Penegakan hak-hak asasi manusia (HAM) selama dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo masih jauh dari harapan. Terkait dengan kewajiban negara untuk menyelesaikan tujuh kasus dugaan pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights), arah dan strategi penanganannya begitu mengelinjang alias ke sana kemari, tanpa arah yang jelas.
Tujuh kasus tersebut adalah Kerusuhan Mei 1998, Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II, Penculikan Aktivis 1997/1998, Kasus Wasior dan Wamena, Kasus Talangsari (Lampung), Kasus Penembakan Misterius (Petrus), dan Peristiwa Pembantaian Massal 1965.
Sebagai presiden yang sangat populer dan merakyat, serta dinilai tidak dibebani dengan masa lalu, rakyat (khususnya korban pelanggaran HAM dan organisasi pembela HAM) berharap sangat tinggi agar Presiden Jokowi mau (willing) dan mampu (able) menyelesaikan tunggakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang sudah sangat berlarut-larut itu.
Berlarut-larutnya penyelesaian atas kasus-kasus tersebut adalah bentuk dari pengabaian hak atas keadilan (justice delayed is justice denied).
Alih-alih melakukan penyelesaian secara tegas dan tuntas, proses penanganan kasus pelanggaran HAM berat di masa Jokowi dikhawatirkan tidak akan maksimal dan semakin menjauhkan harapan korban atas keadilan. Jangan sampai terjadi pengulangan kegagalan menyelesaikannya seperti di masa presiden-presiden sebelumnya.
Sikap Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM Wiranto yang mengatakan bahwa mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat akan diarahkan pada jalur non-yudisial atau di luar mekanisme pengadilan, masih terlalu dini untuk disampaikan ke publik sehingga melukai harapan korban.
Pemerintah berencana membentuk Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi. Namun, tanpa adanya pengungkapan kebenaran (truth), rekonsiliasi tidak akan berjalan dengan baik dan maksimal, karena belum ada kebenaran yang diungkapkan.
Kasus penculikan terhadap aktivis pro-demokrasi 1997/1998 yang “modal politik”-nya sudah relatif memadai karena sudah ada rekomendasi dari Dewan Perwakilan Rakyat pada 2009 lalu agar Presiden segera menetapkan pembentukan Pengadilan HAM ad-hoc, pun sampai sekarang tidak jelas.
Apalagi dengan enam kasus pelanggaran HAM berat lainnya, pasti akan lebih berliku jalannya.
Untuk peristiwa pembantaian massal 1965, ada momentum yang sangat baik terkait dengan Simposium Nasional pada April lalu. Namun, arah penyelesaian juga belum jelas, meskipun kabarnya Tim Perumus sudah memberikan rekomendasinya ke Presiden Jokowi.
Persoalan mendasar masih gelapnya penyelesaian tunggakan kasus-kasus pelanggaran HAM berat tersebut adalah tidak adanya road map atau peta jalan yang menjadi arah dan target bagi pemerintah untuk menyelesaikannya.
Selama ini, salah satu faktor yang dipersoalkan adalah unsur materiil dan formil berkas penyelidikan Komnas HAM. Padahal, hal ini bisa dikoordinasikan dengan Kejaksaan Agung selalu penyidik. Kepentingan korban harus diutamakan dan menjadi prioritas bagi negara.
Hal yang khas dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM adalah bahwa sebagian tugas/kewenangan dari penyelidik, dalam hal ini Komnas HAM, adalah ranah dari penyidik jika merujuk pada sistem peradilan pidana biasa (criminal justice system). Hal ini, misalnya, kewenangan untuk melakukan pemeriksaan surat dan penggeledahan/penyitaan (Pasal 19 ayat (1) huruf g).
Dengan tata cara dan kewenangan yang demikian, karena Undang-Undang tentang Pengadilan HAM adalah hukum acara yang khusus terkait dengan pelanggaran HAM berat, kerja sama dan kolaborasi yang baik antara penyelidik Komnas HAM dan penyidik Kejagung amat diperlukan.
Jika tidak, yang terjadi adalah tertunda-tundanya waktu penyelesaian berkas perkara karena berkas bolak-balik dari Kejaksaan Agung ke Komnas HAM, seperti selama ini terjadi. Sementara itu, korban tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Kerja sama antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung adalah sebuah keharusan, yang mesti dimulai sejak penyelidikan, karena memang undang-undang yang mengaturnya mewajibkan demikian. Akan tetapi, masing-masing harus tetap menjaga independensinya sebagai lembaga penegak hukum.
Mekanisme koordinasi ini harus dilaksanakan secara efektif sebelum melangkah jauh dengan keputusan pemerintah untuk membentuk mekanisme penyelesaian melalui jalur non-yudisial, karena masih sangat prematur.
Hasil dari koordinasi dan bedah perkara antara kedua lembaga ini seyogianya disampaikan ke publik, khususnya ke korban yang mempunyai hak untuk tahu setiap proses penanganan kasusnya.
Proses tersebut harus ditentukan target waktunya, agar ada kepastian atas hasil atau keputusan atas proses penyelesaian kasus-kasus tersebut. Hasil dari gelar perkara tersebut apakah layak untuk dilanjutkan ke proses peradilan ataukah tidak, harus disampaikan sendiri oleh Presiden Jokowi sebagai kepala negara.
Pada Mei 2017, Pemerintah Indonesia akan melaporkan hasil pelaksanaan perbaikan situasi HAM di Indonsia di bawah mekanisme Universal Periodic Review (UPR) ke Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mekanisme penilaian pelaksanaan HAM ini dilakukan setiap empat tahun sekali.
Tindak lanjut penyelesaian atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat adalah salah satu yang akan dinilai dan dilaporkan ke Dewan HAM PBB, karena telah menjadi rekomendasi UPR tahap I pada Mei 2012.
Dengan peta jalan yang jelas, transparan, dan ada target waktu tersebut, tunggakan kasus pelanggaran HAM berat akan bisa dituntaskan setahap demi setahap, sehingga menjadi catatan baik (progress report) bagi Pemerintahan Jokowi untuk dilaporkan ke Dewan HAM PBB.
Presiden Jokowi akan meringankan beban bagi bangsa ini dan bisa melangkah lebih optimistis dalam menatap agenda kebangsaan lainnya. Agar setahun mendatang pada usia ketiga pemerintahan Jokowi, sudah ada capaian penegakan HAM yang menjadi harapan publik dan korban. Persoalan penegakan HAM tidak lagi bergelinjang, tapi penanganannya bisa lebih terarah dan sistematis demi keadilan bagi para korban dan keluarganya.
This post is also available in: English