Jumat, 23/12/2016 14:00 WIB | Oleh: Yudha Satriawan
Solo – Di sebuah rumah tua dengan halaman yang cukup besar di Kota Yogyakarta, belasan lansia ditemani sekelompok anak muda, berkumpul.
Canda sesekali terlontar, saat saya dan rombongan dari Komnas Perempuan sampai di sana. Kami pun akhirnya saling berkenalan.
Dari situ saya tahu, para lansia tersebut adalah bekas tahanan politik peristiwa 1965/1966. Sementara gerombolan anak muda itu, pendamping.
Di sela-sela pertemuan, para bekas tahanan politik itu kemudian menceritakan pada kami tentang penangkapan, penyiksaan, dan pemenjaraan yang dialami. Seperti yang diungkapkan Sutikno.
Sesekali ia menitikkan air mata. Kala itu, usianya 20 tahun dan menempuh pendidikan di Universitas Republika. Ia ditangkap pada 21 April 1966 karena berdemo dan dituduh mendukung Dewan Jenderal –badan yang dianggap ingin merebut kekuasaan dari Presiden Sukarno.
Pria yang kini berusia 45 tahun tersebut mengaku diinterogasi oleh tentara di Gedung Jefferson. Di sanalah, Sutikno dan puluhan orang lainnya disiksa.
“Saya diinterogasi, dituduh ikut demonstrasi, mendukung Dewan Jenderal, memberi dana, dan sebagainya. Padahal tuduhan itu tidak benar. Lha saya saat itu masih mahasiswa tidak punya uang buat makan, buat bayar sekolah saja susah, apalagi dituduh menyumbang,” kenang Sutikno.
“Kalau diperiksa malam, banyak sekali kawan-kawan yang menderita. Digebuki, kemudian sepuluh jari diletakkan di meja dan dijepit sampai luka. Tangan dipukuli. Teman saya lainnya itu, kalau sudah dari Jefferson, pasti pulangnya digotong.”
Kisah lain diutarakan Bedjo Sutrisno. Kala 1966, ia masih duduk di bangku SMP tapi dituduh berencana membunuh Presiden Sukarno.
Bedjo lantas disiksa dan menjadi saksi mata pembunuhan sejumlah tahanan politik lainnya. Sembari bercerita, pria sepuh ini tak berhenti meremas gelas plastik yang sudah habis ia minum.
“Saya dituduh berencana membunuh Presiden Sukarno. Yang menuduh saat itu RT saya sendiri. Tiga hari kemudian saya dipanggil dan disuruh apel ke kecamatan setelah itu tidak boleh pulang. Saya dipenjara di LP Wirogunan sekitar setengah bulan. Saya diperiksa di Gedung Jefferson di lantai 1. Di lantai dua juga, kemudian di lantai 3 untuk yang berat, saya disiksa. Saya dipukuli sampai pingsan. Setelah saya pingsan, disuruh cap 10 jari tangan,” ungkap Bedjo.
“Kemudian saya dibawa ke LP Wirogunan masih dalam kondisi tidak sadar. Saya dan orang-orang yang ditahan itu diberi makan gatot dari ketela. Ternyata sudah dicampur DDT atau obat tikus. Banyak orang yang mati keracunan. Untung saya bisa muntah, jadi keluar racunnya. Saya kemudian di bawa ke kamp Kutoarjo, selama dua minggu. Setelah itu saya diangkut pakai truk menuju Nusakambangan. Kemudian saya dibawa ke Pulau Buru, 10 tahun saya dibuang di situ.”
Begitu pula dengan Sri Murhayati. Ia ditangkap karena ayahnya dituding berencana membunuh sejumlah pejabat negara.
Sri yang tengah berkuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (UGM) ini aktif Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) –organisasi yang menolak perloncoan.
Hingga suatu hari, ia ditangkap kemudian diinterogasi di Gedung Jefferson. Setelahnya perempuan sepuh ini dijebloskan di penjara bawah tanah Benteng Vredeburg.
“Saat pertama ditahan, saya diperiksa dua kali di Gedung Jefferson. Dua hari sebelumnya ayah saya dicari militer, rumah saya dikepung tentara, ada satu truk, satu panser, satu mobil tentara, lalu bapak saya ditangkap. Bapak saya sekretaris angkatan 45 veteran. Jadi awalnya yang dicari bapak saya, bukan saya atau ibu saya, tetapi akhirnya dicari-cari saya ditanya ikut apa, saya jawab CGMI,” kata Sri Murhayati.
“Saya kemudian dibawa naik truk dan di Jefferson disuruh apel. Banyak sekali tahanan perempuan. Saya nangis keras sekali. Awal Desember kemudian saya dipindah ke Benteng Vredeburg, itu pertama kali dipakai untuk tahanan. Waktu dipindah ke Benteng, kalau pagi makannya jagung rebus. Per orang hanya 20 butir jagung, paling banyak itu 22 butir kalau bejo (untung-red).”
