Menjelang 50 Tahun Pembantaian Massal 1965:
Upaya Meruntuhkan Budaya Anti-Komunis, Lagi
Wijaya Herlambang
Banyak anggota masyarakat konservatif, terutama yang berada di pedalaman masih melihat ide-ide rekonsiliasi, pembongkaran kasus pembantaian komunis tahun 1965 dan komunisme merupakan ide yang harus ditentang.
Tahun depan, September 2015, peristiwa pembantaian massal yang dilakukan oleh Jendral Soeharto dan antek-anteknya di tahun 1965-1966 genap menjadi mimpi buruk bangsa Indonesia yang ke 50 tahun. Para aktivis, akademisi, keluarga korban dan tokoh masyarakat yang perduli dengan peristiwa banjir darah itu tidak tinggal diam, karena peristiwa itu, dengan satu cara atau cara lain, harus dibongkar ke akar-akarnya.
Untuk kepentingan inilah International People’s Tribunal on Crime Against Humanity in Indonesia 1965 akan diluncurkan sebagai gerakan sosial untuk menuntut keadilan dan memberikan informasi kepada masyarakat, khususnya di Indonesia sendiri, tentang peristiwa pelanggaran HAM terbesar yang pernah terjadi di negara ini.
Dalam rangka menyambut peringatan ke 50 tahun peristiwa pembantaian massal tersebut, IPT berencana menyelenggarakan berbagai macam program kampanye sekaligus mempublikasikan berbagai risalah yang dapat mendukung gerakan sosial ini. Sejauh ini, tampaknya, telah banyak pihak yang mau mendukung gerakan tersebut. Para aktivis, penulis, seniman dan akademisi baik dari dalam maupun luar negeri telah menyatakan dukungan mereka terhadap rencana IPT. Tokoh-tokoh masyarakat dan keagamaan juga sudah menyatakan dukungan mereka terhadap IPT 1965 disamping beberapa lembaga penting seperti Komnas HAM.
Bahkan Presiden Jokowi pada masa kampanye pilpres sempat menjanjikan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masal lalu melalui visi dan visinya ketika mendaftarkan diri menjadi calon presiden. Tentu hal ini menunjukkan perkembangan positif bagi percepatan gerakan perubahan paradigma terhadap peristiwa pembantaian 1965 dan sekaligus wacana anti-komunisme warisan rezim Orde Baru.
Namun upaya para aktivis yang menggerakkan IPT bukanlah pekerjaan yang mudah. Sebagaimana berbagai upaya lain yang sudah dilakukan oleh elemen-elemen masyarakat dalam hubungannya kasus pelanggaran HAM di tahun 1965, upaya IPT juga mengandung berbagai macam resiko, mulai dari sulitnya melakukan konsolidasi hingga kemungkinan menghadapi berbagai intimidasi. Dalam hal ini kita perlu melihat sejauh mana kendala yang mungkin dihadapi oleh IPT mengingat bahwa sentiment anti-komunis masih sangat kuat di tengah masyarakat Indonesia.
Budaya Anti-Komunis
Warisan utama dari rezim Orde Baru yang paling dominan di dalam pembangunan identitas kebangsaan Indonesia adalah ideologi anti-komunisme yang hingga kini tetap menjadi wacana sentral di tengah-tengah masyarakat. Berbagai upaya yang dilakukan baik oleh para aktivis, intelektual, seniman dan akademisi untuk membangun wacana alternatif tentang apa yang terjadi di Indonesia di tahun 1965 tampaknya masih belum mendapat hasil yang signifikan.
Ideologi anti-komunis warisan Orde Baru itu masih bercokol di tengah masyarakat Indonesia sehingga setiap upaya untuk meninjau ulang, mengkaji, menyebarkan informasi tentang apa yang sebetulnya terjadi pasca percobaan kup 30 September 1965, menjadi sebuah pekerjaan yang sangat berat. Sebuah pekerjaan yang tidak saja menguras tenaga dan pikiran, akan tetapi juga mengundang berbagai macam kemungkinan perlawanan dari pihak yang berkepentingan untuk terus menutupi peristiwa mengerikan itu.
