Tidak ada dosa yang lebih cepat mendapat balasan kecuali menindas orang lain dan memutuskan tali persaudaraan (Rasulullah SAW)

Semua kezaliman bermula dari yang sedikit. Kemudian setiap orang sesudah itu menambahnya, sehingga akhirnya menjadi sangat besar (Sa’di/Penyair Persi)

Kita tidak akan meminta maaf. Kita tidak bodoh. Kita tahu apa yang kita lakukan, dan itu adalah hal benar yang harus dilakukan untuk Negara (Luhut Binsar Pandjaitan, Simposium Nasional Tragedi 1965)

 

DOKUMEN pengadilan ini sekarang dapat dibuka dan dibaca. Pengadilan yang digelar di Den Haag 10-13 November 2015. Bersangkut paut dengan tragedi 1965 yang memakan banyak korban jiwa. Tiap lembar dokumen itu menyajikan fakta yang rinci mengenai operasi pembunuhan terencana. Dilakukan oleh aparat resmi negara dibantu organisasi sipil serta dilindungi oleh lembaga penegak hukum. Baru kali ini kita memperoleh lukisan mengenai pembunuhan yang diatur dan dilindungi. Sebut saja Jaksa Agung yang keluarkan instruksi-pada saat itu- agar tidak menuntut pembunuhan terhadap anggota PKI. Juga pembunuhan atas orang yang berafiliasi dengan PKI. Tahulah kita sejak dulu, nyatanya lembaga penegak hukum dikendalikan oleh kejahatan. Tradisi yang kemudian diwariskan secara turun temurun. Hingga kita semua sulit meyakini kalau hukum itu berujung pada keadilan dengan proses yang bisa berlangsung secara adil.

Dokumen itu merinci dengan tertib bagaimana operasi pembunuhan itu dikerjakan. Di bawah pimpinan Soeharto maka bunuh-membunuh itu diatur dengan detail serta melalui proses mekanik yang terstruktur. Mula-mula dibentuk tim investigasi yang tugasnya melakukan interograsi dan mengumpulkan informasi. Hasil itu semua kemudian jadi bahan untuk ‘penyelesaian pada tawanan/tahanan’. Tahap akhir ini menentukan posisi nyawa: dibinasakan atau ditahan. Pada dokumen itu tertera kalimat “Sehingga yang punya kata terakhir persoalan hidup atau mati adalah para komandan tingkat distrik atau KODIM (Komando Distrik Militer)” Kantor yang kini diisi oleh serdadu yang kadang melakukan kerja bakti, olah raga dan baris berbaris: dulu pernah jadi eksekutor dan penentu nyawa seseorang. Betapa gila dan perkasanya. Maka pembunuhan terencana itu seperti sebuah program yang diselenggarakan massal dan melibatkan banyak orang. Inilah hari dimana anak-anak bangsa melacurkan diri jadi komplotan biadab.

Diperantarai oleh dokumen persidangan: dituturkan bagaimana manusia diklasifikasi. Tak berdasar atas peringkat amal dan pengetahuan tapi terkait dengan PKI. Mereka yang terlibat langsung, terlibat tak langsung atau menunjukkan indikasi atau yang bisa cukup diasumsi memiliki keterlibatan langsung atau tak langsung. Penggolongan tanpa pengadilan ini dilakukan untuk memastikan ‘hukuman’ apa yang patut diberikan. Guna meraih tujuan klasifikasi itulah maka dilibatkan banyak orang dengan cara yang buas. Tercantum dalam dokumen itu prosedur keji yang dijalankan:…paramiliter sipil yang beroperasi di bawah arahan pos kecil RPKAD untuk menangkap orang-orang yang diduga komunis dan kemudian membawa mereka ke tempat-tempat penahanan yang sudah ditunjuk. Tawanan-tawanan kemudian diinterograsi, sesingkat apapun prosesnya, untuk memisahkan kader PKI dari anggota biasa, simpatisan dan keluarga. Kader-kader dibawa ke tempat terpencil dan kemudian dibunuh…..’ Saat itu kita jadi bangsa yang menganggap nyawa dan kehormatan hanya mainan. Kehormatan tiap orang ditaklukkan oleh prosedur keji yang meletakkan orang pada sebuah kategorisasi yang kejam.

