Oleh : Nursjahbani Katjasungkana, SH

Seperti halnya para korban dan penyintas ini, Bung Karno juga tak pernah mendapatkan rehabilitasi. Padahal tanpa bukti yang kuat, Bung Karno dituduh telah memberikan ‘toleransi’ kepada “gerakan G-30S “. Sementara itu karena PKI yang dianggap dalang G-30S dan menyebabkan terbunuhnya 6 orang jendral dan satu perwira Angkatan Darat, partai ini bersama seluruh simpatisan dan pengikutnya benar-benar “dihapuskan” dari bumi Nusantara.

 

Penggagas KAA

Tanggal 6 Juni tahun ini, kita merayakan kelahiran Bung Karno yang ke 114 dan 21 Juni nanti tepat 46 tahun wafatnya. Bung Karno adalah salah satu pendiri Republik Indonesia, penggagas dasar negara Pancasila dan pernah dijuluki sebagai Pemimpin Besar Revolusi serta salah satu penggagas Konperensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955, sebuah konfrensi yang diselenggarakan untuk melawan kekuatan baru kapitalisme global yang dikuasai blok Barat.

Setelah absen selama 32 tahun dibawah pemerintahan Jendral Soeharto, sejak reformasi, kelahiran Pancasila kembali dirayakan secara resmi dalam upacara kenegaraan. Pada peringatan lahirnya Pancasila 1 Juni yang lalu, puja-puji kepada sang Penggagas dikemukan pula oleh Presiden Jokowi yang mengakui bahwa Bung Karno merupakan inspiratornya yang utama.

Pada tingkat dunia, namanya sangat harum baik karena pidato-pidatonya yang membangkitkan semangat perjuangan melawan kolonialisme dan kapitalisme mapun sebagai salah satu penggagas gerakan non-blok. Negerinya yang ketika itu baru berumur 10 tahun berhasil menggerakkan negara-negara Asia Afrika dan menegaskan posisi politiknya ditengah Perang Dingin yang sedang berlangsung antara blok Barat dibawah Amerika Serikat dengan sekutunya dan blok Timur dibawah Rusia dan kawan-kawannya. Kedua blok itu saling berebut pengaruh dan di beberapa negara menimbulkan perang. Sebuah konferensi akbar diselenggarakan di Bandung pada bulan April 1955 dan dikenal dengan Konferensi Asia-Afria (KAA) Bandung.

Setelah sukses menjadi tuan rumah peringatan 50 tahun KAA pada tahun 2005 yang lalu, Indonesia berhasil menghidupkan kembali semangat KAA Bandung. Sebuah deklarasi bernama Kemitraan Strategis Asia Afrika Baru (the New Asia-Africa Strategic Partnership/NAASP) diluncurkan. Bulan April tahun ini bersama dengan Afrika Selatan, menjadi tuan rumah merayakan 60 tahun Konferensi Asia Afrika, sekaligus memperingati 10 tahun NAASP. Kebangkitan spirit KAA Bandung itu kembali diperkuat ketika saat ini gelombang baru ketegangan internasional mengancam perdamaian dunia. Situasi politik global saat ini tidak kalah tegangnya dengan situasi politik global ketika KAA 1955 dilangsungkan .

Deklarasi NAASP menekankan multilateralisme, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan promosi perdamaian dan keamanan global. Salah satu poin utama yang ditekankan dalam Deklarasi NAASP tersebut didasarkan pada Deklarasi KAA Bandung 1955. Deklarasi ini menekankan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan untuk tujuan menegakkannya sesuai dengan prinsip-prinsip yang tercantum dalam piagam PBB.

Sementara KAA 1955 yang digagas oleh Bung Karno, Nehru, Tito dan Nkrumah dipandang sebagai langkah besar perjuangan bangsa-bangsa Asia Afrika dan khususnya negara Indonesia yang masih sangat muda. Sampai saat ini spirit KAA Bandung tetap menginspirasi bangsa-bangsa dari dunia ketiga ini untuk melawan segala bentuk penindasan karena kolonialisme, kapitalisme dan globalisasi. Tentu, semua itu tak lepas dari peranan Soekarno sebagai penggas KAA Bandung Karenanya, adalah penting bagi pemimin-pemimpin negara Asia Afrika utamanya bagi bangsa Indonesia sendiri untuk merefleksikan dan merenungkan nasib Bung Karno, yang gagasan dan visinya tentang Pancasila yang menjadi dasar negara kita serta semangat anti kolonialisme dan kapitalisme menjadi spirit bangsa-bangsa Asia-Afrika.

