Sabtu, 01/10/2016 14:04 WIB | Oleh: Ninik Yuniati
Jakarta – Pemerintah menyatakan tindakan dan langkah negara pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) dapat dibenarkan secara hukum.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto mengatakan, saat itu negara melakukan tindakan penyelamatan karena dinyatakan dalam keadaan bahaya dan tidak bisa dinilai dengan hukum sekarang.
“Dari kajian hukum pidana peristiwa tersebut termasuk dalam kategori “the principle clear and present danger“, negara dapat dinyatakan dalam keadaan bahaya dan nyata. Maka tindakan yang terkait National Security merupakan tindakan penyelamatan,” kata Wiranto usai upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya, Sabtu (1/10/2016).
“Dari peristiwa tersebut juga dapat berlaku adagium “abnormaal recht voor abnormaale tijden“, tindakan darurat untuk kondisi darurat (abnormal) yang dapat dibenarkan secara hukum dan tidak dapat dinilai dengan karakter hukum masa sekarang,” imbuhnya.
Selain itu, kata dia, dalam bedah kasus antara penyelidik Komnas HAM dan Kejaksaan Agung menemui hambatan hukum.
“Terutama yang menyangkut pemenuhan alat bukti yang cukup (beyond reasonable doubt). Terdapat kesulitan untuk terpenuhinya standar pembuktian sebagaimana dimaksud dalam UU nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM,” lanjutnya.
Berdasarkan hal tersebut, pemerintah memutuskan untuk mengambil langkah nonyudisial untuk menyelesaikan kasus ini.
Wiranto pun menambahkan, peristiwa 51 tahun lalu itu dianggap sebagai bentuk makar akibat perbedaan ideologi politik pada 1965 dan tahun-tahun sebelumnya.
“Pada tahun 1965 dan tahun sebelumnya telah terjadi perbedaan secara ideologis politis yang berujung pada makar, sehingga menimbulkan kemunduran dan kerugian besar bagi bangsa Indonesia,” ucapnya.
Kata dia, pemerintah menyatakan keprihatinan atas jatuhnya korban dalam peristiwa 1965 dan berkomitmen menyelesaikannya secara nonyudisial.
“(Pemerintah) secara bersungguh-sungguh berusaha menyelesaikan dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat tersebut melalui proses nonyudisial yang seadil-adilnya agar tidak menimbulkan ekses yang berkepanjangan,” ujar dia.
Wiranto menyebutkan keputusan dan sikap politik pemerintah ini didasarkan pada hasil kajian dari tim gabungan yang terdiri dari unsur Kejaksaan Agung, Komnas HAM, TNI/Polri, pakar hukum dan masukan dari masyarakat.
Sumber: KBR.ID
This post is also available in: English