Membaca dokumen ini kita akan diantarkan oleh pengalaman kekejaman yang sulit dilakukan manusia normal. Dokumen internal dari Komando Militer Aceh memberitahu jalannya proses pembunuhan: “terjadi melalui empat tahap yang berbeda di provinsi ini: tahapan ini termasuk tahap inisiasi: sebuah fase pembantaian di depan publik-spektral: suatu tahap pembunuhan massal sistematis, dan akhirnya tahap konsolidasi’ Pada Serambi Mekkah itu juga terjadi kekejian yang beroperasi dan kelak kemudian berbuah pada kekejaman serupa saat ada kebijakan DOM (Daerah Operasi Militer). Kita jadi tahu kemudian hari kalau kekejaman yang dibiarkan dan tanpa diadili akan melahirkan kekejaman yang lebih baru. Rentetan kekejian itu berbuah pembunuhan akbar ketika pasukan jagal dilahirkan. Itulah pasukan iblis yang oleh dokumen itu disebutkan: ‘militer dan pemerintah sipil mendukung pembentukan pasukan-pasukan jagal, yang mana mendapatkan janji ‘dampingan’ dari militer dan pemerintah sipil’. Inilah sejarah paling kelam setelah kolonialisme: bangsa membunuh warganya sendiri.

Dokumen ini bisa membuat kita terperangah dan mungkin tak percaya. Dosa semua yang disebut dalam kitab suci dilakukan terang-benderang. Orang ditangkap, dibawa dalam ikatan dan dinaikkan truk kemudian dibawa ke ujung parit. Disanalah tiap nyawa direnggang satu persatu. Tak ada yang bisa merangkum dengan cermat situasi keji ini. Cribb dengan takjub menulisnya dalam kalimat: ‘ MENGEJUTKAN, kami mengetahui sedikit tentang pembunuhan besar-besaran yang terjadi setelah usaha kudeta 1965…di sebagian besar daerah, pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan oleh unit-unit militer dan kelompok penduduk yang main hakim sendiri. Di beberapa kasus, militer melakukan sendiri secara langsung pembunuhan tersebut: seringkali mereka hanya menyuplai senjata, memberikan pelatihan dasar sekedarnya dan desakan kuat kepada kelompok-kelompok masyarakat untuk melaksanakan sebagian pembunuhan…..’ Seakan pembantaian ini dikerjakan dengan penuh perhitungan, banyak kebebasan dan merajalela dimana-mana. Sungguh hari itu Pancasila dan Proklamasi seakan dihina: kita jadi bangsa yang menjajah rakyat sendiri dan mengabaikan semua aturan moral yang paling dasar.

Itu sebabnya dokumen ini seperti cermin paling buram dari sebuah rezim. Buram karena ini fakta paling menjijikkan yang pernah ada: satu juta orang diperkirakan ditahan, 600.000 orang diintrograsi dan jumlah itupun bisa bertambah. Saking brutalnya, Jendral Sugih Arto menyatakan pendapat keji: ‘Tidak mungkin mendapatkan kepastian jumlah tapol. Seperti konversi mata uang yen Jepang ke dolar, kursnya terus bergerak’. Himpunan pendapat kejam itu termuat dalam dokumen ini hingga kita bisa bertanya: siapa yang melahirkan manusia keji ini. Jika membunuh dianggap biasa dan menghancurkan martabat dianggap hal wajar saja. Tak hanya itu orang-orang yang dituduh PKI tanpa pengadilan terbuka dikirim ke sejumlah tahanan. Disebutlah sejumlah lokasi: Moncongle Sulawesi Selatan, Pulau Buru Maluku, Balikpapan Kalimantan Timur, Nusa Kambangan dan Plantungan Jawa Tengah dan sejumlah penjara di Jawa Barat. Di sana mereka tidak ditahan tapi diperbudak. Dokumen itu melukiskan kolonialisme berlangsung dalam wajah kusam: petugas pribumi menjajah penduduk pribumi.

