Jumat, 22 Juli 2016 | 07:02 | Reporter : Hery H Winarno

Majelis hakim Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal/IPT) mengumumkan kesimpulan akhir dalam tragedi 1965 di Indonesia. IPT menyebut telah terjadi kejahatan kemanusiaan dalam tragedi tahun 1965 tersebut.

Tindakan kejahatan kemanusiaan tersebut meliputi, pertama, pembunuhan terhadap sekitar 400.000 hingga 500.000 orang yang melanggar UU KUHP pasal 138 dan 140 dan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Kedua adalah hukuman penjara tanpa proses hukum terhadap sekitar 600.000 orang. Ketiga, perbudakan, yaitu tahanan dipaksa untuk melakukan kerja paksa di bawah kondisi yang bisa dikategorikan sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan juga pelanggaran atas Konvensi mengenai Kerja Paksa tahun 1930.

Keempat, penyiksaan yang dilakukan dalam skala besar terhadap tahanan pada masa terjadi pembunuhan massal dan pemenjaraan. Kelima, yaitu penghilangan secara paksa, dilakukan dalam skala besar dan banyak nasib korban tidak pernah diketahui.

Keenam adalah kekerasan seksual secara sistemik yang tercatat pada laporan Komnas Perempuan, baik secara lisan maupun tulisan. Ketujuh, terjadi pengasingan, yaitu warga negara Indonesia yang paspornya disita ketika berada di luar negeri telah kehilangan hak kewarganegaraannya.

Kedelapan, tentang propaganda tidak benar atas versi resmi yang terjadi pada orang-orang yang ditangkap di Lubang Buaya. Kesembilan, adanya keterlibatan negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia dalam kejahatan kemanusiaan di Indonesia setelah peristiwa 30 September 1965 meskipun dengan derajat keterlibatan yang berbeda-beda.

Terakhir, Indonesia dituduh telah melakukan genosida, dengan maksud khusus untuk menghancurkan atau membinasakan kelompok tersebut sebagian atau keseluruhan.

Padahal, Indonesia terikat pada ketentuan Konvensi Genosida tahun 1948 di bawah hukum internasional.

“Para pegiat IPT 1965 akan menggunakan semua jalur yang tersedia dalam mekanisme HAM PBB untuk mensosialisasikan putusan ini. Termasuk pada tanggal 17 April 2017, laporan pelaksanaan HAM di Indonesia akan ditinjau dalam Universal Periodic Review di Dewan HAM Jenewa Swiss, kami akan memasukkan putusan IPT 1965 sebagai laporan dari LSM di Indonesia,” ujar Koordinator IPT 1965 Nursyahbani Katjasungkana Nursyahbani, Rabu (20/7) lalu.

Sidang IPT 1965 sendiri dilakukan di Den Haag Belanda digelar pada 10-13 November 2015. Sidang tersebut dipimpin oleh Hakim Ketua Zak Yacoob yang pernah menjadi hakim di Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan.

Lalu apa tanggapan pemerintah terhadap kesimpulan akhir sidang IPT 65 tersebut?

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Luhut Binsar Panjaitan menyebut, IPT 1965 tersebut tidak perlu ditanggapi. Luhut menyebut rinya menyebut jika IPT 1965 bukanlah merupakan sebuah institusi resmi, dan tidak tahu apa-apa mengenai Indonesia.

“IPT itu kan bukan institusi resmi ya, jadi tidak perlu ditanggapin. Bagaimana dia mau bicara tentang Indonesia kalau dia tidak tahu Indonesia?” ujar Luhut di Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis (21/7) kemarin.

“Kita tidak perlu bereaksi macam-macam,” ujar Luhut menambahkan.

Ketika ditanya mengenai rencana untuk mencari kuburan massal sebagai rekomendasi dari Simposium 65 yang pernah digelar oleh pihak pemerintah, Luhut mengatakan akan melihat dulu urgensitas pembuktian adanya kuburan massal tersebut. Sebab, dirinya menilai tidak ada data mengenai kuburan massal yang cukup signifikan, untuk membuktikan tuduhan para korban kekerasan dan para penyintas ’65 kepada negara.

“Ya kita nanti lihat kalau itu masih diperlukan. Tapi kita nggak merasa ada kuburan massal yang cukup signifikan, yang bisa membuktikan tuduhan mereka itu,” kata Luhut.

“Karena beberapa waktu lalu, yang dari yayasan 65 kalau nggak salah, sudah mengatakan jumlah yang meninggal menurut mereka tidak sebanyak itu. Mereka sudah memberikan (data), kalau nggak keliru 21. Ya, 21 titik kemungkinan kuburan massal,” pungkasnya.

[hhw]

Sumber: Merdeka.Com

This post is also available in: English