Sumber : YPKP 1965
BOYOLALI – Perjalanan 16 jam melewati malam dari Jakarta ke Boyolali dengan menumpang bus reguler, akhirnya berakhir berbarengan dengan terbitnya matahari di langit timur terminal Boyolali. Bubur hangat dan gereh asin di warung Bu Sukamti di kompleks terminal itu, hangatkan perut tim investigasi YPKP’65 Pusat yang terdampar di terminal transit satu-satunya di kota itu. Hari ini Sabtu (27/8) memang diagendakan sebuah pertemuan konsolidasi korban Tragedi 1965 di Kabupaten Boyolali.
Lokasi pertemuan di Resto Elang Sakti di sebelah barat terminal bus, karena pagar halamannya pun masih belum buka sepagi itu; kami putuskan menunggu saja di warung bubur sambil berinteraksi dengan orang-orang terminal yang bersiap menjalani rutinitas hariannya. Kepenatan on the way semalaman suntuk saat itu berubah menjadi kebugaran di hari baru dalam suasana pagi yang menghangatkan.
Boyolali memang termasuk salah satu kota di Provinsi Jawa Tengah yang dikonotasikan oleh rejim OrBa Soeharto sebagai basis merah, menyusul kota sebelahnya; Salatiga. Misi kami hari itu diskenario untuk bergerak bawah tanahnamun dilakukan secara terbuka dengan melibatkan warga setempat umumnya.
Ladang Pembantaian Gunungbutak
Di Sabtu pagi (27/8) itu, kami bertemu seorang penyintas Tragedi 1965 asal daerah sekitar Desa Gunungbutak, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang. Bersama Makno (73 th) kami dipandu menyusuri jalanan provinsi antara Sruwen dan Karanggede. Lalu berhenti di tepi jalan pada titik tak jauh dari pal jarak 13 Km dari kota Salatiga dan 14 Km dari Karanggede.
Dari penuturan Makno yang pernah mendekam 4 tahun di penjara rejim OrBa, diketahui di Desa Gunungbutak ada 3 titik pembantaian massal pada 3 lokasi yang berbeda. Mas Mulya seorang sopir yang menyertai investigasi ini menuturkan testimoni bahwa pada rentang masa 1965 hingga tahun 1980-an, ruas jalan ini dikenal sebagai daerah angker yang ditakuti penduduk setempat.
“Warga sekitar tak akan ada yang berani melintasi kawasan ini jika hari telah gelap”, tuturnya serius.
Masih menurut penuturan Makno, pembantaian massal ini berlangsung tiap malam sekitar akhir bulan Oktober hingga November 1965. Saat itu Makno mendekam dalam penjara Boyolali dan sempat berpindah sel tahanan diantaranya di gedung bioskop Boyolali. Dia menuturkan berdasarkan kesaksian istri, keluarga dan tetangganya yang datang membesuk ketika masih jadi tapol.
“Pelaku pembantaian dari kalangan tentara”, tutur tetangga Makno yang tak mau disebut namanya. Para saksi mata ini masih hidup hingga hari ini. Mereka mengetahui bahwa setidaknya ada sekitar 250 korban yang dibantai pada 3 lokasi terpisah di desa itu; dengan cara ditembak pada bagian kepala, dada atau lehernya. Beberapa dari korban tak diketahui identitas dan asal-usulnya, karena cuma diambil (baca: dibon) dari kamp-kamp tahanan seputar Boyolali. Lalu dieksekusi di lokasi yang pada masa itu masih berupa hutan dan gelap jika malam.
Temuan Baru Kuburan Massal
“Sangat mungkin jumlah lokasi kuburan massal ini terus bertambah”, tutur Bedjo Untung yang menyertai tim investigasi.
Sebagaimana diketahui jumlah lokasi pembantaian dan kuburan massal korbanTragedi 1965 memang terus bertambah datanya. Hal penambahan yang sama juga diketahui dari Cilacap, Majenang, Sidareja, Nusakambangan dan beberapa titik lagi di provinsi DIY; termasuk Jembatan Bantar, eks Gedung Padisentra dan beberapaluweng di pegunungan bagian selatan. Demikian pula untuk wilayah Jawa Timur dan daerah-daerah lainnya.
Sebagai Ketua YPKP’65 pihaknya juga akan terus melakukan penelitian, pendataan dan melakukan up-date database sesuai fakta lapangan.
Saat menjelang sore tiba, tim yang disertai Sekretaris YPKP’65 Pusat Eddy Sugiyanto menyempatkan diri ziarah di makam Sonolayu di kampung Tegalsari Siswodipuran yang masih terbilang di tengah perkotaan Boyolali.
Di bagian ujung pemakaman umum yang masih aktif dipakai mengubur jenazah warga kota ini terdapat makam seorang mantan Bupati Boyolali, Soewali. Ironis bahwa kondisi makam mantan orang nomor satu di Boyolali ini sangat mengenaskan. Pada masa akhir jabatannya bahkan Soewali diperlakukan dengan sangat tidak hormat. Sebelum pejabat Bupati Boyolali pada tahun 1965 ini dibunuh, terlebih dulu dia diarak keliling kota dan dipermalukan di depan publiknya.
Tragisnya, sang bupati ini diseret untuk sampai pada lokasi itu, sebelum akhirnya dibunuh tanpa melalui proses pengadilan.. [arp]
This post is also available in: English