Dokumen ini seperti lautan kisah yang mengusik nurani. Pada saat intograsi juga terjadi aneka penyiksaan: bagian tubuh terbakar, setruman listrik, berbagai bentuk siksaan air, pelecehan seksual, pencabutan kuku jari, paksaan minum urin prajurit, gesekan cabai di mata korban, memasukkan korban di karung bersama ular, pemotongan telinga korban dan memaksa mereka untuk memakannya. Sungguh betapa kejinya penguasa yang saat itu menciptakan ‘neraka’ bagi warganya sendiri. Komnas HAM menulis secara detail lokasi neraka itu. Jilatan api neraka yang disebut dalam kitab suci hampir sepadan dengan mesin penyiksa yang dibuat oleh rezim. Mungkin hari itulah Tuhan, Agama dan kebaikan terbang entah kemana. Seakan para penyiksa itu tak pernah meyentuh agama apalagi mengenal ajaran tentang kebaikan. Mereka buta dari petunjuk dan memilih bersekutu dengan iblis. Bukan hanya penyiksaan tapi juga penghilangan. Catatan Komnas HAM tercatat ada 32.774 korban penghilangan paksa. Tentu ini melanggar semua ketentuan hukum International. Dan ini melecehkan martabat sebagai manusia yang dicipta untuk berbuat bajik.

Hingga dokumen itu sebut perbuatan paling tragis yakni kekerasan seksual. Komnas Perempuan membuat catatan yang membuat kita meratap: ‘para tahanan perempuan diperlakukan sebagai pemuas birahi aparat yang berulang-ulang kali diperkosa dalam waktu yang lama. Bahkan pada beberapa kasus perbudakan seksual menghasilkan kehamilan’. Bukan hanya itu para istri tahanan juga mendapat giliran untuk disiksa: ..Sebagai istri dari tahanan politik, kami kemudian menjadi korban dari kekerasan seksual saat mengunjungi suami kami di penjara. Beberapa diantara kami bahkan dipaksa untuk ‘menikah’ dengan anggota tentara untuk menyelamatkan keluarga kami. Anak-anak kami juga dicekal, tanah, rumah, dan perhiasan kami dirampas. Kami dipecat dari pekerjaan, tidak memiliki pendapatan. Lalu banyak di antara kami yang kemudian dikirim ke kamp kerja paksa…’Mungkin saat itulah kita telah mengubur penghormatan, perlindungan dan penghargaan pada ibu dan kaum perempuan. Pintu kekejian itu dibuka lebar hingga hari itu manusia serupa dengan setan.

Kekejaman itu mengalir karena ada banyak sebab dan dukungan. Dokumen ini membeberkan tentang berita palsu yang ditiupkan berulang-ulang oleh dua harian militer: Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Dua koran harian ini menyiarkan hoax tentang mayat enam jendral dan seorang letnan muda. Disebut mayat mereka dicungkil matanya dan dipotong kelaminya secara mengerikan. Terbukti laporan forensik sebut kalau lukanya tak sejauh itu dan munculnya luka bukan karena siksaan. Hingga berita hoax itu beredar, dipercaya dan mengundang banyak orang untuk melakukan kekejaman serupa. Sudah begitu sejumlah negara memberi dukungan yang tak kalah hebohnya: AS memasok daftar nama sekaligus pasokan senjata serta alat komunikasi. Seolah ada panggung akbar yang disediakan untuk membuat kekejian ini berjalan ideal: membunuh semuanya, menyiksa yang tersisa dan mengkikis habis hak orang yang dikenai cap PKI.

