Selain pemimpin negara dan pemuka agama, seniman ialah sosok yang mampu memberikan pengaruh kepada orang banyak. Salah satu yang melegenda ialah kisah tentang organisasi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang kini seakan terhapus dari sejarah.
Dikutip dari buku Historical Dictionary of Indonesia tulisan Robert Cribb dan Audrey Kahin, Lekra didirikan atas inisiatif anggota yang aktif di Partai Komunis Indonesia (PKI), D.N. Aidit, Nyoto, M.S. Ashar, dan A.S. Dharta pada 17 Agustus 1950. Namun Lekra sama sekali terpisah dari partai tersebut.
Setelah resmi dibentuk, A.S. Dharma yang didaulat sebagai Sekretaris Jendral pertama kemudian menerbitkan pengantar atau yang disebut mukadimah yang berisi visi dan misi Lekra demi merangkul anak muda dan seniman Indonesia.
Dalam mukadimah pertama yang disebarkan oleh Bakri Siregar di Medan, Lekra meminta anak muda dan para seniman Indonesia untuk bergabung demi mewujudkan Republik Indonesia yang demokratis.
Enam tahun kemudian, mukadimah ke-dua disiarkan, kali ini mengusung visi dan misi realisme sosialis. Dalam mukadimah ini, Lekra semakin mendesak agar para seniman Indonesia turun tangan dan merapatkan barisan dengan masyarakat Indonesia.
Mukadimah pertama dan ke-dua mampu mengokohkan keberadaan Lekra, hingga akhirnya organisasi sarat seniman ini mengadakan konferensi nasional pertama yang dihadiri oleh Presiden Indonesia Soekarno di Surakarta, pada 1959.
Pertentangan dengan ‘Manikebo’
Merasa didukung oleh Sang Proklamator, gerakan Lekra semakin mengakar. Tahun 1962, Lekra mulai dianggap pemimpin propaganda gerakan rakyat. Hingga tahun 1963, Lekra mengklaim telah memiliki 100 ribu anggota di 200 cabang di seluruh Indonesia.
Para anggota organisasi ini pun mulai bertentangan dengan para seniman yang tidak sepaham dengan Lekra, seperti HB Jassin dan Taufiq Ismail.
Mereka yang bertentangan dengan “teror-teror” Lekra lalu membuat petisi Manifes Kebudayaan pada 24 Agustus 1963, yang mengusung konsep kebudayaan humanisme universal.
Dikutip dari buku Pengantar Sejarah Sastra Indonesia [What and Who: Film Figures in Indonesia, 1926–1978] tulisan Yudiono K.S., Manifes Kebudayaan diprakarsai oleh H.B Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin, D.S Moeljanto, Ras Siregar, Hartojo Andangdjaja, Sjahwil, Djufri Tanissan, Binsar Sitompul, Gerson Poyk ,Taufiq Ismail, M. Saribi, Poernawan Tjondronegoro, Ekana Siswojo, Nashar dan Boen S. Oemarjati.
“Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan Nasional kami.
Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaa lain. Setiap sector berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional, kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa.
Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Jakarta, 17 Agustus 1963,” bunyi Manifes Kebudayaan yang ditetapkan.
Pertentangan Lekra dan Manifes Kebudayaan, yang terkadang diplesetkan menjadi manikebo (sperma kerbau), pun semakin meruncing. Ditambah gagalnya kudeta, yang diduga digerakkan oleh PKI, pada Gerakan 30 September akhirnya membuat Soekarno turun tangan dan melarang perkembangan Lekra di Indonesia.
Terhapus dari Sejarah
Jauh di luar tuduhan propaganda dan pertentangan dengan Manifesto Kebudayaan, gerakan Lekra melahirkan banyak seniman yang punya karya tidak sembarang.
Dijelaskan oleh Amir Sidharta, kurator sekaligus pengamat seni, sejumlah penulis, sutradara film, pelukis hingga pematung Lekra menyumbang sejarah dalam dunia seni rupa Indonesia. Beberapa nama yang terpandang ialah Pramoedya Ananta Toer (penulis), Bachtiar Siagian (sutradara film), Djoko Pekik (pelukis) dan Amrus Natalsya (pematung).
Bachtiar Siagian bahkan pernah mendapatkan Piala Festival Film Indonesia sebagai Sutradara Terbaik pada 1960.
“Selain teknik berkeseniannya, mereka juga besar karena memiliki sejarah panjang dengan Lekra. Sayangnya, mereka seakan dihapus dari peta dunia seni Indonesia karena terafiliasi dalam Gerakan 30 September,” kata Amir saat dihubungi oleh CNN Indonesia pada Selasa (29/9).
Dihapus dari sejarah bukan hanya dilupakan, namun juga dihilangkan identitasnya. Dikisahkan Amir seperti nasib patung kayu milik Amrus yang diberi tajuk Keluarga Tandus di Senja.
Patung yang berada di Akademi Sosial Aliarcham, Jakarta, itu dibakar masyarakat yang tidak senang pada 1965. Alasannya cukup sepele, pematungnya adalah anggota Lekra dan patungnya ditempatkan di gedung milik PKI.
Padahal Amrus termasuk salah satu pematung terbaik menurut sejarawan seni Claire Holt.
“Sepengetahuan saya, banyak sekali lukisan karya anggota Lekra, tidak hanya beberapa yang terpanjang di Museum Seni Rupa dan Keramik. Kalau pun ada, banyak yang sengaja dihilangkan identitasnya, seperti dihapus tanda tangan pelukisnya,” ujar Amir prihatin.
“Padahal karya seni tersebut memiliki nilai sejarah yang tinggi bagi Indonesia,” lanjut Amir.
Keindahan yang bermaksud, begitulah Amir menggambarkan konsep kesenian realisme sosialis yang dijunjung para seniman Lekra. Tidak heran, permasalahan rakyat kecil kerap menjadi benang merah dalam setiap karya mereka.
“Mereka berjuang menyuarakan kegelisahan sosia yang terjadi saat itu melalui goresan tinta hingga kuas. Mereka hanya berusaha membangun sebuah kesadaran sosial bahwa kapitalisme itu juga memiliki sisi buruk,” kata Amir yang mengaku mengagumi karya Djoko Pekik dan Amrus Natalsya.
“Sekali lagi, sayang sekali para seniman ini lalu terjebak dengan pandangan negatif orang tentang Lekra sehingga maksud tersebut tidak terlalu sampai,” lanjut Amir.
Sebagai pecinta seni, Amir berpendapat kalau pengalaman Lekra mungkin bisa menjadi pelajaran bagi para pelaku dunia seni saat ini, agar mampu memisahkan seni dan politik.
“Menurut saya, sah-sah saja bagi seniman untuk aktif berpolitik. Hanya saja harus ada ketegasan, agar pesan sosialnya dari karyanya tetap tersampaikan dan terwujudkan,” kata Amir menutup pembicaraan.
This post is also available in: English