International People’s Tribunal (IPT) 1965 yang berlangsung di Den Haag, Belanda, dan Simposium Nasional Tragedi 1965, dituduh “memberi angin” terhadap aksi PKI. Simposium ‘anti-PKI’ untuk menandingi kedua kegiatan tersebut, telah resmi dibuka dan langsung dipenuhi pernyataan. Sejumlah pembicara dan tamu yang hadir antara lain pemimpin Front Pembela Islam, FPI, Rizieq Shihab, politisi Abraham Lunggana atau Haji Lulung, mantan Wapres Try Sutrisno, serta pimpinan MUI Cholil Ridwan.
Di antara tamu undangan terlihat ketua panitia pengarah Simposium Tragedi 1965 yang juga Gubernur Lemhanas, Agus Widjojo.
Dalam pidato utamanya, mantan wakil presiden Try Sutrisno mengecam berbagai acara yang disebutnya “memberi angin” kepada kebangkitan PKI. Simposium tandingan bertajuk ‘Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI & Ideologi Lain’ digelar selama dua hari mulai Rabu (01/06) pagi.
Ketua panitia pengarah Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri, dalam pidato pembukaan, mengatakan simposium ini digelar ‘untuk mengamankan Pancasila.’ Dia mengklaim acaranya didukung 49 ormas agama dan pemuda. Beberapa lambang organisasi yang muncul dalam spanduk pendukung termasuk Pemuda Pancasila, HMI, Forum Umat Islam, Ansor, NU, MUI, FKPPI, dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Kiki mengatakan simposium ini “bertujuan menyatukan komponen bangsa untuk mencegah berbagai upaya membangkitkan PKI”. Menurutnya, selalu ada pihak-pihak yang tidak ingin Indonesia kokoh, bersatu. “Dan mereka menggunakan proxy-proxy dan mereka kulitnya sama dengan kita,” tandasnya dalam pidato. Dan, “mereka selalu berusaha Indonesia tidak stabil dengan mengusung isu HAM.”
Sementara Try Sutrisno, yang juga mertua Menhan Ryamizard Ryacudu dalam pidatonya, mengklaim bahwa pada tahun 2016, “seluruh simpatisan PKI dan keturunannya telah memiliki dan menikmati semua haknya, baik politik, ekonomi, dan sosial budaya, bahkan sebagai anggota atau pemimpin lembaga tinggi negara.”
Tetapi Try mengecam pengadilan sidang IPT soal 1965 yang berlangsung di Den Haag, Belanda, serta simposium nasional tragedi 1965 yang menurutnya “memberi angin terhadap aksi PKI ini”.
Peserta pun lagi-lagi memberi tepuk tangan. “Lebih heran lagi ada tuntutan negara minta maaf atas rezim masa lalu, yang justru lebih dulu jadi korban. Kita telah menerima PKI sebagai warga negara biasa, jika kita minta maaf maka kita mengabsahkan makar. Kita menolaknya dengan tegas,” kata Try. Try menolak penyebutan G30S tanpa menyebut PKI karena menurutnya G30S ada dari “hasil pemikiran PKI untuk melakukan pemberontakan pada negara”. Setelah sambutan Try, pembawa acara mengundang peserta untuk meneriakkan yel-yel, “Pancasila! Abadi!” beberapa kali.
Suasana dipanaskan Cholil Ridwan dari MUI yang memapar ‘testimoni’ soal “aksi PKI di pondok pesantren Gontor di Madiun” pada 1965, dan pidato Rizieq Shihab yang mengecam penyelenggaraan Simposium Tragedi 1965 lalu.
Sejumlah pembicara dan tamu yang hadir seperti pemimpin Front Pembela Islam, FPI, Riziek Shihab (BBC Indonesia)
Saat pidato pendiri FPI itu, sejumlah orang menunjuk-nunjuk Agus Widjojo, Gubernur Lemhanas dan Ketua Simposium Tragedi 1965, yang hadir sebagai undangan.
Sumber: BBC Indonesia
This post is also available in: English