Pengadilan rakyat ini memuat peryataan penutup di akhir sidang. Dinyatakan oleh para hakim: …Negara Indonesia dalam jangka waktu yang relevan, melalui militer polisi, telah melakukan dan mendorong terjadinya pelanggaran HAM berat secara sistematis dan meluas. Para Hakim juga yakin bahwa semua ini dilakukan untuk tujuan politik: untuk menumpas PKI dan semua yang dituduh anggota atau simpatisannya, dan juga banyak orang lain termasuk loyalis Soekarno, aktivis buruh dan guru…’. Tak ada kesimpulan genosida tapi menilik luasan korban dan metode sistematis yang dilakukan kita jadi tahu memang ada: pembasmian nyawa. Bukan hanya tragedi ini menuntut pertanggung jawaban tapi itulah yang mungkin membuat bangsa ini sulit tegak di atas dasar kemanusiaan. Sudah lazim melakukan penganiayaan dan terbiasa untuk menyebarluaskan berita tak benar. Kini kita mendapat ‘kutukan’ dari peristiwa yang tak diakui pernah terjadi dan tak bisa diadili hingga saat ini.

Bahkan untuk minta maaf sekalipun pemerintah enggan. Bebal sudah naluri sebagai penguasa yang harusnya melindungi, membela dan bersedia untuk jadi pelindung. Terutama bagi korban yang di pengadilan ini terang-terangan bersaksi. Perempuan bernama Kinkin Rahayu (nama samaran), seorang guru, tanpa alasan apa-apa ditangkap. Di Wirogunan ia menceritakan kisah tragisnya:…saya diseret di tembok dan dipukuli dengan sepeda..kepala saya ditendang, saya ditelanjangi lagi. Dalam keadaan telanjang, saya dipegang dua orang..mengarah kepada setiap orang…dan mencium kemaluan mereka…sesudah itu saya tidak ngomong, tidak mau makan lagi. Saya merasa hidup saya sudah berakhir. Sampai delapan bulan saya mengalami hidup stress dan akibat dari stress ini, selama delapan bulan saya tidak menstruasi…’ Tak saya bayangkan bagaimana ia bertutur itu di hadapan hakim dan reaksi para pengunjung. Kekejian itu seakan berakar dari keputusan politik yang diolah komplotan iblis untuk kemudian menjelma jadi monster biadab. Tanpa ragu dan yakin nama penyiksa itu disebutnya: Lukman Sutrisno! Di kemudian hari setelah penyisakaan itu, ia dikenal sebagai ilmuwan dan pengajar yang tersohor.

Jujur saya tak mudah membaca laporan ini. Saya terperangah, kuatir dan takut atas balasan dari kekejaman ini. Tuhan tak pernah diam melihat komplotan resmi yang berbuat sewenang-wenang, biadab dan brutal. Baiknya pemerintah berani untuk secara terbuka mengakui, menuntut para pelaku dan memastikan adanya kompensasi. Ketimbang marah, merasa benar dan tak mau mengakui sama sekali. Bukan hanya kita akan menatap masa depan dengan penuh luka tapi kita niscaya akan dihukum oleh sejarah dengan cara serupa. Buktinya kini berjejer rapi: kekejaman mudah dilakukan oleh siapa saja, brutalitas bahkan dilakukan oleh sesama warga dan kebohongan begitu gampang menggerakkan massa. Tragedi 65 telah mencipta klasifikasi manusia Indonesia dalam dua lapisan utama: korban dan mereka yang mengubah diri jadi setan. Yakin saya jika ini tak diusut kita bisa jatuh pada lubang sejarah yang sama. Biarlah yang menggonggong soal PKI itu berteriak apa saja: Tuhan akan menghukum makhluk ini dengan caraNya sendiri. Tak mengakui saja sudah kesalahan keji apalagi mengulang teror serupa: menuduh PKI pada siapa saja. Diam-diam mereka ini mewarisi perangai keji para algojo atau mungkin keturunan dari para pembunuh. Ucapan brutal mereka hanya ekspresi ketakutan atas sebuah kebenaran yang sulit untuk disangkal.

