Oleh Sri Lestari Wahyoeningroem

 

Sejak menjelang pidato kenegaraan Presiden joko Widodo pada Hari Kemerdekaan Republik Indonesia hingga hari ini, masih saja ramai perdebatan tentang permintaan maaf dalam kasus kekerasan massal 1965. Beberapa kelompok dan individu provokatif menolak gossip yang, entah siapa atau bagaimana, berkembang bahwa kepala Negara akan meminta maaf kepada anggota dan pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagian kelompok yang lain mendukung perlunya permintaan maaf, tapi bukan kepada PKI melainkan kepada korban pelanggaran HAM yang terjadi pasca 1 Oktober 1965.

Perdebatan maaf ini sesungguhnya tak perlu dan tak relevan, karena maaf bukanlah hal pokok bagi setiap inisiatif penyelesaian beban sejarah yang masih menggantung terkait dengan pembantaian dan kejahatan serius yang terjadi di sekitar pergolakan politik tahun 1965 dan tahun-tahun sesudahnya.

Isu bahwa Presiden akan di beberapa titik “meminta maaf kepada PKI” dimulai ketika Jaksa Agung HM Prasetyo pada bulan Mei lalu mengumumkan inisiatif pemerintah untuk membentuk tim gabungan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Dia mengatakan tim akan merekomendasikan rekonsiliasi dan disebutkan bahwa Presiden akan menyampaikan permintaan maaf negara untuk korban pelanggaran hak asasi.

Beberapa kelompok menilai inisiatif ini sebagai upaya pemerintah untuk membela PKI. Reaksi keras disampaikan Kivlan Zen, yang barangkali mewakili suara konservatif dalam Angkatan Darat. Kelompok Islam, mulai dari organisasi Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU), yang bentrok dengan massa PKI di beberapa bagian Jawa pada tahun 1960-an, hingga organisasi Islam garis keras yang muncul setelah Orde Baru, seperti Front Pembela Islam (FPI ), juga menentang isu permintaan maaf. Gerindra, satu-satunya partai politik yang bereaksi terhadap rumor tersebut, mengatakan permintaan maaf publik akan mengungkap keterlibatan negara asing sebagai dalang ‘peristiwa1965’. Penyair Senior Taufik Ismail menulis opini provokatif di harian Republika, menggunakan istilah KGB (Komunis Gaya Baru: komunis gaya baru) dalam menolak permintaan maaf negara. Beberapa organisasi massa juga memobilisasi ratusan orang untuk menunjukkan penolakan mereka.

Beragam penolakan terhadap permintaan maaf bukanlah hal baru. Jokowi memang akhirnya tidak meminta maaf dalam pidatonya, dan bahkan menegaskan bahwa ia tidak pernah sekalipun berniat meminta maaf. Ia hanya menyampaikan bahwa pemerintahannya akan mencari penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu secara adil dan bermartabat. Sebelumnya, di bawah kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, resistensi serupa juga ditunjukkan terhadap setiap upaya untuk menyelesaikan isu-isu kekerasan massal 1965 ini. Yudhoyono pernah berjanji untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, meskipun ia tidak secara eksplisit menyebutkan 1965 – jelas, mengingat dampaknya terhadap nama almarhum ayah mertuanya Sarwo Edhie Wibowo yang memimpin pasukan Tentara khusus (RPKAD) membasmi komunisme atas perintah Soeharto.

Tahun ini menandai 50 tahun terjadinya genosida dan bentuk-bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap jutaan warga Negara Indonesia. Inisiatif apapun untuk menyelesaikan “tragedi 1965” ini akan mengundang perhatian luas tidak hanya masyarakat nasional tetapi juga internasional.

Namun, mereka yang menantang penyelesaian ini kehilangan poin utama, atau sengaja menggeser poin utama, dengan membesarkan soal “meminta maaf kepada PKI.” Pemerintahan Jokowi juga kehilangan poin jika hanya berfokus pada permintaan maaf dan menekankan pada rekonsiliasisemata.Ada tiga unsur yang dibutuhkan untuk dapat menerima permintaan maaf sebagai sesuatu yang relevan dan diperlukan bagi bangsa ini.

