Sumber : Tempo, 22 Juli 2016
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Eva Kusuma Sundari meminta Presiden Joko Widodo membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menyelesaikan tragedi 1965. Meskipun Indonesia tidak meratifikasi Statuta Roma, Jokowi seharusnya memperhatikan rekomendasi dari International People’s Tribunal (IPT).
Menurut Eva, Jokowi juga mesti mempertimbangkan hasil dari kedua simposium soal tragedi 1965 di Jakarta beberapa waktu lalu. “Banyak negara, termasuk Amerika Latin dan Afrika, membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi lewat Keputusan Presiden,” kata Eva dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 22 Juli 2016.
Eva mengatakan temuan-temuan tersebut menyimpulkan telah terjadi beberapa pelanggaran hukum internasional nasional dalam tragedi 1965, yakni pembunuhan massal, pemenjaraan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, diskriminasi terhadap korban dan masyarakat keturunan, dan sebagainya.
“Kita tak bisa terus-menerus tak mau menutup tragedi 1965. Kita tak boleh meninggalkan pekerjaan besar ini kepada anak atau cucu kita. Kita harus melakukan rekonsiliasi, dan rekonsiliasi harus dilakukan berdasarkan sesuatu dan sesuatu tersebut adalah kebenaran,” katanya.
Menurut Eva, terdapat tiga tujuan dalam pembentukan komisi kebenaran tersebut, yakni pencarian kebenaran dengan memberikan tempat dan waktu kepada para korban dan keturunannya serta beberapa pelaku pembunuhan untuk bersaksi dan memberikan perlindungan kepada mereka yang hendak bersaksi dari intimidasi dan diskriminasi.
Selain itu, Eva berujar, komisi kebenaran dibentuk untuk memberikan restorasi terhadap hak para korban dan keturunannya yang selama ini mengalami diskriminasi akibat tragedi 1965. “Komisi ini akan membuka forum kesaksian di berbagai kota. Komisi akan merekam dan mencatat kesaksian,” tuturnya.
Setelah itu, menurut Eva, kesaksian tersebut dapat dibukukan atau ditampilkan di sebuah situs sehingga dapat menjadi acuan bagi masyarakat untuk belajar mengenai kebenaran kasus 1965. “Presiden Jokowi akan melakukan hal yang sangat berguna buat masa depan bangsa Indonesia dengan membentuk komisi kebenaran,” katanya.
Eva pun menyarankan, jumlah anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ganjil. “Bisa 7-15 orang, bekerja selama tiga tahun. Hasilnya adalah sebuah buku putih,” ujarnya. Eva menambahkan, “Temuan dan rekomendasi dari Den Haag sebenarnya tidak berbeda dari temuan Komnas HAM karena kebenaran sejarah tidak bisa dibelokkan.”
Sayangnya, Eva menilai, pemerintah yang lalu tidak memiliki kemauan untuk menyelesaikan kasus 1965, di mana Kejaksaan Agung menggantungkan laporan Komnas HAM terkait kasus 1965. “Presiden sepatutnya menjadi pemutus lingkaran propaganda pengingkaran fakta pelanggaran HAM kepada para korban 1965,” katanya.
Menurut Eva, penyelesaian tragedi 1965 melalui mekanisme komisi kebenaran merupakan langkah paling tepat karena korbannya bukan saja keluarga PKI, melainkan juga Bung Karno, aktivis PNI, serta para anggota militer. “Saatnya kita jadi bangsa yang dewasa, mengakui kesalahan masa lalu agar bisa melakukan lompatan maju,” ujar Eva.
This post is also available in: English