Tak cukup dengan fakta kekejaman, dokumen ini membuka peran banyak negara dalam mendukung pembunuhan. Sebut saja Amerika Serikat yang ternyata menyediakan daftar nama, menghibahkan senjata hingga perangkat komunikasi. Situasi Perang Dingin menciptakan panggung kekejian untuk siapa saja yang kena tuduhan komunis. Berikutnya Inggris yang juga membuat berbagai informasi yang menguntungkan TNI. Disusul Australia yang disebut pada dokumen itu terlibat jalankan propaganda. Saking luar biasanya kekejian ini, CIA menyajikan laporan yang sangat miris:

Dilihat dari jumlah orang yang terbunuh, pembantaian anti PKI di Indonesia menjadi salah satu pembunuhan besar-besaran yang terburuk pada abad ke -20, bersama dengan pembantaian Soviet pada tahun 1930-an, pembantaian massal Nazi selama perang Dunia II dan pertumpahan darah Maoist awal 1950-an. Dalam hal ini, kudeta Indonesia jelas merupakan salah satu peristiwa terpenting pada abad ke -20, jauh lebih penting dari banyak peristiwa lainnya yang mendapatkan sorotan lebih luas (CIA, Direktorat Inteljen, Indonesia 1965: The Coup That Brackfired: 1968)[1]

Final Report ini bacaan yang amat berharga. Bukan hanya menjelaskan tentang sebuah masa yang barbar: tapi rekaman tentang peristiwa kelam yang menuntut pertanggung-jawaban. Bisa disebut inilah ‘cicilan’ awal dari pengadilan hari akhir: tiap orang bersaksi, membuka bukti dan menjelaskan kronologi. Pasti dokumen ini tak mudah beredar karena banyak kalangan takut dan gemetar. Terutama mereka yang punya tanggung jawab dan peran. Jujur ini memang masa lalu. Tak mungkin kita mengabaikanya. Kalau kita menuntut untuk melupakanya itu sama halnya dengan mengabaikan akal sehat, hati nurani dan sejarah diri kita sebagai manusia dan bangsa. Kata seorang sufi: Jika kita ingin menjalani hidup lihatlah masa depan tapi untuk merenungi kehidupan pandanglah masa lalu. Keduanya telah jadi dasar kelangsungan hidup manusia dan harusnya itu bekal sebuah bangsa bangun kehormatan. Paling tidak dokumen ini telah meluncur dengan kebenaran yang sulit disanggah. Kita bukan lagi pembaca tapi hakim dari sebuah zaman yang punya makna ganda: mengabaikannya itu berarti kita membuka pintu hukuman serupa di masa mendatang atau membukanya sehingga kita dijauhkan dari takdir kekejaman yang siap menyambut. Setidaknya kalau membuka, mengakui dan menghukum kita akan bangga berdiri di masa depan: meletakkan keadilan pada tahta yang layak dan meneguhkan diri sebagai bangsa manusia bukan kumpulan kaum jahanam!***

Catatan: Tulisan ini bersumber pada Final Report of The International People’s Tribunal On Crimes Against Humanity In Indonesia 1965. Laporan Akhir Pengadilan Rakyat International 1965, IPT 1965 Foundation, Bandung, Ultimus, 2017. Saya terimakasih mendalam untuk semua kawan yang terlibat dalam proses ini semua.

———

[1] Lih Julie Soulthwood-Patrick Flanagan, Teror Orde Baru: Penyelewengan Hukum & Propaganda 1965-1982, Komunitas Bambu, 2013

[sumber: indoprogress]

This post is also available in: English