 

Mencopot Bung Karno

Tragis, bahwa Bung Karno telah menjadi korban perang dingin yang terjadi pada waktu itu. Karena melakukan perlawanan yang sangat keras, akibatnya Bung Karno menjadi lawan utama bagi kekuatan kapitalisme dan akhirnya tersingkir secara brutal sebagai presiden RI oleh agen mereka yang dipimpin oleh Jendral Soeharto meski secara piawai diberhentikan lewat proses politik melalui Sidang istimewa MPRS tahun 1967. Sebelumnya yakni pada 11 Maret 1966 Bung Karno dipaksa untuk menandatangani sebuah dokumen yang disebut Supersemar, yang menugaskan Soeharto untuk “mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk menjamin keamanan, ketenangan dan stabilitas pemerintah dan revolusi dan untuk menjamin keamanan dan otoritas pribadi Sukarno sebagai Presiden”.

Alih-alih mengamankan Bung Karno, Soeharto menyusun segala kekuatan untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya dan jabatan Bung Karno sebagai Presiden secara dramatis dicopot dalam sidang istimewa MPRS pada tanggal 12 Maret 1967. Bung Karno kemudian dikenakan status sebagai tahanan rumah di istana Bogor. Kesehatannya terus memburuk karena ia menolak perawatan medis dan akhirnya wafat karena gagal ginjal di Rumah Sakit Angkatan Darat Jakarta pada tanggal 21 Juni 1970 pada usia 69 tahun.

Bersenjatakan Supersemar, Soeharto menetapkan kebijakan untuk melakukan pembubaran dan pembantaian terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dan para pendukungnya. Mereka yang dianggap berfaham komunis baik dikalangan masyarakat luas, pejabat sipil dan militer dan kelompok-kelompok yang dianggap akan mengganggu kekuasaannya dibersihkan.

Istilah Gerakan 30 September (G-30S) berubah menjadi G-30S/PKI karena PKI dianggap dibalik G-30S tersebut. Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto itu sejak awal telah menegaskan keberpihakannya pada blok Barat. Indonesia dengan kekayaan alamnya yang melimpah segera saja menjadi rayahan para agen kapitalis seraya memperkuat Soeharto dengan berbagai alat kekuasaan dan mendiamkan semua pelanggaran hak asasi manusuia yang terjadi. Korupsi merajalela sementara utang negara kepada badan-badan keuangan dunia melangit sehingga kehidupan rakyat sangat tertindas dan hanya segelintir orang atau kelompok yang dekat dengan kekuasaan yang menikmati “kue pembangunan”.

Banyak aspek dari kudeta di atas yang harus kita pelajari kembali. Namun yang jelas, setelah terjadinya G-30S pada dinihari 1 Oktober 1965 itu, Soeharto berhasil menumpas G-30S. Sesudahnya, propaganda penghinaan seksual terhadap Gerwani yang dituduh memutilasi para jendral yang terbunuh dalam aksi G-30S tersebut. Faham komunisme yang dianggap atheis, telah menggerakkan sekelompok masyarakat khususnya kelompok organisasi keagamaan untuk melakukan pembunuhan massal, exterminasi, penyiksaan dan penghilangan paksa serta perbuatan-perbuatan kejam lainnya, kekerasan seksual, pemenjaraan, perbudakan dan penahanan sewenang-wenang. Diduga, 500 ribu sampai sejuta orang mati dibunuh dan jutaan lainnya menjadi korban kejahatan-kejahatan tersebut.