Kuatnya ideologi anti-komunis itu tentu saja sangat dipengaruhi oleh langkah-langkah yang diambil oleh militer sejak Suharto memegang kendali militer di tahun 1965. Sejak pogrom terhadap jutaaan manusia yang dituduh komunis, yang secara efektif dimulai pada 2 Oktober 1965 hingga menjelang Maret 1966 dan masih berlanjut di tahun-tahun berikutnya, militer juga dengan sadar menggunakan medium-medium kebudayaan untuk melegitimasi aksi kekerasan tersebut.
Koran dan radio merupakan media-media penting pertama yang digunakan oleh militer untuk memfitnah dan menghasut publik untuk mengutuk PKI. Langkah selanjutnya yang diambil oleh militer adalah memberikan justifikasi “rasional” atas tuduhan Suharto, bahwa PKI berada di belakang G30S, dengan cara menyusun versi militer atas persitiwa itu.
Dalam proses ini, sejarawan militer Nugroho Notosusanto memegang peran yang luar biasa penting. Hanya dalam waktu kurang dari dua bulan, yaitu di bulan Desember 1965, justifikasi rasional itu pun diterbitkan dengan judul 40 Hari Kegagalan G30S, di mana PKI dituduh sebagai satu-satunya dalang peristiwa G30S.
Karya ini menjadi pilar utama struktur ideologis Orde Baru yang kemudian dielaborasi kedalam berbagai medium kebudayaan lain sepanjang sejarah Orde Baru dan sesudahnya. Selama puluhan tahun pemerintah Orde Baru melalui berbagai aparatus politik dan kebudayaannya dengan membangun, mentransformasikan dan mempertahankan kebohongan mereka kepada rakyat Indonesia dan juga dunia internasional bahwa PKI adalah organisasi yang paling bertanggung jawab dalam peristiwa percobaan kup 1965.
Proses transformasi kultural-ideologis yang dilakukan militer dan agen-agen kebudayaannya inilah, saya berargumen, yang menjadi faktor utama bercokolnya ideologi anti-komunisme yang begitu kuat di Indonesia.
Berbagai kasus kekerasan yang terjadi berkaitan dengan upaya untuk meninjau ulang wacana anti-komunisme telah menjadi bukti bahwa usaha seperti itu memang tidak mudah dilakukan dan sekaligus menunjukkan proses transformasi ideologis yang berjalan sangat lambat.
Sejak jatuhnya pemerintah Orde Baru di tahun 1998, berbagai peristiwa, mulai dari pembakaran buku-buku yang mengangkat isu marxisme, leninisme dan komunisme hingga intimidasi yang dialami oleh YPKP dan keluarga korban pembantaian yang ingin menguburkan ulang jasad keluarga mereka di Kaloran Jawa Tengah, merupakan bukti kuat bahwa isu komunisme masih sangat sensitif.
Demikian pula dengan beberapa insiden yang terjadi baru-baru ini di berbagai kota mulai dari intimidasi terhadap diskusi buku karya Harry Poeze tentang Tan Malaka yang dilakukan oleh ormas hingga penangkapan mantan ex-tapol berusia lanjut yang sedang bersilaturahmi di sebuah rumah di Semarang, juga merupakan bukti jelas bahwa anti-komunisme masih menjadi wacana dominan di Indonesia.
Kasus-kasus sporadis inilah yang pada gilirannya dapat dijadikan indikator bahwa gerakan untuk melakukan transformasi ideologis, seperti yang sedang dilakukan oleh IPT 1965, cukup beresiko.
Menciptakan Transformasi Ideologis
Berbagai teori dan skenario alternatif atas peristiwa percobaan kup 1965 sebenarnya dengan mudah telah menunjukkan bahwa versi resmi pemerintah tentang peristiwa itu tidak dapat dipercaya. Namun demikian, karya-karya ini, yang kebanyakan ditulis oleh sarjana asing, baru dapat diakses menjelang runtuhnya Suharto di tahun 1998. Faktor penting lainnya adalah lambatnya penyebaran informasi tentang “keberadaan” karya-karya akademik itu sendiri.
Banyak sekali risalah penting mengenai peristiwa pembantaian 1965 yang sudah ada sejak puluhan tahun lalu baru diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Jadi walaupun sebenarnya karya-karya itu sudah dapat diakses, namun masih banyak sekali problem teknis yang harus dihadapi dalam rangka menyebarkan informasi baik mengenai keberadaan maupun isi dari karya-karya tersebut.
