Jumat, 23/12/2016 15:00 WIB | Oleh: Yudha Satriawan
Solo – “Nama saya Sumilah dari Prambanan Sleman. Pada 19 November 1965, saya ditangkap dan diperiksa. Yang meriksa saya satu orang. Saya disuruh ngaku ikut Gerwani, saya tidak mau. Terus saya ditampar berkali-kali sampai terjatuh, tahu-tahu bibir saya berdarah. Saya lalu izin ke kamar mandi, membasuh luka karena tamparan itu dengan sapu tangan bapak saya. Habis itu saya diinterogasi lagi sampai ditelanjangi tapi saya tidak mau. Kemudian saya disuruh rentangkan tangan. Katanya ada cap pengikut Gerwani di tubuh saya. Saya bilang cap apa? Tidak ada cap itu. Saya ditampar lagi. Saat mau ambil baju dilarang. Saya telanjang dari pagi sampai sore. Setelah itu saya boleh pakai baju lagi dan dibawa ke LP Wirogunan. Enam bulan saya di sana. Terus dibawa ke LP Bulu Semarang. Pada 1971 saya dibawa ke Kamp Plantungan,” kenang Sumilah.
Tangis Sumilah –bekas tahanan politik peristiwa 1965 pecah, begitu mendengar kata; Plantungan.
Jari-jarinya tak henti mengusap air mata, sembari menceritakan masa mudanya yang kelam. Pasalnya, di usia yang masih bocah, ia dituduh sebagai anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) –lembaga yang berafiliasi dengan PKI. Hingga kemudian, dipenjara di Plantungan, Kendal.
Debora Oni, juga tak bisa menahan isak. Kala umurnya masih belasan, ia ditangkap dan ditanyai tentang lubang buaya. Karena menjawab tak tahu, perempuan sepuh ini harus menerima siksaan bertubi. Bahkan, 14 tahun hidupnya, terbuang di empat penjara yang berbeda.
“Saya diinterogasi, ‘Tahu lubang buaya?’ Saya jawab tidak tahu. Saya balik tanya ‘Lubang Buaya itu apa?’ Tapi saya malah disiksa sampai malam. Yang nanya saya mungkin saking jengkelnya dengan jawaban saya, dia ambil tongkat dan memukuli saya. Saya coba menghindar. Hingga akhirnya saya ditahan di LP Wirogunan selama satu minggu, kemudian dipindah lagi ke LP Ambarawa selama dua setengah tahun, dipindah lagi ke LP Bulu Semarang dua tahun lebih, dan terakhir pindah tahun 1971 ke Kamp Plantungan. Kalau ditotal semuanya sekitar 14 tahun saya ditahan di berbagai tempat,” ucap Debora Oni dengan terisak.
Sumilah dan Oni, hanya segelintir perempuan yang pernah menjadi tahanan politik karena disangka terlibat dalam peristiwa September 1965.
Gerwani, kala itu, disebut menyiksa, menyileti tubuh para jenderal Angkaran Darat sebelum akhirnya dihabisi. Rekaan tersebut, bahkan diabadikan dalam film yang wajib tayang oleh Orde Baru.
Padahal, Gerwani menjadi satu-satunya organisasi perempuan yang mengkampanyekan anti-poligami, kesetaraan hak perempuan dan laki-laki, mendirikan ratusan TK Melati, serta menggelar kursus-kursus demi memberantas buta huruf untuk anak dan perempuan.
Tapi, oleh Orde Baru –gambaran tentang Gerwani dijungkirbalikkan menjadi perempuan tak bermoral dan sadis.
Dan, meski sudah 51 tahun berlalu, korban 1965 seperti Sumilah dan Oni belum mendapat rehabilitasi; baik nama maupun status. Sebab selama mendekam di Plantungan, tak ada putusan pengadilan yang menyebut mereka bersalah.
Karena itulah, saya bersama Komnas Perempuan menyambangi lokasi yang menjadi bukti kekejaman itu; Plantungan –dengan harapan bisa membuat memorialisasi.
Kamp Plantungan berada di perbatasan Kabupaten Batang dan Kendal, Jawa Tengah. Jalan menanjak, berkelok, dan dikeliling jurang dan melewati hutan, mesti dilewati.