Kejahatan-kejahatan tersebut dilakukan secara sistimatis dan meluas hampir diseluruh wilayah NKRI. Sesungguhnya, karena alasan paling menonjol dari semua kejahatan itu dilakukan atas dasar identitas politik yakni komunis atau partai politik yang merupakan sekelompok orang yang bertujuan politik sama. Banyak ahli hukum Internasional memasukkan peristiwa pembantaian 1965 tersebut sebagai genosida. Tujuan pemusnahan atas dasar pandangan politik ini bahkan berlangsung sampai sekarang dengan adanya stigma dan kekerasan terhadap para korban dan penyintas.

Sampai saat ini sistim impunitas tetap berlangsung, para pelaku utama sebagiannya telah tiada dan pemerintah tak mengeluarkan sepatah kata maaf apalagi memberikan keadilan dan rehabilitasi serta reparasi bagi korban

Seperti halnya para korban dan penyintas ini, Bung Karno juga tak pernah mendapatkan rehabilitasi. Padahal tanpa bukti yang kuat, Bung Karno dituduh telah memberikan ‘toleransi’ kepada “gerakan G-30S “. Sementara itu karena PKI yang dianggap dalang G-30S dan menyebabkan terbunuhnya 6 orang jendral dan satu perwira Angkatan Darat, partai ini bersama seluruh simpatisan dan pengikutnya benar-benar “dihapuskan” dari bumi Nusantara. Pemimpin dan para pengikut PKI benar dimusnahkan atau dipenjarakan atau dimasukkan kamp tahanan tanpa pernah diadili, meski mungkin hanya satu atau pemimpin tertingginya yang terlibat dalam G-30S itu.

Kabarnya Bung Karno melakukan protes keras atas pemusnahan ini, tapi tak digubris oleh Soeharto. Penolakan negara sampai sekarang masih terjadi dan karenanya akuntabilitas dan sistim impunitas masih saja berlangsung. Menanggapi peluncuran laporan Komnas HAM (2012) tentang kejahatan kemanusiaan 1965/1966 ini, Djoko Suyanto, Menteri Polhukham pada waktu itu bahkan menyatakan bahwa pembantaian itu perlu dilakukan untuk menyelamatkan bangsa.

 

Rehabilitasi Korban

Sekarang setelah diluncurkan kembali Deklarasi NAASP yang menegaskan kembali pentingnya prinsip-prinsip hak asasi manusia yang sudah ditegaskan dalam KAA Bandung, sudah saatnya arsitek berdirinya negara Indonesia berdasarkan Pancasila serta arsitek Deklarasi Bandung itu direhabilitasi. Status tahanan rumah yang disandangnya sampai Bung Karno wafat, adalah pelanggaran HAM yang harus dipertanggungjawabkan oleh Negara. Pandangan politik bahwa Bung Karno terlibat dalam G-30S juga harus diselidiki dengan benar karena bangsa Indonesia berharap mengetahui sejarah pengambilalihan kekuasaan yang terjadi pada waktu itu.

Pemerintahan Jokowi, yang baru-baru ini berniat untuk menyelesaikan masalah HAM masa lalu dapat membentuk sebuah komite untuk menyelidiki kondisi pengambilihan kekuasaan itu oleh Soeharto berikut pembantaian dan bentuk-bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi sesudahnya. Rehabilitasi terhadap Bung Karno dan juga para korban kejahatan politik 1965, sebenarnya dapat diakukan oleh Jokowi dengan mengeluarkan Peraturan Presiden berdasarkan pasal 14 UUD 1945 yang berbunyi : “Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan pertimbangan Mahkamah Agung”. Pada tahun 2003, sebetulnya Mahkamah Agung (MA) sudah mengirimkan pertimbangannya kepada Presiden agar “mengambl langkah-langkah konkrit ke arah penyelesaian yang sangat diharapkan oleh korban-korban Orde Baru”. Dalam surat pertimbangannya itu MA juga menyatakan bahwa pertimbangan ini dilandasi oleh keinginan MA untuk memberikan penyelesaian dan kepastian hukum yang dapat memulihkan status dan harkat mereka sebagai warga negara yang sama serta didorong oleh semangat rekonsiliasi bangsa.

*Penulis adalah, Koordinator International People’s Tribunal (IPT) 1965.
Sumber : Bergelora.com, 7 juni 2015

This post is also available in: English