Tentu hal ini menjadi problem tersendiri dari sebuah usaha komprehensif untuk melakukan gerakan transformasi ideologis dan sosial di Indonesia. Pada gilirannya, situasi ini juga menjadi salah satu penyebab lambatnya proses transformasi kultural-ideologis terhadap wacana anti-komunisme.
Namun demikian, keberadaan internet dan sosial media memberikan harapan yang baik bagi tersebarnya arus informasi yang berkaitan dengan upaya untuk meninjau kembali peristiwa pembantaian 1965. Dapat dilihat, bahwa perhatian masyarakat, khususnya pengguna sosial media, mulai menunjukkan peningkatan untuk lebih memperhatikan masalah-masalah pelanggaran HAM, termasuk pembantaian 1965.
Hal ini tentu merupakan pertanda baik bagi terbangunnya kesadaran kritis masyarakat untuk, paling tidak, mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi di tahun 1965. Menurut hemat saya, target utama dari arus penyebaran informasi itu harus di fokuskan pada generasi muda, khususnya pelajar dan mahasiswa.
Dalam beberapa kesempatan, saya mengamati bahwa kebanyakan dari mahasiswa masih banyak yang tidak tahu dan menunjukkan sikap apatis terhadap sejarah bangsanya sendiri. Namun tentu saja untuk menarik sebuah kesimpulan tentang hal ini dibutuhkan studi yang lebih komprehensif.
Salah satu cara untuk menjembatani gap yang terdapat di dalam penulisan sejarah Indonesia modern adalah penyusunan kurikulum pendidikan. Gagasan untuk merevisi penulisan sejarah 1965 di dalam buku-buku materi pelajaran, yang pernah diupayakan (lalu gagal), harus terus diupayakan.
Janji Presiden Jokowi untuk memasukan poin-poin HAM ke dalam kurikulum pendidikan umum Sekolah Dasar dan menengah serta kurikulum pendidikan TNI dan Polri dapat dijadikan sebagai pegangan untuk menuntut pemerintah lebih berperan aktif dalam menuntaskan kasus kasus pelanggaran HAM ini.
Dalam beberapa pertemuan IPT di Jakarta gagasan untuk terus mendesak pemerintah dan pemegang otoritas kurikulum pendidikan juga sudah menjadi bagian dari kampanye IPT, namun, perdebatan tentang penulisan sejarah 1965 untuk buku-buku materi pelajaran tampaknya belum mencapai kesepakatan. Usaha ini tampak semakin sulit, karena Presiden Jokowi tampaknya tidak menunjukkan perhatian serius terhadap isu pelanggaran HAM.
Kendala lain yang harus diingat oleh aktivis dan pemerhati masalah pelanggaran HAM 1965 adalah kenyataan bahwa masih banyak pihak yang tidak melihat upaya ini sebagai sebuah hal yang positif.
Sejarawan seperti Asvi Warman Adam percaya bahwa militer masih sangat berkepentingan untuk terus menutupi kasus pembantaian massal 1965. Sementara tokoh-tokoh masyarakat dan keagamaan juga beranggapan bahwa isu komunisme dan pembantaian 1965-1966 masih sangat potensial dalam memicu konflik di masyarakat akar-rumput.
Banyak anggota masyarakat konservatif, terutama yang berada di pedalaman masih melihat ide-ide rekonsiliasi, pembongkaran kasus pembantaian komunis tahun 1965 dan komunisme merupakan ide yang harus ditentang. Demikian pula halnya dengan berbagai ormas anti-komunis yang sering kali melakukan intimidasi terhadap kelompok-kelompok yang berusaha membongkar pelanggaran HAM 1965.
Aliansi ormas sekuler seperti Pemuda Pancasila dan keagamaan seperti FPI dan yang lain adalah beberapa dari elemen masyarakat yang kerap digunakan oleh aparatus negara untuk mengintimidasi gerakan-gerakan yang mengangkat isu pelanggaran HAM 1965. Dengan demikian resistensi yang mungkin muncul di tengah-tengah masyarakat itu sendiri juga harus mendapat perhatian yang besar dari mereka yang ingin membongkar kasus 1965, khususnya IPT 1965.
This post is also available in:
English
Leave A Comment
You must be logged in to post a comment.