Kamp ini dulunya Rumah Sakit untuk penderita kusta. Tapi kini, disulap menjadi Lembaga Pemasyarakatan (LP) Pemuda 2B. Tembok tinggi berkawat mengeliling LP.
Di sini pula, kami bertemu dengan seorang warga setempat yang tengah mencari rumput. Mbah Tunjung, namanya. Laki-laki berusia 70 tahun tersebut, menjadi saksi hidup para tapol perempuan.
“Tahun 1962 saya sudah rampung Sekolah Rakyat. Ibu-ibu (tapol-red) itu entah darimana. Saya nggak berani deket ke lokasi itu, yang jaga banyak tentara. Tentara itu keliling terus di lokasi ini, sekitar 25 tentara setiap patroli,” ujar Mbah Tunjung.
Jumlah tapol perempuan di Plantungan berdasarkan catatan pemerintah sekitar 500 orang. Di sini pula, ratusan tapol dibagi menjadi lima unit; pertanian sub perikanan, peternakan, penjahitan, kerajinan dan pembatikan, serta pertamanan.
Sementara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, para tapol membuat kerajinan tangan seperti sulaman taplak meja, sprei, hiasan dinding untuk dijual ke warung yang dibuat penjaga kamp. Uang hasil menjual itu, bakal dibelikan gula, telor, terigu. Atau para tapol menerima kiriman dari keluarga.
Pada saya, Sumilah –yang masuk unit pertanian, bercerita tentang keseharian di Plantungan.
“Di Plantungan saya masuk unit pertanian. Saya macul karena kalau yang lainnya saya tidak bisa. Saya juga dipekerjakan di mess, tukang bersih-bersih. Petugas selalu bilang kalau saya besok dibebaskan, tapi saya tunggu bertahun-tahun tak kunjung nyata. Saya hanya bisa mencibir kalau petugas bilang saya bebas besok. Saya terus dibohongi. Kemudian baru tanggal 27 April 1979 saya bebas. Kalau saya ceritakan lagi, saya bisa nangis. Teringat terus,” tutur Sumilah.
Sementara Oni –yang sempat pindah-pindah unit, merasa tersiksa.
“Saya pertama di unit ternak. Saya angon wedhus (menggembala kambing –red). Kemudian saya dipindah ke unit kesehatan, di poliklinik. Kegiatannya mengantar pasien, kadang-kadang ada ibu-ibu mau babaran (melahirkan-red) di dusun. Kalau penyiksaan fisik, di sini tidak ada, hanya seringkali petugas mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan hati, kita seperti hewan diperas tenaganya. Kalau nggak salah, dibilang salah,” katanya.
Petugas LP Pemuda 2B, Juned mengatakan, bekas kamp penahanan ini kini menjadi aset Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.
Bersama petugas LP, Sumilah, Oni dan tim dari Komnas Perempuan, kami lalu menyusuri tempat ini. Ada dua bangunan yang dulu dipakai sebagai barak bagi ratusan tapol.
Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amirudin mengaku agak kesulitan untuk membangun prasasti sejarah pemenjaraan tapol di komplek LP.
“Nangunan sejarah ini bisa dimemorialisasi tapi akan terbatas untuk diakses publik, karena lokasi berada di dalam kompleks LP,” ucap Mariana.
Tapi, bagi Sumarmiyati –bekas tapol, sangat mengharap ada prasasti di sini. Sebagai pembuktian bahwa terjadi pemenjaraan, penyiksaan, dan perbudakan di Kamp Plantungan oleh penguasa Orde Baru.
“Ungkap semua, bongkar semua. Biar semua masyarakat tahu sejelas-jelasnya, jangan ada yang ditutupi atau dihilangkan sejarahnya. Saya selalu teringat tragedi itu sebagai pengalaman hidup yang tak tergantikan. Anak-anak sekarang jangan diberikan kebohongan, buka, buka sejelas-jelasnya. Hanya karena berlawanan pandangan politik, ditangkap, disiksa, dibunuh, dihilangkan, tidak pulang, siapa yang tidak sakit hati, istrinya, anaknya,” tutup Sumarmiyati.
Editor: Quinawaty Pasaribu
Sumber: KBR.ID
This post is also available in: English