas mereka.

Menyebarkan propaganda palsu dengan tujuan mempersiapkan tindak kekerasan, memiliki karakter yang sama dengan memerintahkan kekerasan. Tindak menyiapkan kejahatan semacam ini, tidak bisa dipisahkan dari kejahatan itu sendiri. Persiapan ini melempangkan jalan, dan menjadi awal bagi serangan yang menyeluruh dan meluas.

Sekarang saya membahas keterlibatan negara lain (44:30)

Amerika Serikat, Inggris, dan Australia terlibat dalam Kejahatan terhadap Kemanusiaan ini dengan tingkatan yang berbeda-beda. Amerika memberikan dukungan cukup kepada tentara Indonesia, padahal mereka mengetahui bahwa tentara akan melakukan pembunuhan massal dan tindak kriminal lain. Dengan ini, dakwaan terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan bisa dibenarkan.

Bukti paling nyata adalah penyerahan daftar nama anggota PKI kepada Amerika Serikat, saat telah terjadi dugaan keras bahwa langkah ini akan memudahkan proses penangkapan dan/atau eksekusi atas orang-orang yang nama-namanya yang disebut.

Inggris dan Australia melancarkan kampanye tak henti-henti dengan mengulang propaganda palsu tentara Indonesia. Dan kampanye terus berlanjut, ketika pembunuhan dan kejahatan terhadap kemanusiaan berlangsung secara meluas dan sewenang-wenang. Ini membenarkan dakwaan keterlibatan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan yang sudah disebut.

Pemerintah negara-negara yang disebut di atas, mengetahui sepenuhnya apa yang terjadi di Indonesia, melalui laporan diplomatik, dari kontak di lapangan dan laporan media Barat.

Genosida

Fakta-fakta yang disampaikan jaksa di hadapan Tribunal, masuk dalam tindakan-tindakan yang tergolong dalam Konvensi Genosida. Kejahatan telah dilakukan kepada bagian penting Bangsa Indonesia, atau grup nasional tertentu Indonesia sebagai kelompok yang terlindungi seperti tertera dalam Konvensi Genosida.

Langkah-langkah ini bertujuan khusus membasmi sebagian atau seluruhnya. Termasuk di dalamnya kelompok minoritas Tionghoa. Negara Indonesia terikat dalam ketentuan-ketentuan Konvensi Genosida tahun 1948, di bawah hukum kebiasaan internasional.

Akhirnya saya bacakan Rekomendasi (46:50)

Laporan ini berseru kepada Pemerintah Indonesia secara mendesak dan tanpa syarat agar:

  1. meminta maaf kepada semua korban, penyintas dan keluarga mereka untuk peran negara dalam semua kejahatan terhadap kemanusiaan, atau kejahatan lain yang terjadi di Indonesia berkait dengan peristiwa 1965.
  2. menyidik dan mengadili semua Pelanggaran terhadap Kemanusiaan
  3. memastikan kompensasi dan santunan yang memadai kepada korban dan penyintas

Laporan ini sepenuhnya mendukung dan mendesak semua otoritas yang berkait untuk mengindahkan dan mematuhi:

  1. Seruan Komnas Perempuan, agar Pemerintah melakukan penyelidikan sepenuhnya dan memberikan ganti rugi sepenuhnya bagi penyintas kekerasan seksual, termasuk keluarganya.
  2. Seruan Komnas HAM agar Jaksa Agung bertindak berdasarkan Laporan tahun 2012 untuk melakukan penyelidikan terhadap sesuatu yang dianggap sebagai pelanggaran berat hak-hak asasi manusia yang terjadi selama 1965-1966 dan sesudahnya.
  3. Seruan para korban dan pribadi lain termasuk kelompok-kelompok hak-hak asasi manusia Indonesia agar Pemerintah dan semua sektor masyarakat Indonesia untuk:
  4. memerangi impunitas, bersepakat bahwa pelanggaran hak- hak asasi manusia berat di masa lampau yang tidak dihukum telah meracuni masyarakat dan membiakkan kekerasan baru.
  5. merehabilitasi para penyintas, dan menghentikan pengejaran yang masih dilakukan oleh pihak berwajib, atau menghilangkan pembatasan bagi para penyintas, sehingga mereka dapat menikmati sepenuhnya hak asasi seperti yang dijamin oleh hukum internasional dan Indonesia.
  6. Dan akhirnya, memastikan kebenaran tentang sesuatu yang terjadi, hingga generasi masa depan bisa belajar dari masa lampau.

Terima kasih banyak.

*Transkrip/penerjemahan Joss Wibisono, Editor Lea Pamungkas 

This post is also available in: English