Gedung Jefferson yang disebut Sutikno, Bedjo Sutrisno, dan Sri Murhayati, itu lokasinya tak jauh dari tugu Golong Gilig yang menjadi ikon Yogyakarta. Maka berangkatlah kami dari rumah tua tersebut menuju tempat bersejarah tragedi 1965 itu.
Gedung yang terletak di seberang Pasar Kranggan Jalan Diponegoro, tampak tua dan kusam. Kaca jendelanya dipenuhi debu. Bangunan tiga lantai ini, kini dipakai untuk kantor salah satu biro iklan.
Dari dalam gedung, ruangnya bersekat-sekat. Beberapa kursi dan meja tampak tak beraturan. Sementara di depan gedung dipakai untuk berjualan warga. Mereka juga tak tahu sejarah gedung berdesain kotak-kotak tersebut.
Sri Murhayati kemudian menunjukkan pada saya ruang interogasi, penyiksaan, dan penahanan. Letaknya ada di lantai 2.
“Kalau di lantai 2 lokasi orang disiksa. Dulu kalau kita mau antre diperiksa itu duduk dekat lorong ini. Penyiksaan di lantai atas, kalau di bawah ini dipukuli pakai kaki kursi, ditelanjangi. Ada petugas mau pegang saya, langsung saya tampar, tapi saya malah dipukuli. Pistol itu sudah ditaruh di depan mata saya. Saya tidak takut.”
Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin bercerita, penelusuran fakta terkait peristiwa 1965 di Yogyakarta, berpusat di Gedung Jefferson. Sehingga, kata dia, perlu adanya pengungkapan kebenaran di lokasi ini.
“Dalam catatan sejarah dan laporan Komnas HAM juga sudah jelas ada penyiksaan, penganiayaan, dan pembunuhan massal di lokasi ini. Jadi kami ingin melihat gedung itu sebagai sebuah sejarah yang harus diakui, diluruskan kebenaran sejarah bangsa ini sehingga lebih terbuka dan jelas, supaya tidak berulang,” ujar Mariana.
Perjalanan kami bergeser ke Benteng Vredeburg yang persis berada di depan Gedung Agung –Kraton Kesultanan Yogyakarta. Lantaran berada di kawasan perdagangan Malioboro dan Pasar Beringharjo, benteng ini ramai dikunjungi wisatawan. Kami pun masuk dengan membayar tiket seharga Rp2000.
Sri Murhayati bersama tim dari Komnas Perempuan, lalu memasuki ruang diorama 1 dan 2 yang berisi sejarah kemerdekaan Indonesia, termasuk perjuangan di Yogyakarta. Namun, tak ada secuil pun kisah tentang tragedi 1965/1966 –dimana benteng ini pernah menjadi kamp penjara tahanan politik.
Kami terus berjalan ke bagian belakang benteng. Sri menunjukkan pada saya sebuah pintu masuk ke ruang tahanan bawah tanah, saat dirinya dipenjara. Perempuan sepuh ini juga memberitahu saya tiga lubang kecil. Dan rupanya betul, di situ terdapat ruang gelap. Kata Sri, ketiga celah itu digunakan untuk menyelundupkan makanan.
“Di lubang ini kadang ada kiriman makanan, memang kalau pakai tangan tidak cukup. Sempit. Tapi ya pakai cara biar makanan bisa masuk ke ruang gelap ini,” tukas Sri.
Perjalanan ini adalah bagian dari rangkaian memorialisasi atas peristiwa pelanggaran HAM masa lalu. Dengan begitu, pemerintah dan publik takkan lupa serta memberi penghormatan pada para korban.
Sebuah keniscayaan pula, memorialisasi ini bisa mendorong pemenuhan hak korban dan keluarganya, memutus impunitas, dan memastikan peristiwa serupa tak terulang di masa mendatang.
Pendamping para bekas tahanan politik dari Forum Pendidikan dan Perjuangan Hak Asasi Manusia (Fopperham), Noor Romadhon mengatakan, peristiwa 1965 harus diungkap sebagai sebuah pengungkapan kebenaran.
“Kami berharap banyak pada memorialisasi ini. Khususnya, di Benteng Vredeburg. Harapan kami pemerintah bisa mengakomodir sejarah tahun 1965 dan berikutnya di lokasi ini. Kalau suatu saat ada yang berkunjung ke lokasi Benteng tidak ada keterangan sejarah lokasi ini, padahal bapak-bapak dan ibu-ibu mantan tahanan politik ini pernah disiksa, dipenjara bawah tanah. Ini fakta sejarah. Jangan dihilangkan,” tutur Noor Romadhon.
Gedung Jefferson dan Bgenteng Vredeburg menjadi saksi bisu yang dialami para bekas tahanan politik tragedi 1965/1966 di Yogyakarta. Tapi nasib mereka tergambar dalam nyanyian yang dilantunkan berikut.
“Menjaga cucu, dalam perih Gestapu. Tiap hari, lari ke sana kemari. Luputkan diri dari bahaya. Siang malam cucu memanggil manggil Bapakku, Ibuku dimana. Dengan sedih, Nenek menjawabnya, Bapak Ibumu di penjara…”
Editor: Quinawaty Pasaribu
Sumber: KBR.ID
This post is also available in: English