Martin Sitompul |
Dia memimpin harian Angkatan Bersendjata yang menjadi mesin propaganda Angkatan Darat dalam memberitakan peristiwa 1965.
PADA 1967, Elliot Haynes, ketua Business International Corporation (BIC), menemui 40 tokoh Indonesia untuk mendiskusikan mengenai kemungkinan investasi modal asing di Indonesia. Hasil pertemuannya dituangkan dalam tulisan bertajuk “Elliott Haynes ‘Indonesian Diary’”, satu dari 39 dokumen rahasia AS yang telah dideklasifikasi pada 17 Oktober 2017.
Salah satu tokoh penting yang ditemui Heynes adalah Kolonel Inf. Djojopranoto S, BA. Pertemuan berlangsung pada sore hari tanggal 27 November 1967 di Jalan Medan Merdeka 13, Jakarta. Dalam tulisannya, Haynes menyebut Djojopranoto sebagai pemimpin redaksi harian Angkatan Bersendjatamerangkap anggota parlemen untuk keamanan, pertahanan, dan urusan luar negeri.
“Kolonel (Djojopranoto) pemimpin redaksi surat kabar yang merupakan juru bicara resmi untuk seluruh militer. Dalam skala nasional memiliki sirkulasi 40.000 tiras sedangkan terbitan lokal mencakup 200.000 tiras. Terbitan ini masuk ke tentara, polisi, dan veteran,” tulis Heynes.
Kepada Heynes, Djojopranoto menyebut pimpinan Angkatan Darat yang berbakat: Jenderal Soeharto. Heynes menggambarkan bagaimana peran dan efektivitas media Angkatan Darat membentuk opini publik.
“Jenderal Soeharto memberi kata ‘A’ dan Kolonel (Djojopranoto) akan mencatat ‘A’. Para tentara membacanya dan mengulangi ‘A’. Masyarakat akan melihat kepada tentara, bertanya apa yang terjadi, kemudian percaya dan mengulangi ‘A’,” ungkap Heynes.
Dalam penutup laporan itu, Djojopranoto menyarankan kepada Heynes untuk menemui beberapa orang yang dapat memberikan informasi penting antara lain wartawan senior Rosihan Anwar, Hatta, Dahlan Ranuwihardjo, pemimpin dan pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan Achmad Sukarmadidjaja, pemimpin IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), partai politik bentukan Jenderal TNI AH Nasution.
Sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan bahwa harian Angkatan Bersendjata (bersama Berita Yuda) merupakan media Angkatan Darat yang tidak dilarang terbit pada 2 Oktober 1965. Hal itu menjadikan Angkatan Bersendjata sebagai mesin propaganda yang ampuh sekaligus menempatkan kontrol media di bawah pengaruh militer.
Menurut Asvi kampanye Angkatan Bersendjata dalam memberitakan Gerakan 30 September 1965 dilakukan dengan tiga cara. Pertama, kekejaman yang luar biasa sebagaimana berita tentang penganiayaan para jenderal Angkatan Darat yang terbunuh di Lubang Buaya. Kedua, tindakan amoral seperti tarian Harum Bunga yang dilakukan Gerwani. Ketiga, penodaan agama.
“Propaganda itu dilakukan terus-menerus bahkan sampai saat ini tetap dipakai,” ujar Asvi kepada Historia.
Asvi juga melihat kemungkinan Angkatan Bersendjata mempunyai jaringan dengan media asing di luar negeri. Ini dikaitkan dengan berita Angkatan Bersendjata, 25-26 April 1966 yang menyudutkan Tionghoa di bawah rezim Mao Tse Tung atas peristiwa Gerakan 30 September 1965. Berita itu ternyata disadur dari surat kabar terbitan Hongkong yang kontra terhadap pemerintahan Beijing. Angkatan Bersendjata juga beberapa kali mengutip artikel yang terbit di Singapura dalam waktu yang berdekatan.
“Dari mana mereka mendapat berita yang begitu cepat dengan jaringan yang luas?” tanya Asvi. Menurutnya perlu tinjauan lebih lanjut apakah ada kaitannya Angkatan Bersendjata dengan CIA atau RAND Corporation, lembaga think thank AS yang mengkaji tentang Indonesia termasuk upaya membendung komunisme.
Dilansir majalah Pers Indonesia, 1975, Djojopranoto lahir pada 6 September 1925 dan mengenyam pendidikan sarjana muda publisistik. Dia disebut sebagai perwira menengah ABRI yang berdwifungsi di kalangan pers. Setelah menjadi pemimpin redaksi Angkatan Bersendjata, dia menjadi pemimin umum/redaksi Mimbar Kekaryaan ABRI di Jakarta. Dia kemudian diangkat menjadi anggota DPR/MPR dari ABRI.
Djojopranoto tercatat sebagai anggota PWI sejak tahun 1966. Namun, kartu anggotanya No. 1690/A66/75. LB belum sempat diambil. Dia tutup usia pada 24 Juli 1975 meninggalkan istri dan seorang anak. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Sumber: Historia.Id
This post is also available in: English