Jum’at, 16 December 2016 19:35 WIB | Penulis: Lukman Diah Sari/Furqon Ulya Himawan
DINAMIKA sosial-politik saat ini yang kerap diwarnai tindak kekerasan verbal maupun fisik terhadap kelompok masyarakat yang dianggap berbeda, mengundang keprihatinan para antopolog di Tanah Air.
Kelompok yang yang menamakan diri Gerakan Antropolog untuk Indonesia itu menyatakan seruan dan sikapnya terkait dengan aksi intoleransi yang belakangan kerap terjadi.
Antropolog Yando Zakaria menyebut, itu merupakan petanda bahwa pilah-pilar ke-Indonesian termasuk semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ terus tergerus.
“Kami antropolog yang tergabung dalam Gerakan Antropolog untuk Indonesia yang Bhineka dan Inklusif menyatakan darurat ke-Indonesian. Indonesia adalah rumah kita bersama. Perbedaan agama, ras, etnis, gender, kepercayaan, keyakinan, kelas sosial, dan sudut pandang adalah kenyataan dalam bermasyarakat. Semua mendapat tempat dan dilindungi oleh apa yang telah disepakati bersama, konstitusi dan Pancasila,” ujar Yando di kawasan Ampera, Jakarta Selatan, Jumat (16/12).
Kebinekaan, kata Yando, harus dilindungi dari segala jenis dan bentuk kekerasan oleh mereka yang merasa lebih kuat, atau bahkan melebihi kelompok ataupun golongan lain yang minoritas. Pandangan hampir 300 antropolog di tanah air ini menyatakan darurat Ke-Indonesia-an.
Lebih lanjut, Yando mengatakan, persoalan kini kebebasan berpendapat dan berserikat justru telah disalahgunakan. Menurutnya, banyak nilai yang berbeda dan pembatasan menjadi pengucilan yang ditebar untuk membenturkan antarkelompok.
“Ada pula ajakan ke masyarakat agar merasa berhak memonopoli ruang publik bahkan memonopoli kebenaran,” ujarnya.
Menurutnya, negara telah lama membiarkan banyak tempat ibadah dirusak dan dibakar, ritual keagamaan dihentikan, dan rasa benci dibiarkan ditebar luas. Kebencian itu pun disebar di depan para penegak hukum.
“Ketidakhadiran negara dalam merawat toleransi dan keragaman telah menyebabkan masyarakat atas nama kebebasan berpendapat dibiarkan merusak silaturahmi sosial-budaya,” ucapnya.
Sosial media kini dipakai sebagai alat untuk menyerang, kata dia, bahkan tak segan menyerang saudara sendiri. Menyebar kebencian pun dilakukan dengan bebas dan beringas.
“Media sosial yang harusnya dipakai untuk menggali ilmu pun, telah disalahgunakan,” kata dia.
Oleh karena itu, pihaknya pun menyatakan sikap. Pertama, menolak segala bentuk kekerasan dan pemaksaan, penyerangan, dan pembungkaman terhadap kelompok agama, ras, etnis, gender, kepercayaan, keyakinan, kelas sosial, atau sudut pandang yang berbeda.
“Kedua, menolak segala bentuk manipulasi yang mempertentangkan antargolongan, menajamkan perbedaan, dan bahkan menganjurkan eksklusivitas,” jelasnya.
Terakhir, menolak segala sikap dan tindakan yang tidak sesuai dengan nilai ke-Indonesian. Yakni nilai yang dibingkai dalam Pancasila dan dijamin oleh konstitusi. MTVN/OL-2
Sumber: Media Indonesia
This post is also available in: English