Yang pertama dan terpenting adalah bahwa “maaf” hanya dapat dilakukan berdasarkan pada narasi sejarah ketidak adilan – narasi tentang apa yang terjadi: peristiwa kejahatan di masa lalu, korban dan pelaku. Sebuah “maaf”, dengan kata lain, membutuhkan kebenaran. Bahkan jika kebenaran itu pahit, ia akan memberikan landasan moral yang baru yang bisa membantu bangsa ini bangkit dari keterpurukannya akibat beban masa lalu dan memperbaharui nasionalisme serta berdiri sebagai bangsa yang besar. Kebenaranbukan saja dibutuhkan bagi mereka yang menganjurkan “maaf” dan rekonsiliasi, tetapi juga bagi mereka menentangnya. Sehingga kebenaran juga termasuk jawaban dari mengapa 500.000 untuk 3 juta orang tewas, seperti yang dikutip oleh sejarawan – sebuah angka yang masih belum bisa dipastikan – sementara ribuan lainnya ditahan secara ilegal, disiksa, diperkosa, atau mengalami penghilangan paksa. Kebenaran memberikan keadilan untuk mereka mengalami kekerasan, termasuk oleh PKI dan kelompok politik lainnya – berdasarkan fakta empiris di mana sejarawan juga terlibat. Kebenaran akan mengungkap dogma dan stigma sekitar narasi sejarah bangsa Indonesia. Menekankan “maaf kepada PKI” menggeser perhatian dan urgensi untuk mengungkap kebenaran atas apa yang terjadi di masa lalu.

Mengungkapkan kebenaran dapat mengancam untuk beberapa kelompok, yang menganggap versi sejarah tersedia sebagai final dan tidak perlu dipertanyakan, meskipun banyak bukti-bukti baru dan kesaksian yang muncul. Menentang sejarah yang baku ini berarti menantang legitimasi mereka yang berkuasa dalam rezim masa lalu dan masa kini. Cara untuk mencegah setiap upaya untuk bersikap kritis ke versi sejarah baku ini adalah dengan menciptakan kancaman dan terror ke masyarakat, mempertahankan propaganda setan komunisme dan komunis. Ini mirip dengan strategi rezim militeristik, sekarang dikelola oleh elemen pendukungnya yang fokus pada “permintaan maaf” ke komunis, bukan kebenaran atas ketidakadilan masa lalu.

Persyaratan kedua untuk “maaf” adalah perlunya jarak politik antara kepala negara dan para pelaku kejahatan. Pengamat sering merujuk pada abad ke-20 dan ke-21 sebagai “age of apology”, ketika sedikitnya 50 pimpinan negara meminta maaf atas peristiwa tertentu dalam sejarah negara mereka. Maaf telah menjadi ritual politik, terutama di negara-negara yang mengalami transisi. Maaf bisa menjadi bentuk keadilan restoratif, yang bertujuan untuk memulihkan, atau menyembuhkan individu atau sebuah bangsa yang menderita ketidakadilan. Namun, permintaan maaf juga bisa digunakan oleh rezim yang berkuasa hanya untuk mendapatkan legitimasi dalam era baru politik.

Unsur ketiga permintaan maaf berkaitan dengan komitmen untuk keadilan bagi korban kekerasan dan komitmen negara untuk menjamin tidak terulangnya kekerasan. Maaf tidak dengan sendirinya menyelesaikan beban sejarah yang menggantung, melainkan merupakan sebuah pintu masuk bagi upaya-upaya lain yang membutuhkan keseriusan dan komitmen politik yang lebih besar untuk menunjukkan tanggung jawab Negara terhadap warganya.

Jadi, maaf hanyalah sebuah langkah penting untuk menyelesaikan pelanggaran di masa lalu, tapi tanpa kebenaran dan komitmen terhadap keadilan itu tidak akan membebaskan bangsa dari beban masa lalu.

This post is also available in: English